Tok tok tok!
“Alena! Aku tahu kamu di dalam!” Suara itu terdengar sangat familiar, tajam dan penuh dendam.
Alena membeku. Itu suara Melina.
Dengan langkah ragu, dia membuka pintu sedikit, dan seketika tubuhnya terdorong mundur saat Melina menerobos masuk dengan mata membara.
“Pantas saja dia tidak membalas pesanku!” geram Melina, matanya menyapu isi kamar dengan cepat. “Jadi benar, kamu sudah menjebak Tristan untuk jatuh cinta padamu!”
“A-aku tidak—” Alena tergagap, tubuhnya gemetar.
“Diam!” bentak Melina sambil melipat tangan di d**a. “Kamu pikir kamu siapa, hah? w************n yang rela membuka kaki lebar-lebar demi uang?”
Alena menelan ludah. Wajahnya pucat. “Aku tidak berniat seperti itu, Melina… aku hanya—”
“Cukup dengan drama murahanmu itu! Jangan sok polos! Kamu pikir aku bodoh? Kamu tahu kan siapa suamiku! Tapi kamu tetap tidur dengannya, tetap membiarkan dia menyentuhmu, menikmati tubuhmu… semua demi uang, bukan?”
Alena menunduk. Kata-kata itu seperti cambuk, memukul harga dirinya yang paling dalam.
“Kamu bahkan dengan bangga ikut bulan madu dengannya,” lanjut Melina dengan nada sinis. “Apa kamu pikir kamu sudah menang? Karena sekarang kamu mengandung anaknya?”
“Aku tidak pernah berniat mengambil Tristan darimu,” bisik Alena. “Aku hanya ingin semuanya selesai… aku ingin pergi, tapi dia—”
“Dia apa? Memaksamu?” Melina mencibir. “Jangan buat aku tertawa! Lihat dirimu. Bahkan saat berbicara tentangnya, kamu masih memanggilnya dia, seolah-olah kamu sudah memiliki bagian darinya!”
Air mata mulai menggenang di mata Alena. “Aku tak punya pilihan…”
“Semua w************n selalu bilang begitu. Tak punya pilihan,” sindir Melina. “Tapi tetap saja mereka berakhir di ranjang pria orang lain!”
Alena terisak. “Aku tidak sekuat kamu, Melina… aku hanya mencoba bertahan.”
“Terserah apa alasanmu. Tapi satu yang pasti,” Melina menunduk mendekati wajah Alena, suaranya menurun menjadi bisikan tajam. “Kamu akan menyesal pernah berpikir bisa memiliki Tristan, walau hanya setengah.”
Tanpa menunggu jawaban, Melina berbalik dan menatap tajam ke pintu. Lalu dia membuka pintu lebar-lebar.
“Ayo masuk,” katanya tajam. “Sekarang giliranmu.”
Dari balik ambang pintu, muncullah sosok Reyhan dengan senyum sinis di wajahnya.
"Halo Alena... aku hanya ingin sedikit bermain-main denganmu," ucap Reyhan sambil tersenyum menyeringai.
Melina langsung mengangkat alis. "Kau datang tepat waktu, Reyhan. Silahkan lakukan apapun yang kamu mau. Aku tunggu di kamar sebelah hasilnya."
Reyhan melangkah masuk, lalu memegang tangan Alena dengan erat. Alena terkejut dan mencoba menarik diri, namun Reyhan menggenggam lebih kuat.
"Reyhan?! Kamu ngapain di sini?" serunya panik.
Reyhan menatapnya tajam, lalu menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Alena langsung mundur, jantungnya berdetak cepat.
"Rey, kamu mau apa? Keluar! Ini kamar suamiku!" desis Alena, tubuhnya gemetar.
Namun, Reyhan justru berjalan mendekat dan menjatuhkan jaketnya ke lantai. Tatapannya sengaja dibuat liar, suaranya rendah namun jelas.
"Aku mau membuktikan sesuatu pada suamimu, Lena. Bahwa kamu bukan wanita polos seperti yang dia kira."
"Rey, jangan main-main! Ini nggak lucu! Keluar sekarang sebelum—"
Reyhan tiba-tiba meraih lengan Alena dan mendorongnya ke ranjang. Meski dorongannya tidak menyakitkan, Alena tahu ini bagian dari skenario.
"Rey! Hentikan! Kamu gila!"
"Kau masih ingat betul bagaimana rasanya malam itu, kan, Lena? Waktu kau datang ke apartemenku, menangis, dan bilang kamu tidak punya siapa-siapa selain aku... lalu kamu tidur di pelukanku. Atau... kamu mau aku ingatkan bagian setelahnya?" Reyhan menatap Alena dalam-dalam dengan nada manipulatif.
Tristan yang baru kembali ke hotel dengan semangkuk sup kepala ikan Mak Beng di tangannya, langsung tercengang saat mendapati pintu kamar terbuka. Langkah kakinya cepat menghantam lantai marmer koridor, dan seketika amarahnya meledak saat melihat Reyhan berada di atas tubuh Alena yang tergeletak di sofa.
"REYHAN!"
Tristan melempar sup panas itu ke lantai, pecahannya tercecer. Dengan mata merah membara, ia langsung menerjang Reyhan dan menghajarnya tanpa ampun. Tinju demi tinju mendarat di wajah dan perut Reyhan hingga lelaki itu jatuh terkapar di lantai.
"Berani-beraninya kau menyentuh istriku! Kau b******n, Reyhan!"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka keras. Tristan berdiri di sana, napasnya memburu, matanya langsung menangkap Reyhan yang kini berada di atas tubuh Alena.
"b******k!" teriak Tristan marah.
Tanpa pikir panjang, Tristan langsung menerjang Reyhan, memukul wajahnya dengan keras. Reyhan terhuyung, namun sempat membalas satu pukulan ke rahang Tristan sebelum akhirnya dihajar kembali.
"Kamu pikir kamu bisa menyentuh istriku?! Dasar b******n!"
"Dia yang mengundangku! Kamu pikir dia setia? Hah?! Dia cuma perempuan murahan yang hanya mau uangmu. Kamu lihat, baru saja kamu pergi, dia memanggilku... dia bilang dia merasa kesepian dan butuh seseorang untuk menemaninya. Aku tak tahu kalau kamu akan kembali secepat ini."
Alena menangis, memeluk tubuhnya sendiri di sudut kamar.
"Bohong! Aku nggak pernah memintanya datang! Sumpah, Tris! Aku nggak tahu dia akan datang!"
"Reyhan hanya pura-pura! Dia ingin menjebakku di depanmu, Tristan! Aku tidak pernah rela disentuh olehnya!
Tristan masih diam. Matanya menatap tajam, dadanya naik turun.
"Kau percaya padaku, kan? Aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku hanya ingin pergi sebentar karena aku merasa bosan kaukurung terus menerus, aku lelah! Tapi aku tidak pernah berniat mengkhianatimu, apalagi berselingkuh dengan Reyhan!"
Tristan menatap Alena dengan mata merah membara. Nafasnya berat, emosinya bercampur aduk. Dia menoleh ke Reyhan yang kini tergeletak di lantai.
"Keluar dari hidup kami, Reyhan! Ini yang terakhir kalinya kamu dekat-dekat Alena!"
Reyhan tersenyum miring, lalu bangkit dan berjalan terseok menuju pintu. Sebelum keluar, dia menatap Alena dengan pandangan menusuk.
"Aku harap kamu bahagia, Lena. Di sangkar emasnya."
Melina menyeringai di belakangnya. "Lihat sendiri, Tristan. Itu wanita yang kau pertahankan mati-matian. w************n yang memberikan tubuhnya pada semua orang!"
Namun, kali ini Tristan justru menoleh ke Melina dan berteriak keras, "Diam kamu, Melina! Aku sudah cukup lelah dengan permainan kalian. Aku melihat sendiri mata Alena saat dia bicara. Aku tahu siapa yang berbohong di ruangan ini."
Melina terbelalak. Tak percaya jika Tristan berani membentaknya hanya karena perempuan murahan ini. Padahal, sebelumnya, Tristan tidak pernah berkata kasar padanya.
Tristan merangkul Alena yang masih gemetar, lalu menatap Melina dengan sorot tajam. "Dan kamu, kalau kamu masih ingin punya nama baik di dunia modeling, sebaiknya berhenti mengganggu hidupku dan juga Alina. Aku punya bukti semua permainan kotor kalian."