Damar perlahan berdiri dari pasir, tangannya menyeka darah di sudut bibirnya. Meski wajahnya memar dan terasa ngilu, matanya tetap tenang menatap Tristan yang masih berdiri terpaku, menatap punggung Alena yang menjauh. “Kamu tahu,” ucap Damar, suaranya pelan namun tegas. “Aku bisa saja membalas pukulanmu barusan. Tapi aku nggak akan serendah itu. Karena dari sorot mata istrimu tadi, aku bisa lihat satu hal... dia sangat kecewa.” Tristan menoleh perlahan, wajahnya masih dipenuhi emosi, tapi tatapannya mulai berubah. “Aku… aku hanya terlalu marah. Aku takut kehilangan dia. Maafkan aku!” Damar mengangguk pelan. “Rasa takut itu wajar, Bro. Tapi rasa takut itu seharusnya membuatmu menjaga, bukan menghancurkan. Kamu ingin mempertahankan dia, tapi justru malah menyakitinya.” Tristan menunduk.