Semua kebutuhan mendasar Julian di saat-saat terakhir kini sudah tersedia. Semua barang yang dibutuhkan oleh restoran pria itu siap dipasok. Tinggal antar.
"Semuanya sudah diantar, Pak," lapor karyawan.
Julian tersenyum puas. Merasa bahwa Devian tak bisa menjegal langkahnya. Puas.
"Bagus."
"Saya permisi, ya, Pak, mau bersiap di dapur."
Restoran milik Julian memiliki cabang di beberapa tempat lain. Namun, satu restoran induk yang menangani order untuk kerja sama dengan hotel-hotel. Restoran cabang yang lebih kecil dari induk biasanya menerima kerja sama dengan perusahaan-perusahaan skala kecil atau pesta-pesta rumahan.
"Bilang ke semua karyawan kalau kita bisa!"
Sang karyawan mengangguk sebelum pergi.
"Baik."
Julian berkacak pinggang seraya bibir tipisnya itu menyunggingkan senyum bahagia.
Akhirnya Julian bahagia karena bisa menang.
"Dikira gue selemah itu kali," gumam Julian.
"Selamat pagi, Pak, maaf ada Pak Har datang."
"Sepagi ini kenapa Papa datang repot-repot?"
"Kata Pak Har mau ketemu Pak Julian sebentar."
"Oke."
"Saya permisi dulu, Pak," pamit sang pegawai.
Julian mengikuti langkah pegawainya keluar.
"Pagi-pagi banget, Pa," sapa Julian ke papanya.
"Kamu apa kabar, Nak?" tanya Si Papa khawatir.
Julian tentu saja menjawabnya tanpa ragu.
"Baik."
Julian memang sempat merasa kacau balau.
Itu kemarin, saat Devian berulah. Kini semuanya sudah kembali seperti dulu dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Ada apa kalian ribut-ribut?" tanya Si Papa.
Julian mengangkat tangan ke pegawai yang kebetulan mengarah kepadanya. Ia memesan minuman untuk papanya secangkir kopi. Tak lupa Julian pesan untuk dirinya juga. Secangkir teh dan roti isi.
Setelah memesan makanan, Julian tak langsung fokus kepada papanya. Pria itu merasa perlu mengawasi pegawai yang sedang bekerja dari sudut duduk di pojok ruangan nan strategis. Julian tahu sang ayah sedang menunggu apa jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada si bungsu.
Julian sengaja ingin mengulur waktu papanya.
"Menurut Papa kenapa?" tanya Julian balik.
"Papa enggak habis pikir sama kalian ini."
Julian kembali menyunggingkan rasa bahagia.
"Papa enggak usah ikut campur sama kami!"
"Kalau kalian kenapa-kenapa gimana, Nak?"
Julian menertawakan sikap protektif papanya.
"Kami ini udah dewasa, Pa," jawab si anak.
Hartawan mendesah. Wajah pria itu tampak murung. Mungkin resah atas kekacauan yang tengah melanda para putranya itu.
Hartawan merindukan masa-masa si anak saling mengasihi. Apalagi sulung yang begitu sayang terhadap adiknya. Devian yang penyayang.
Namun, nyatanya keinginan pria tua itu sepertinya tidak lagi mudah untuk didapatkan.
Julian dan Devian kini saling sikut. Ia awalnya tak percaya dengan kejadian kemarin di mana Devian tak lagi mau bekerja sama dengan restoran si adik. Sangat mengagetkan Hartawan. Tidak menyangka Devian berlaku seperti itu kepada sang adik. Benar-benar bukan sifat asli Devian.
Kemarin Hartawan mengajak Devian bicara.
Namun, hasilnya sama sekali berbeda dari harapan sang ayah. Devian tanpa beban hanya bilang untuk kali ini tak diikutcampuri urusan perusahaan. Itu yang membuat Hartawan mendatangi Julian pagi ini.
"Kalau kalian dewasa, harusnya lebih profesional."
Julian mencebik. Profesional macam apa yang dimaksud Hartawan? Julian menggeleng-geleng.
"Coba tanya sama Devian masalah itu, Pa!"
"Kalian benar-benar belum dewasa di kerjaan."
Bersamaan dengan desah berat si pria tua itu, pegawai restoran datang. Dua cangkir minuman terlihat di nampan. Sepiring roti isi juga tampak.
Sang pegawai menaruh isi nampan di meja.
"Silakan!"
Pegawai itu pamit setelah menyilakan para bos untuk menikmati minuman dan makanan yang tadi dibawanya. Ia bergegas kembali ke dapur. Di sana si pegawai langsung dicecar pertanyaan penuh rasa ingin tahu para rekannya.
"Bos-bos lagi ngobrol apa?" tanya satu karyawati.
"Mana gue tahu, kepo banget!" ujar si karyawan.
"Jangan pelit-pelit kalau ada info apa gitu!"
"Info apaan, dah?" kilah si karyawan risi.
Memang biasa bagi para karyawan di sana apabila sang bos ada sesuatu, ya para karyawan sibuk bergosip. Julian yang suka emosional adalah target si tukang gosip. Apalagi saat kematian si istri bos, Jovanka.
"Kalian ngapain pada ngumpul di sini semua?"
Tiba-tiba saja sang supervisor datang memaki.
"Kami cuma nyari info dikit, kok, Pak, sumpah!"
"Jangan banyak sumpah!" hardik sang supervisor.
Dengan isyarat jari, supervisor itu tak ingin mereka terus berkumpul. Tidak sampai ganti menit, mereka bubar. Si supervisor pun lega.
Setelah para karyawan kembali kerja di posisi masing-masing, si supervisor
duduk.
"Kamu ngapain enak-enakan di dapur duduk-duduk?"
Supervisor itu langsung menoleh. Tak pakai komando, pria itu langsung saja berdiri karena tahu siapa yang datang dan menegurnya. Apes.
Beberapa karyawan yang melihat itu terkikik.
"Tadi habis negur anak-anak, Pak itu pada gosip melulu di dapur," jawab si supervisor.
"Terus setelah mereka pergi, sekarang gantian?"
Pria bawahan Julian itu menggeleng pelan.
Hartawan yang menyaksikan itu tak berkomentar.
Hartawan memang sengaja ingin tahu suasana dapur restoran sang anak. Ia hanya ingin memastikan tidak ada itu masalah sekecil apa pun di restoran si bungsu kesayangannya. Sebagai ayah, tak akan Hartawan membiarkan sang anak mengalami kesulitan. Apalagi si bungsu kini hidup sendirian.
"Kalau memang semua aman, pamit Papa."
Hartawan mengulas senyum lega. Di dalam hati pria itu hanya berharap si anak lekas mengakhiri perang dunia milik mereka. Setidaknya agar hidup keduanya tenang. Agar ia dan istrinya pun merasakan hal yang serupa.
Di penghujung usia, Hartawan ingin anak-anaknya rukun dan sukses. Hal terbesar menjadi impian Hartawan. Si istri pun mengungkapkan hal serupa.
"Mau Lian antar, Pa?" tanya Julian tak main-main.
Hartawan menggeleng. Ia masih bisa pulang sendiri. Taksi pun masih bisa bayar.
"Kamu urus aja restoran ini! Restoran ini adalah hidupmu, Nak. Jadi tolong jaga!"
Hartawan menepuk pundak anaknya pelan.
Julian membalas dengan memeluk Si Papa.
"Terima kasih banyak, Pa," ujar Julian tulus.
Mereka mengeratkan pelukan. Julian merasa sudah begitu lama tak merasa senyaman itu. Nyamannya pelukan Si Papa tersayang.
Pelukan itu terurai. Mereka masih tak jua mau berpisah. Seperti sekian lama berpisah.
Para karyawan yang melihat kejadian itu merasa takjub. Ada rasa haru yang mereka rasakan. Apalagi mengingat si bos yang temperamental.
Hartawan akhirnya pergi diiringi isak Julian.
Pria itu entah mengapa jadi menangis sedih.
"Perlu tisu, Bos?" tanya Si Supervisor ramah.
Pria itu menyodorkan tisu ke arah si bos.
"Terima kasih banyak, ya," jawab Bos Julian.