Sejak saat itu Julian jadi tambah rutin minum.
Pekerjaan pria itu hancur berantakan dan seperti sedang tak ingin diganggu orang.
"Mama cuma sedih lihat kamu begini, Lian!"
"Mama ngapain mikirin Lian?" balas Julian.
"Kalau bukan Mama, siapa lagi?" bela Mama.
"Masalahnya ini keterlaluan!" seru si anak.
Nyonya Hartawan yang sedang asyik memotong daging, berhenti dan mata tuanya mengintimidasi sang anak. Di sana ada sorot keheranan dan kecewa yang jelas terpancar. Tak menyangka anaknya akan mengalami hal seperti ini.
Julian yang merasa ditatap hanya tak berkutik.
"Kalau ini keterlaluan, Mama mohon maaf."
"Mama urusin aja anak satunya," lirih Julian.
Nyonya Hartawan makin tak percaya bahwa Julian akan sesinis itu. Padahal biasanya Julian begitu penurut. Sejak Jovanka tak ada, semua seperti balik ke Julian di masa remaja yang semau sendiri dan keras kepala.
"Kamu kenapa jadi begini lagi?" tanya Mama.
Julian yang merasa bosan akan semua itu hanya mengeloyor. Tak ingin kasih jawaban apa pun tentang pertanyaan sang mama. Lagipula harusnya sang mama paham situasi dan kondisi pria beranak dua itu.
Nyonya Hartawan hanya menggeleng tak mengerti dengan sifat lama Julian yang kembali muncul. Keras kepala si anak malah lebih tinggi darinya. Sang nyonya sebenarnya datang karena si anak tampak sedang tak baik.
"Sabar aja, Lian memang begitu," ujar Hartawan.
Pria itu lalu membantu sang istri. Tak ingin istrinya berlarut-larut kepikiran tentang sikap Julian, akhirnya si pria bersenandung merdu. Hal yang sudah lama sekali tak ia lakukan. Ia yakin si istri suka.
"Apa Julian begini karena sedari dulu dimajain?"
Ternyata usaha Hartawan sia-sia saja dan istrinya malah makin tenggelam dalam lamunan tiada bertepi. Dalam hingga wanita itu tak tahu bagaimana cara keluar dari sana. Baginya semua sama-sama berujung ke sebuah sesal.
Kematian sang menantu membuat si anak menjadi seperti saat ini. Hampir depresi mungkin. Terlihat jelas Julian terus-menerus menenggak alkohol.
Tak ada yang bisa diperbuat orang tua itu.
"Kita hanya bisa berdoa," kata pria itu akhirnya.
Hartawan merengkuh sang istri. Sang istri hanya pasrah. Matanya tertuju ke arah foto keluarga yang terpampang besar di ruang makan.
Julian tiba-tiba datang. Mereka segera melepas pelukan. Merasa tak enak. Di sisi lain, mereka ke sana tidak untuk mesra-mesraan seperti itu.
"Mama sama Papa enggak usah sibuk masak!"
Julian berkata dengan santai. Ia tidak lagi suka makan di rumah sejak istri tercintanya berpulang. Baginya tidak ada makanan seenak masakan si istri.
"Kamu kurus banget, Lian," lirih sang mama.
Julian bahkan tak ingat kapan makan nasi.
"Enggak ada yang bisa bikin Lian mau makan!"
"Kenapa?"
Julian hanya tersenyum hambar. Hal yang terlihat begitu menyakitkan bagi kedua orang tuanya. Melihat anaknya tersiksa sedemikian rupa.