Julian menghabiskan malam bersama alkohol.
"Boleh aku gabung enggak, nih, kamu sendirian?"
Julian meneleng demi melihat sosok pemilik suara. Dilihatnya seorang tak dikenal berdiri dengan sebotol wiski. Seorang wanita.
Julian hanya mengangguk samar. Tak ada niat pria itu untuk mengobrol. Ia hanya memberikan izin wanita yang tampak jagoan dengan sebotol wiski itu untuk duduk di depannya. Bukan berarti Julian ingin mengobrol.
"Minum aja, gue lagi mau tenang!" Itu ultimatum yang Julian kasih sebelum wanita itu menyerocos. Bagi Julian, ia hanya ingin ketenangan.
Si wanita mencebik. Diamatinya pria di depannya yang tampak kacau. Tak ada yang spesial kecuali wajah. Wajah yang penuh depresi.
Si wanita menuang wiski langsung ke mulutnya.
Julian yang kebetulan melihat, tanpa sadar tersenyum karenanya. Selama ini hidupnya terlalu lurus, hingga tak mengenal wanita semacam itu. Julian hanya mengenal wanita lembut nan polos dan penurut macam Jovanka.
Melihat Julian tersenyum, wanita itu menyeringai.
"Kenapa?"
Wanita itu bertanya, lalu menuang si cairan bening itu ke mulutnya untuk yang kesekian kali. Botol terlihat tak lagi penuh. Hampir setengah kosong.
Si wanita lalu meminta rokok kepada Julian.
Julian mengangsurkan rokoknya yang ada di meja. Tangan wanita itu sangat gesit menangkap apa yang tersodor di depannya tanpa komando. Bahkan, si pemilik rokok pun ikut kena tangkap tangannya oleh sang wanita.
Punggung tangan Julian dielus pelan oleh wanita itu. Matanya diarahkan si wanita tepat ke mata hitam Julian. Ia mencoba untuk memberikan sebuah kehangatan.
"Lo pernah kehilangan orang-orang di sekitar?"
Wanita itu kembali menyeringai. Sang wanita menganggap Julian hanya tak bisa melupakan rasa sakit ditinggal si orang tersayang. Buat wanita itu, pria seperti Julian sungguh cengeng. Pria harusnya bersikap lebih dewasa dari wanita.
"Gue kehilangan keluarga sekaligus di hari ulang tahun ke-17. Apa menurut lo itu termasuk? Sakit memang," ujar si wanita.
"Mereka kenapa?" tanya si pria super penasaran.
"Mereka ninggalin gue karena sebuah alasan."
"Apa?"
Mereka akhirnya terlibat obrolan. Tak ada lagi saling membatasi diri. Kedua orang itu seolah-olah klop satu sama lain dalam waktu singkat.
Julian sesekali tersenyum, bahkan ia tertawa.