Javier sedan asyik menyirami bunga milik mamanya, tiba-tiba dehaman si kakak dari ayahnya mengagetkan. Si keponakan lalu mematikan air. Wajah itu terlihat tidak sebahagia biasanya.
Devian menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran anak itu sekarang. Otak pria itu terus bekerja keras mendapat jawaban dari pertanyaan yang dibuat sendiri di kepalanya. Mata pria itu tak henti menyapu sekitar.
Sepi.
"Mama ke mana, Jev?" tanya Devian si paman.
Javier mengajak ke samping rumah di mana ternyata sang ibu sedang duduk santai.
"Dicari Om Dev, nih!" seru Javier saat mendekat.
Jovanka membenahi laptopnya. Pria yang menemuinya tak lain adalah si kakak ipar. Namun, dari gestur sangat terlihat ketidaknyamanan pada diri si wanita.
"Sorry kalau ganggu, Jov," kata Devian berat.
Jovanka menggeleng. Devian duduk. Sengaja pria itu mengambil jarak dari Jovanka.
Javier sudah pergi sedari tadi. Mereka hanya berdua sekarang. Hal itu tentu menegangkan.
Tegang jika Julian tiba-tiba datang. Si pria pasti akan mengamuk seperti di malam kemarin. Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri di seluruh badan. Coba seandainya sang suami benar-benar datang saat ini!
Belum lagi bayangan Jovanka hilang, sebuah dehaman mengagetkannya. Si pria di seberangnya tersenyum manis yang sebenarnya dirindukan Jovanka. Hening.
"Mau minum teh, Dev?" tanya si adik ipar.
"Boleh."
Namun, belum lagi Jovanka beranjak, dehaman lain terdengar. Dua orang di samping rumah itu menoleh ke arah suara dehaman. Ternyata Julian.
"Sekalian!"
Jovanka mengangguk, lalu pergi dari sana.
Wanita itu merasa akan ada perang di rumahnya.
"Tumben?"
"Apa?"
Julian menatap mata kakaknya tidak suka.
Devian tersenyum masam. Tujuannya ke sana bukanlah untuk bertemu adik tirinya itu, melainkan ingin berbicara dengan Jovanka. Namun, ternyata si adik sudah menangkap basahnya. Itu sedikit menyebalkan bagi Devian.
"Biasanya lo sibuk melulu?" sindir si kakak.
Julian merasa tangannya gatal. Rasa si adik begitu menggebu ingin memukul sang kakak. Membuat wajah tampan Devian babak belur mungkin sedikit menyenangkan.
Maka tanpa menunggu lama tangan si adik mengepal, siap meninju. Namun, Jovanka ternyata lebih dulu keluar. Di tangannya terlihat sebuah nampan.
"Dari mana lo tahu gue sibuk?" cecar Julian.
"Gue selalu tahu yang lo lakuin," ujar Devian.
"Salut!"
Julian manggut-manggut seraya tepuk tangan.
"Tehnya diminum dulu, nanti keburu dingin!"
Bukannya melakukan apa yang sang istri mau, Julian malah tertawa keras-keras.
Lalu di detik selanjutnya, tinjunya tak lagi bisa dikendalikan. Devian hanya mencoba menghindar. Sedangkan si wanita satu-satunya di antara mereka kebingungan.
"Kalau lo kayak gini terus, Jovi bakal gila!"
Devian berhasil menahan serangan si adik.
Napas keduanya memburu. Mata pria keduanya saling mengintimidasi. Rasa cemburu Julian masih membara. Api itu belumlah padam.
"Lo merasa lebih baik dari gue?" sinis Julian.
Mereka tak tahu, melihat itu Jovanka ketakutan.
Wanita itu sampai bersembunyi. Hati si wanita merasa sedih dan takut. Tak ada yang lain. Apalagi rasa khawatir itu meningkat, saat teringat dua anak kandungnya.
"Stooop!"
Jovanka berteriak seraya menangis di pojokan.
Wanita itu terlihat tidak baik. Hal itu membuat dua pria yang sedang ribut segera berhenti. Mereka sama-sama mendekati Jovanka.