Bab 10: Nikmatnya!

671 Kata
Tak ada jeda di dalam permainan ini, Julian terus merangsek. Penuh nafsu. Gerakan-gerakannya lumayan kasar. Jovanka yang merasakan hal itu, tidak bisa melawan. Ia hanya menahan diri supaya tidak berteriak atau menangis. Hebatnya hal itu berhasil. "Kalau bukan karena kamu suamiku, Lian—" "Kenapa?" Julian menyeringai sebelum menekan keras. Jovanka hampir saja berteriak karena itu. "Kamu kasar banget, Lian," bisik sang istri. Bukannya berhenti atau mengurangi sikap kasarnya yang sangat menyiksa, Julian justru makin intens melakukan hal tersebut. Mata Jovanka sudah tak bisa bertahan lagi. "Kamu suka yang lembut, hah?" sinis Julian. Mata pria itu menangkap bening yang menetes. Seringaian kembali muncul. Tangan si pria pun tak segan untuk mengusap tetesan lara itu. Mengelus pipi yang di bawahnya dengan lembut. "Kamu sebenarnya lagi kenapa, kasar banget?" Sebisa mungkin Jovanka bernegosiasi dengan Julian yang kini sedang tidak kasar. "Aku kenapa? Aku? Kenapa?" tanya si suami. Julian tertawa sumbang. Ia turun dari atas tubuh telanjang sang istri. Tubuh polosnya tampak berkilau akibat dari keringat yang menempel di sana. Tidak pakai lama, Jovanka ikut duduk dan matanya mengikuti setiap gerak suaminya. Julian tampak berkacak pinggang. Ia sepertinya tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang tanpa busana. Yang ia tahu hanya ingin mengurangi amarah yang tiba-tiba naik ke ubun-ubun. Tak ada yang diinginkan Julian, ia hanya ingin hatinya baik-baik saja. Pria yang sehari-hari sibuk menjalankan bisnis restoran itu hanya ingin hatinya tiada lagi dihantui bayangan sang kakak. Julian menatap dirinya dalam gambar cermin. Mata itu menatap matanya sendiri. Si pria merasa sedikit lebih baik. Napas yang tadinya agak tersengal, kini tak ada lagi. Semenit kemudian, Julian berbalik. Ia menatap wajah sang istri yang masih duduk termenung di tepi ranjang. Tak ada air mata lagi. "Aku enggak tahu salahku apa," lirih Jovanka. "Salahmu hanya menjadi seorang istri serakah." Jovanka menggeleng. Ia merasa tidak seperti itu. Serahkan di mananya? Tak pernah sedikit pun Jovanka meminta. Untuk apa ia meminta? Bagi Jovanka, meminta adalah hal yang paling tidak ingin ia lakukan. Meski, itu kepada si suami yang notabene ia memiliki hak. "Serakah?" Jovanka menggeleng sekali lagi. Ingin menegaskan ia tak seperti itu. Bahkan ia bisa ingat apa saja yang dulu Julian tawarkan dan ditolaknya. "Serakah karena kamu masih genit di mataku!" "Aku?" Julian mengangguk mantap. Genit. Di mata Julian memang Jovanka sangat genit. Julian ingat betapa berharapnya mata sang istri, saat menatap Devian keluar dari ruang donor darah. Betapa tidak etisnya seorang istri melakukan itu. Si suami ada di sampingnya dan ia tidak menghiraukan sama sekali. Julian ingat rasanya. Julian merasa itu baru saja terjadi. Sebab, sakitnya bisa ia rasakan saat ini juga. Remasan hati yang kasar menimbulkan luka. "Kamu sadar, betapa berharga Devian buatmu—" "Memangnya di mana salahku?" sela Jovanka. "Kegenitan!" Jovanka benar-benar mengerti. Julian benar-benar cemburu buta. Padahal jelas-jelas Jovanka hanya ingin donor. Sepertinya sulit menjelaskan kepada manusia yang sedang diliputi amarah seperti Julian saat ini. Untuk itu, sang istri memutuskan untuk diam. Tidak ingin perpanjangan pembelaan yang hanya akan berakhir sia-sia. Jovanka bangkit dan memunguti satu per satu pakaian tidurnya yang tadi ia kenakan. "Kalau emang kamu mau terus begini, silakan!" Jovanka berlari keluar kamar. Tujuan wanita itu adalah kamar tamu. Untuk beberapa waktu ia akan memilih tak ingin bersama Julian. Namun, Julian dengan gesit menahan Jovanka. "Kamu enggak bisa kabur begini, Jov, hah!" "Apaan?" Jovanka kehilangan kesabaran. Andai saja ia tak takut anak-anaknya kaget, pasti ia sudah berteriak. Kesal sekali. "Kamu enggak bisa kabur dari Julian, Jovanka!" Mata tajam Julian mengintimidasi. Si istri paham apabila Julian sudah tak lagi mengucap namanya dengan satu suku kata. Itu artinya ia dalam mode geregetan. Julian menarik tubuh sang istri. Sang istri hanya pasrah. Berharap si suami tak kesetanan. Mengingat kekasaran tadi saja, Jovanka merinding. Sesampai di kamar, tanpa dikomando dan menunggu apa pun, Julian tarik si istri. Tubuh mereka rebah di kasur empuk itu. Julian tak lagi kasar. Mulut dan panca indra lainnya saling bahu membahu demi sebuah tujuan. Mendaki gunung penuh nafsu yang panasnya mungkin lebih dari magma. Penuh tanjakan di lereng menuju pos-pos peristirahatan. Melelahkan. "Aku suka kamu yang begini, Lian, ah, nikmatnya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN