Bab 9: Cemburu

1096 Kata
Jika dipikir-pikir, siapa, sih, orang tua yang tidak khawatir melihat anaknya kecelakaan? "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini, ya?" "Kenapa?" "Anakmu pengen ditemenin main itu, Lian!" "Anakku?" Julian yang tadinya santai, tiba-tiba ia menaikkan nada suaranya. Wajahnya pun dibuat sedemikian rupa. Kecewa. Julian meletakkan ponsel yang tadi ia pegang. "Kamu mulai lupa ingatan?" tanya si istri. Julian menyeringai. Ia bangkit, lalu ke arah sang istri. Ditatapnya tajam sang istri. "Kamu yang mulai lupa ingatan, Jovi, bukan aku, bukan!" Tangan Julian tak tinggal diam. Wajah sang istri dipaksa mendongak sehingga mereka berbagi tatapan. Jovanka tak mengerti apa yang terjadi kepada diri sang suami. Mengapa pria itu tiba-tiba berubah drastis? Padahal, biasanya Julian begitu perhatian. Julian biasanya selalu menemani sang anak. Kini, Julian selalu pulang lambat. Hal yang dahulu jarang ia lakukan. Julian adalah tipe pria penyayang, terutama kepada anak-anak. Julian dan Javier biasanya selalu main bola. Lapangan kecil di belakang rumah itu adalah arena duel mereka. Saling tak mau kalah. Saling mengejar. Teriak di cerahnya sore. Kadang, Jovanka merasa ia begitu tak kekurangan. Semuanya Tuhan sediakan. Semua itu sungguh impian hampir semua istri di belahan dunia mana pun. Anak-anak sehat dan suami yang perhatian. Tak ada satu pun yang kurang. Julian benar-benar laki-laki idaman. Idaman wanita. Sayangnya, kini Julian yang itu tidak ada. Julian yang ada saat ini adalah lelaki cuek. "Kamu kenapa, sih, jadi aneh?" tanya Jovanka. *** Malam itu dilalui Jovanka dengan tak tenang. "Papa ke sibuk banget, ya, Ma?" tanya Javier. Anak itu mengintip ke ruang kerja Si Papa. "Kayaknya begitu, Jev," jawab Jovanka lirih. "Padahal Jev kangen main bareng lagi sama Papa kayak dulu-dulu," gumam Javier. Jovanka membimbing sang anak guna duduk di dekatnya. Jovanka mencoba tersenyum semanis mungkin. Senyum palsu yang diharapkan Jovanka tidak pernah diketahui kebenarannya oleh sang anak. "Papa cuma lagi nyari uang buat kita, Jev." Jovanka tidak ingin anaknya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tentang apa yang dikatakan oleh Julian. Tentang si papa yang meragukan status mereka sebagai anak kandung pria itu. Miris. "Papa biasa cari uang, tapi tetap main, kok." *** "Apa kamu enggak kasihan lihat dua wajah yang selalu berharap ditemani itu?" "Kenapa mesti kasihan?" tanya Julian sinis. "Mereka anakmu, Lian," lirih Jovanka sedih. Suasana kamar yang biasanya hangat, kali ini begitu dingin. Dua orang yang terbaring satu ranjang itu terlihat tak saling bertatapan seperti biasa. Malah jarak mereka cukup untuk dua orang. Tak ada lagi pelukan hangat, tiada si gombal Julian yang biasa menghujani Jovanka dengan gombalan-gombalan absurd ala playboy setengah jadi. Napas keduanya terdengar berat. Ada beban yang tak dapat diungkapkan. Si suami sibuk dengan rasa cemburu. Si istri sibuk dengan rasa kecewanya. "Anakku atau anak Devian?" tanya si suami. Setitik air mata tak bisa lagi ditahan si istri. "Tega kamu nuduh aku kayak gitu, ya, Lian!" "Kenapa enggak tega sama istri kayak kamu?" Jovanka makin tenggelam dalam rasa kecewa. Istri seperti apa yang dimaksud Julian sebenarnya? "Di mata kamu, aku istri enggak tahu diuntung?" "Aku enggak pernah bilang begitu, ya, tapi kalau ngerasa... mungkin emang gitu." "Tega!" Jovanka bangkit dari ranjang dan lari keluar. "Dasar perempuan cengeng!" teriak si suami. Jovanka berlari keluar kamar menuju dapur. "Mama?" Jovanka kaget mendengar suara dari sampingnya. Ternyata Javier keluar dari kamarnya, bertepatan dengan larinya Jovanka. Si ibu merasa gugup. Takut kalau-kalau anaknya tahu apa yang terjadi. "Eh, Jev, kok belum bobo?" tanya sang mama. "Udah." Javier mendengar suara aneh dari si mama. Remaja itu sampai mencari sakelar. Ia hanya ingin memastikan apa yang si mama sembunyikan di balik rambut. Rambut yang memang sengaja tidak dirapikan. Setelah lampu menyala, terlihat mata sang mama agak memerah. Javier tak tinggal diam. Ia langsung memeluk si mama erat-erat. Jovanka merasa hatinya teriris. Tidak ingin Javier berpikir macam-macam, Jovanka langsung melepaskan diri. Ia memasang sebuah senyum. "Kamu kenapa meluk mama tiba-tiba, Jev?" "Mama jujur sama Jev, Si Papa marah, ya?" "Enggak." Jovanka menggeleng dengan keras. Ia benar-benar ingin tak ada yang tahu tentang kecemburuan Julian. Apalagi kedua anaknya yang masih remaja. "Mata Mama enggak bisa bohong, Ma, bener." Javier berkata serius seraya menatap mamanya. "Anak Mama kebanyakan nonton film ini!" Jovanka benar-benar berlagak biasa saja. Wanita itu mengusap pipi Javier yang menatapnya. Namun, Javier menahan tangan sang mama. "Ma, Jev udah 13 tahun," jawab Javier sungguh-sungguh. Jovanka tertegun. Benar, usia anak itu sudah 13 tahun. Bukan lagi anak-anak yang dengan mudah dimanipulasi. Si wanita yang tengah kebingungan itu mengerjap. Jovanka memutar otak bagaimana ia harus menjawab dengan tepat tanpa berbohong. Namun, hatinya masih ragu untuk ia mengatakannya. Jovanka ragu kalau Javier sudah bisa paham. "Mana air minumnya, Ma lama amat ngambilnya?" "Papa?" "Ini Si Jev malah ngajak Mama main drama!" Javier langsung menurunkan tangan dan membiarkan sang Mama pergi. Si anak tertegun melihat sang ayah yang tiba-tiba datang dengan senyuman. Ia bahkan merasa sudah lama sekali tak melihat senyum itu. "Besok kita main, ya, Jev," ucap Julian datar. Jovanka segera berlari menuju kulkas dan mengambil sebuah botol berisi si air berembun kesukaan Julian. Julian menerima botol yang disodorkan oleh sang istri. Meneguk isinya perlahan di depan Javier yang menelan ludah. "Jev mau minum dulu, udah haus ini, bye!" Javier langsung kabur meninggalkan kedua orang tuanya itu. Ia merasa tak ada yang aneh, kecuali mata si mama yang memerah. Namun, Javier tidak bisa memaksa mamanya jujur. Javier akhirnya berharap itu memang salah lihat matanya saja. Mungkin saja itu si mama sudah tidur dan terbangun, ya jadinya matanya memerah seperti itu. Javier mengambil sebotol air mineral dingin. "Langsung tidur lagi, Jev!" perintah si mama. Javier hanya mengangguk karena di mulutnya masih penuh air. Ia melihat sang mama menaruh botol bekas air mineral yang tadi diminum papanya ke tong sampah. Lalu, wanita itu tak langsung berbalik, melainkan terlihat menyeka sudut matanya. Javier tidak ingin berprasangka lagi. "Mata Mama kenapa?" tanya Javier di posisinya. "Kelilipan." "Oh." Jovanka cepat menyingkir demi tidak terus mendapatkan pertanyaan dari Javier. Javier mengikuti langkah sang mama dengan tatapan cemasnya. Hati sang anak merasakan nyeri tiba-tiba yang entah apa namanya. Yang jelas Javier yakin sang mama dalam keadaan tak baik-baik saja. "Lain kali enggak usah lebay!" tegur si suami. "Terserah kamu mau bilang aku lebay juga!" Jovanka lelah. Ia ingin segera istirahat dengan tenang. Dipaksanya mata itu terpejam. "Enggak ada keinginan buat 'makasih' apa?" Jovanka membuka mata, tak tahu apa artinya. "Makasih buat apa?" tanya Jovanka di posisinya. "Makasih karena udah selametin dari Jev." Jovanka mengerutkan kening. Tidak paham apa maksud Julian. Namun, si suami tidak tinggal diam karena tak menunggu lama, tangannya 'piknik'. Jovanka hanya mendengkus sebal. Ia mungkin memang hanya objek bagi Julian saat ini. Ataukah memang pria itu sudah melupakan rasa cemburu di hatinya? Jovanka mencoba untuk mengikuti si suami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN