Bab 13.3: Perang Dunia Julian dan Devian

985 Kata
Sepulang dari pemakaman, Ruby ikut Devian. Keduanya jalan ke taman untuk mulai bercerita. "Kamu mau tahu apa yang diceritain Jovi?" "Ya." "Jovi bilang Julian cemburu sama dia, Dev." Ruby menyedot es boba di tangannya sebelum mulai bercerita. Ia merasa si Devian mulai menegang. Mungkin tak terima mendengar sang pujaan begitu menderita. "Julian memang selalu cemburu, kok, By." "Cemburu sama kalian?" tanya Ruby penasaran. "Ya." Tentu saja hal itu sering terjadi, sebab Julian memang manusia paling tidak manusiawi. "Memangnya kalian ngapain?" tanya Ruby. Devian menggeleng dengan senyum masam. "Julian sadar diri kalau cintanya Jovi aku." Ruby melotot mendengar pengakuan Devian. Bagaimana mungkin Julian tidak mau cemburu? "Pantesan." Devian menoleh ke wajah Ruby yang terkaget-kaget. Gadis itu menyedot es bobanya makin cepat. "Padahal harusnya dia bersyukur, loh, By." "Kok?" Devian kembali tersenyum, kali ini ia bangkit. "Bersyukur karena aku terlalu lambat mengaku." "Maksud kamu... terlambat mengaku gimana?" Devian mendengkus, mengingat dulu ia begitu banyak perhitungan. Terlalu takut kalau-kalau Jovanka tak terima cinta Devian. Untuk itu Devian justru tak segera mengungkapkan cintanya. "Aku takut Jovi nolak," lirih sang pria terkekeh. Mau tak mau Ruby ikut terkikik. Pria itu kembali menoleh ke arah Ruby di kursi taman yang remang-remang. Ia lalu mendekat. "Terus akhirnya kamu biarin adikmu maju?" "Begitulah." Ruby menggeleng-geleng heran. Pria sekeren Devian ternyata takut untuk mengakui perasaan cintanya kepada gadis pujaan. Bahkan ia mundur demi adiknya. Tak masuk akal gadis itu. Bagaimana mungkin ada pria seperti itu? Bahkan kebanyakan pria akan bertaruh raga demi mengambil hati dan cinta gadis impian. "Terus sejak itu kamu jomlo?" tanya si gadis. "Aku jomlo sejak dulu, By," jawab pria itu. Ruby benar-benar dibuat keheranan oleh pengakuan Devian. Bagaimana si pria bisa setahan itu hidup sendirian? Sebuah fakta yang sangat langka. "Jadi selama Jovi nikah sama Julian di situ kamu juga tetap sendiri?" tanya si gadis. "Iya." Benar-benar spesies pria langka. Ruby jadi makin simpati kepada pria itu. Ia jadi ingin mengenal Devian lebih jauh lagi ke depannya. Ruby seolah-olah lupa dengan pesan mamanya. "Enggak nyalahin kalau Julian sampai cemburu." "Itu urusan dia," jawab Devian santai saja. Benar memang, itu urusan Julian. Tak ada yang bisa mencampuri hal itu. Ya setidaknya semisal menyuruh Julian untuk tidak cemburu. Cemburu itu wajar. Hak setiap orang. Ruby pun paham. Namun, siapa yang tahu jika akhirnya seperti ini? Nyawa tiga orang melayang. Ruby menahan napas, merasa sakit di hatinya. Rasa sakit akibat penyesalan karena dirinya tak peka dengan kondisi sang sahabat. Harusnya Ruby tidak terlalu sibuk. Ia harusnya lebih peka. Menjadi tempat berbagi. "Andai saja aku lebih peka...," gumam Ruby. "Semuanya udah terlambat," jawab si pria. "Kamu bener, Dev," ujar Ruby seraya bangkit. "Udahan lah meratapnya! Kamu udah makan belum? Kalau belum, makan, yuk!" "Boleh." Mereka akhirnya pergi untuk makan malam. Mobil mereka beriringan. Menuju ke restoran milik Julian. Entah mengapa Devian ingin ke sana. Mungkin sedikit ingin menengok sang adik. Restoran milik Julian itu terlihat agak ramai. "Selamat malam, mau pesan apa, Pak, Bu?" Seorang pegawai berseragam hijau itu menyambut. Devian yang sudah hafal makanan di tempat itu, segera memesan mi rebus ayam. "Mi rebus ayam pedes, ya, banyakin si ayamnya!" Gadis pegawai itu mengangguk seraya mencatat. "Aku nasi goreng kampung, boleh, ya, Mbak." Itu saja pesanan mereka. Tentu saja si minuman tak ketinggalan. Segelas teh tawar. "Sering makan di sini juga?" tanya si pria. "Pernah." Mereka diam sejenak. Sibuk dengan si otak di kepala masing-masing. Sibuk mencari bahasan yang memang lebih relevan bagi keduanya. Namun, baru saja mereka sejenak tak ada suara, seseorang hadir di sana. Ya siapa lagi kalau bukan Julian? Mereka saling lempar tatap. Julian akhirnya mengambil kursi dari meja lain dan didekatkan ke mereka. Ia ingin bergabung dengan keduanya. Dengan senyum yang terkesan datar, Julian duduk. Satu kakinya menyilang di kaki lainnya. "Kalian keliatan serasi banget," ujar si Julian. Devian mencebik. Gerah dengan gaya sang adik. Manusia itu memang tidak peka. Ruby sendiri hanya tersenyum, tanpa menjawab. "Lo ada masalah apa sebenarnya, sih, Lian?" "Masalah apa? Gue cuma muji. Salah, gitu?" Devian menyeringai. Hafal dengan si adik dan kelakuannya. Andai ia tahu ada Julian di sana, mungkin mending makan di tempat lain. "Gue ke sini mau makan," ujar Devian datar. "Silakan!" Julian bangkit dari duduk bertepatan dengan kedatangan si pelayan. Gadis berseragam hijau itu membawakan si tamu pesanannya. Aroma lezat begitu kuat. "Silakan pesanannya, Pak, Bu," ucap pelayan. "Terima kasih banyak, ya, Mbak!" ujar Ruby. Devian masih menatap Julian. Si adik kemudian pergi. Namun, tatapannya tak lepas dari kedua orang yang kini sibuk dengan makanan di depannya. "Maafin adikku, ya, By... dia emang ya begitulah!" Ruby yang baru saja mengunyah nasi goreng kampungnya itu mengangguk sekali. Tak ada lagi kalimat di antara kedua orang itu. Masing-masing menikmati hidangan yang ada di depannya. Satu gelas teh tawar menjadi penutup. Tak lama, mereka pergi setelah bayar pesanan. Julian mengamati keduanya keluar. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja. Berpikir. "Lihat aja, Dev, gue bakal bikin semua berbalik!" Julian menggebrak meja sehingga ada beberapa karyawannya yang terkejut mendengar suara tiba-tiba itu. Orang-orang yang mendengar suara itu pun menoleh ke arah Julian. Namun, yang sudah terbiasa dengan karakter sang bos pun tak merasa heran. Pria yang baru sekitar setahun menduda itu tak pernah bisa mengontrol emosinya. Ya apalagi semenjak menduda, pria yang selalu berkemeja putih itu pun kerap marah-marah tanpa sebab jelas. Hal itu sudah menjadi makanan rutin karyawannya. "Pak Julian, maaf, baru saja Hotel De Family dan semua grup Hartawan tak lagi memperpanjang kerja sama," ujar seorang karyawan melapor. Julian Aditama yang emosinya sedang tak stabil, langsung berteriak kesal. Ia tahu ini ulah sang kakak. Tidak salah. "b******k!" "Kalau gitu saya pamit dulu," pamit si pegawai. Julian benar-benar kesal. Berkali-kali tinjunya melayang ke mana pun. Baik meja maupun dinding beton. Rasanya Julian ingin meremukkan semua yang ada. Andai Devian ada di depannya, sudah pasti wajah kakaknya itu dijamin tak selamat. "Devian b******k! Tunggu aja tanggal main semua pembalasan gue! Jangan nyesel!" Sekali lagi sebuah tinju didaratkan di meja. "Selamat malam, Pak, maaf ada kabar buruk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN