Menjalani Apa Adanya

1628 Kata
Aku sudah memutuskan semuanya, dan keputusan ku juga sudah bulat. Meyakini apa yang sudah menjadi pilihan ku. Dan pilihan ku jatuh pada gadis cantik dan manis bergigi gingsul yang semakin menambah pesona nya. Kinal. Sosok perempuan yang selama sebulan ini berada di sisi dan juga kepala ku. Aku tidak mengerti apa yang sudah di perbuat olehnya pada ku. Kinal itu unik. Sampai sekarang bahkan aku sudah melakukan sejauh ini. Dan keputusan ku sudah bulat. Kinal yang akan menjadi pilihan ku. Dan berharap akan terus seperti itu. Aku menghentikan mobil ku di depan sebuah rumah berlantai dua. Sebuah rumah minimalis yang ada di sebuah perumahan mewah di kawasan yang sangat aman. Mengingat ini adalah sebuah perumahan khusus kepolisian. Suasana di siang hari ini lumayan sepi, mungkin masih melakukan pekerjaan mereka masing - masing. Aku menarik napas dalam - dalam. Dan membuang nya dengan kasar. Berdoa dalam hati sebelum aku turun dan bertamu ke rumah yang ada di tempat aku parkirkan mobil ku. Semoga semuanya lancar. Amin. Aku membuka pintu mobil ku, lalu melangkah turun. Ku tatap ke sekeliling yang sepi. Lalu melangkah mendekati gerbang hitam yang setinggi tubuh dagu ku itu. "Assalammualaikum " ucap ku memberi salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang menyiram tanaman di depan halaman rumah nya yang tampak asri dan juga terawat. Wanita itu menoleh ke arah ku, lalu bergegas menghampiri tempat ku. "Walaikumsalam " jawab beliau dengan ramah. Aku tersenyum sopan. "Punten, nak. Nyari' saha , atuh ?" Aku tersenyum, menggaruk tengkuk ku yang tidak gatal. "Apa benar ini rumah nya, pak Rudi Malik ?" Tanya ku dengan sopan. Wanita itu mengangguk, kemudian ia membuka pintu pagar di depan ku. Mungkin ia baru sadar kalau kami berbicara terhalang pagar. "Benar. Saya istri nya. " "Ah.. maaf Tante. Kenal kan saya Dika. Emm.. saya teman Kinal di jakarta. " ujar ku dengan sopan sembari menyalami beliau. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik walau hanya mengenakan daster rumahan itu mengangguk dengan senyum merekah. "Wahh.. hayu atuh masuk dulu, " ujarnya mempersilahkan aku masuk. Aku mengangguk, lalu berjalan mengikuti nya menuju rumah. Wanita yang aku tau ibu nya Kinal mempersilahkan aku duduk di ruang tamu. Sedangkan ia pamit sebentar untuk mengambil kan aku minum. Aku hanya mengangguk, menaruh buah tangan yang aku bawa di atas meja. Sambil menunggu aku memilih mengamati hiasan dinding yang di dominan oleh bingkai foto. Dari ukuran besar hingga ukuran kecil. Aku tersenyum melihat sebuah bingkai berukuran sedang yang ada di atas sebuah lemari hias yang setinggi pinggang ku. Di mana terdapat selembar foto di dalam nya. Yaitu potret Kinal yang mengenakan seragam wisuda nya. Ia tersenyum amat lebar, khas seorang Kinal yang aku kenal. "Itu foto waktu Kinal wisuda kuliah nya, tiga tahun yang lalu. Aku menoleh ke sumber suara. Ibu nya Kinal ternyata sudah kembali. Dan meletakkan segelas minum di atas meja. Aku kembali duduk di hadapan nya dengan sopan. "Jadi, kamu temen nya Kinal, di jakarta ? Temen kantor ?" "Ah.. bukan Tante. Saya kebetulan tidak sekantor sama Kinal. " jawab ku jujur. Ia mengangguk sambil tersenyum. "Tante senang kalau ada temen Kinal yang main kesini. Tapi, Kinal kan di Jakarta ?" "Saya tau tante. Saya datang bukan buat bertemu dengan Kinal. Tapi, sama kedua orang tuanya Kinal " jawab ku dengan mulus. Aku bisa melihat kerutan di dahi ibunya Kinal. Tapi, kemudian kerutan itu menghilang. Berganti dengan senyuman misterius. Ia seolah bisa menebak maksud kedatangan ku. "Assalammualaikum " salam sebuah suara bariton membuat kami menoleh ke arah pintu. Aku semakin gugup saat melihat seorang pria paruh baya mengenakan seragam kebanggaan nya. Yaitu seragam polisi dengan pangkat yang tinggi tersampir di bahu nya. Bintang empat. Aku tau Papanya Kinal seorang polisi, Kinal memang pernah bercerita. Itu juga karena aku yang menanyakan nya. "Ada tamu, Mi " ujar Om Rudi, Papanya Kinal. "Nah. Kebetulan di Papah sudah pulang. " ujar Ibu nya Kinal menghampiri suami nya. Ia menyalami suami nya dengan bentuk bakti nya. "Pah, kenal kan. Ini Dika. Dia temen nya Kinal di jakarta. Dia datang mau ketemu kita berdua " Oke, sekarang aku jadi tau. Dari mana Kinal mendapatkan sifat yang riang dan juga selalu bersemangat. "Dika, Om " ujar ku menyalami beliau. Papa Kinal menatap ku menyelidik sejenak. Sebelum istri nya mencubit pinggang nya. Mungkin bermaksud menegur. Aku hanya tersenyum ketika Om Rudi mendelik ke istrinya. "Duduk lah " ucapnya tegas. Dan bernada perintah. Apa semua polisi bersikap seperti ini ? Tapi aku menurut. Demi masa depan ini. Aku kembali duduk, kembali mencoba untuk mengumpulkan keberanian ku yang sempat menyusut saat menatap papanya Kinal. "Jadi, ada apa? Apa yang membuat kamu datang kesini ?" Tanya Om Rudi pada ku dengan tegas dan juga berwibawa. Aku berdehem sejenak. Lalu memberanikan diri untuk menatap Papanya Kinal. "Saya datang mau minta izin untuk mendekati putri Om dan tante " ujar ku to the point. Rasanya Om Rudi tidak menginginkan basa basi saat ini. "Maksud kamu ?" Aku diam sejenak, mencari kata - kata yang tepat untuk menjadi kalimat yang tepat. "Saya ingin menjalani hubungan serius sama Kinal. Jadi, sebelum itu saya ingin meminta izin lebih dulu pada Om dan tante. " "Kinal yang nyuruh kamu kesini ?" Aku menggeleng kan kepala ku. "Saya yang berinisiatif untuk datang sendiri meminta izin pada Om dan tante. " Bisa ku lihat senyum Ibu nya Kinal dengan mata berkaca - kaca. "Boleh saya tau, apa pekerjaan kamu ?" "Pah!" Tegur Ibu nya Kinal tidak enak mungkin. Tapi, aku tersenyum maklum. Semua orang tua pasti putri mereka memiliki masa depan yang cerah setelah menikah. Jika, dulu ketika di tanya seperti itu aku hanya bisa menunduk gelisah. Tidak tau harus menjawab apa. Kali ini aku memberanikan diri untuk duduk dengan tegak dan menatap Om Rudi. "Saya kebetulan membuka usaha bersama teman saya, Om. Ya, masih belum terlalu besar memang. Tapi, pencapaian hingga sekarang alhamdulillah. " "Di bidang properti, juga ?" "Emm.. saya arsitek " jawab ku dengan sopan. Ku lirik lagi Ibunya Kinal tersenyum bangga. "Kamu asli Jakarta ?" Aku menggeleng mendengar pertanyaan Tante Vivi, ibunya Kinal. "Bukan tante. Saya asli dari Aceh " "Wahh... Pah.. " aku bisa menangkap aura kesenangan di mata Tante Vivi dan juga sempat melirik pada Om Rudi yang sempat menyunggingkan senyum tipisnya. apa aku bisa berbangga diri sekarang. Aku berharap kali ini berhasil. Tidak lagi mengulang hal silam yang akan membuat ku jatuh untuk kedua kali nya. Bagi ku, restu dari kedua orang tua jauh lebih penting dari pada Cinta anak nya pada ku. Aku tidak bisa melangkah jika, restu belum aku genggam. *** Pertemuan ku dengan kedua orang tua Kinal berjalan dengan lancar. Setelah selesai dengan misi ku, aku langsung pamit pulang saat hari mulai sore. Takut, tiba di jakarta terlalu malam. Aku bersyukur, kali ini semua berjalan dengan mulus. Om Rudi sosok yang berwibawa. Beliau sangat pengertian. Tidak mempermasalahkan pekerjaan kedua orang tua ku yang hanya seorang petani di kampung. Dan sekarang, langkah ku seolah terasa ringan. Aku tiba di jakarta pukul sembilan malam lewat. Sebelum menuju ke apartemen ku, aku mampir ke sebuah kedai yang menjual martabak. Setelah itu menelfon Kinal. Sudah seharian ini aku tidak mendengar suaranya. Itu karena aku harus berkonsentrasi dengan pekerjaan ku. Ya.. selain meminta izin pada kedua orang tua Kinal. Aku juga sebelum nya ada pekerjaan di Bandung. Dan dua - dua nya berjalan dengan baik. Setelah meminta izin untuk mampir ke Kosan Kinal, aku langsung melajukan mobil menuju kosan nya. "Hai, malam " sapa ku, ketika ia membuka pintu kamar nya. Ia tersenyum menyambut ku, membalas sapaan ku. Lalu mempersilahkan aku masuk. Kami mengobrol banyak malam ini walau sempat di landa keheningan. Karena aku memberi waktu untuk aku menetralkan diri ku sendiri. Sampai akhir nya aku memberanikan diri untuk mengatakan nya. "Kenapa ?" Tanya nya heran. Aku menarik napas ku dan membuat nya perlahan. Lalu ku tatap lekat matanya. Menggenggam tangan nya. "Nal, aku bukan tipe yang suka main - main sama suatu hubungan. Aku ingin serius. Dan saat pertama kali aku mutusin buat ngedeketin kamu, aku mau serius. Bukan mau coba - coba. Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tidak suka bertele - tele. Aku ingin terus terang sama kamu. Kalau aku mau kita serius. " Ujarku dalam satu tarikan napas. Kinal diam memandangi ku. Tepatnya, masih mencoba untuk memahami maksud ucapan ku "Maksud kamu ?" Tanya nya. Aku menghela napas berat . Bukan ini yang aku minta. Bukan pertanyaan itu. Hahh.. Tapi, aku tersenyum manis dan tulus. Tangan ku mengusap kepala nya dengan lembut. "Udah malam, kalau gitu aku pamit ya " ujar ku padanya. Ini udah terlalu malam untuk bertamu. Apalagi di kamar ini hanya kami berdua. "Marah, ya ? Apa aku salah..." "Enggak kok, udah malam banget. Gak enak sama yang lain. " ujar ku. Tidak ingin ia merasa bersalah. Ia mengangguk dengan lemas. Membuat ku tersenyum gemas. Kemudian mengantar ku sampai pintu. Aku tidak mau ia mengantar hingga ke mobil ku. udah malam banget cuacanya dingin lagi. Aku tidak mau dia sakit. Lagian, pasti capek jika harus turun naik tangga. Sebab kamar kos nya ada di lantai dua. "Aku pulang ya, kamu istirahat. " ujar ku lagi. Ia mengangguk. Ia terlihat sangat menggemaskan jika sedang terlihat cemberut lucu. "Besok pagi aku jemput ya, " ujarku. Ia mengangguk, kini dengan senyum. Membuat senyum itu juga menular pada ku, sambil tangan nya mengusap puncak kepala ku. "Assalammualaikum " pamit ku. Ia mengangguk. "Walaikumsalam. Hati - hati. Kabarin kalau udah nyampe " balas nya. Aku pun berbalik dan melangkah pergi. Lagi, langkah ku terasa sangat ringan. Serasa semua beban hilang. Kinal benar - bener berhasil membuat ku semakin ingin memiliki nya. Dan selanjut nya, aku akan berbicara dengan kedua orang tua ku, tentang Kinal. Kalau untuk itu, aku tidak perlu khawatir, orang tua ku tidak terlalu pemilih. Bagi mereka asal se-iman, maka semuanya baik - baik saja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN