Teman Baru

1679 Kata
Jakarta..... Satu tahun kemudian........ Dengan pakaian casual Dika melangkah memasuki Fakultas Tehnik. Memanggul ransel hitam nya dan sebuah buku di tangan juga selembar gulungan panjang kertas karton dirinya berjalan menyusuri koridor kelas. Drt Drt Drt Ponsel di dalam saku celana nya bergetar. Ia langsung mengambilnya, sebuah pesan masuk dari yang tersayang. My Luv : Sayang semangat ngampus pagi ini. Jangan lupa sarapan. Kedua ujung bibirnya langsung tertarik berlawanan membentuk sebuah senyuman paling manis di sana. - Sayang juga semangat ngampusnya. Kalau ada yang ganggu, bilangi kalau pacar kamu galak -. Send. Ia membalas pesan itu sambil berjalan. Lalu tidak lama kemudian sebuah pesan lain masuk. Dari Radith rupanya. Radit : Minggu depan aku ke Jakarta, main. Sekalian mau ngenalin seseorang. - Siapa? Pacar? - Ia melirik kedepan sebentar, berbelok ke kiri menaiki anak tangga menuju lantai dua dimana kelasnya berada. Sesekali membalas sapaan mahasiswa yang mengenalnya. Radit : tau aja Kawu. Dika tersengih sekali, setelah membalas pesan Radit ia langsung melanjutkan langkahnya yang menapaki lantai dua. Sesekali membalas senyum teman-teman seangkatan nya. Sebelum masuk kedalam kelasnya yang sudah di huni oleh beberapa mahasiswa lainnya. "Dik, Lo udah tau? Kalau Pak Agung sakit?". Seorang laki-laki yang duduk di samping langsung membuka suara begitu ia duduk. "Gak masuk dong beliau". Kata Dika. Temannya itu menggeleng. "Tapi udah nitip tugas sama si Arsen". Dika ber- oh saja, ia melihat pada kertas yang diberikan Wildan, teman nya itu padanya. "Selesai ini pada mau kemana?". Ia langsung mengangkat wajahnya pada seseorang yang tiba-tiba berdiri di depan meja. "Belum tau". Jawab Dika kembali fokus pada tugas nya. "Lo gak kerja kan? Ikut kita-kita main futsal gimana?. Kita lagi kurang pemain.". Ujar Arsen. "Berani bayar berapa?". Tanya Dika tanpa menoleh. "Wooo... Mantan pemain timnas beda emang!". Seru Wildan. "Ck, Lo Dik!. Sama kawan gitu banget. Soal bayaran gampang dah". Ujar Arsen kemudian. Ia hanya mengangguk saja, lalu menyetujui ajakkan Arsen. Ia Laki-laki itu adalah temannya semenjak Ospek beberapa bulan yang lalu. Dan menjadi akrab ketika satu kelas. Jadi, ia tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang kota. *** Selesai kelas terakhir, Dika dan dua temannya memutuskan untuk ke kantin. Sambil mengobrol dan bercanda Ia dan Arsen sampai tidak sengaja menabrak seseorang. Sebenarnya Arsen yang tidak sengaja menabrak seseorang. "Sorry, sorry gue gak liat!". Kata Arsen. Ia menoleh pada orang yang tidak sengaja di tabrak temannya itu. Lalu melirik pada laki-laki lain yang ada di balik orang itu. "Buta Lo!". Bentak orang itu pada Arsen. Ia melirik pada baju orang itu yang tampak basah seperti terkena jus. Lalu melirik pada laki-laki berkacamata bersama Hendrik dan gengnya. Ia tidak mengenal mereka, Tapi cukup tau karena sikap buruk mereka di kampus. Semua mahasiswa dan mahasiswi kampusnya pasti mengetahui Hendrik. "Lo gapapa?". Tanya Dika pada Regil, si cowok berkacamata yang rambutnya sudah basah entah karena apa. Tapi, ia menebak karena ulah Hendrik. Arsen dan Wildan menoleh ke arah Regil. Melihat cowok itu mengangguk, ia pun memilih untuk berlalu pergi. Tanpa memperdulikan Hendrik yang menatapnya. "Mentang-mentang Anaknya pejabat, kelakuan sengak gitu". Ujar Wildan ketika mereka sudah duduk di salah satu meja kosong. "Siapa?". Tanya Arsen sambil menusuk baksonya. "Tuh, si Hendrik. Bokapnya kan anggota DPRD". Jawab Wildan. Ia tidak terlalu memperdulikan nya. Bukan tidak tau, tapi ia hanya ingin belajar dengan tenang tanpa melibatkan diri dalam masalah. Radit pernah bilang, kalau hidup di Ibu Kota itu keras. Jangan menjadi sok baik, apalagi sok pahlawan. Karena itu bisa menjadi s*****a makan tuan. Dan selama hampir tujuh bulan ini, ia berhasil menjalani pendidikan nya dengan tenang. Dirinya beberapa kali melihat Hendrik dan Gengnya mengerjai atau mengganggu Regil. Cowok itu terlalu lemah, tidak berani melawan. Bahkan, adiknya saja yang masih duduk di kelas 6 SD akan berani menindas balik orang yang menindas nya. Apalagi dirinya, di pukul ya balas pukul. Kalau diam saja tidak akan menyelesaikan apapun. Dan selama mereka tidak mengganggu dirinya. Maka ia juga akan diam dan tenang. Berbeda jika sudah berulah dengan nya. Jangankan anak pejabat, anak presiden sekalipun ia jabanin. Sret. Suapan bakso nya berhenti di udara ketika sesuatu di sodorkan di depan wajahnya. Ia langsung menoleh dan melihat seorang perempuan berdiri di samping mejanya. "Undangan buat Lo, jangan lupa dateng". Ujar cewek cantik berambut hitam lurus dengan pakaian dress merah jambu yang hanya sebatas lutut panjangnya. "Thanks". Kata Dika dan kembali menikmati baksonya. Merasa si perempuan itu belum pergi, ia kembali menoleh dengan tanya. "Ada lagi?". Tanya Dika sopan. "Lo bakal datang kan?". Tanya gadis itu. "Enggak". "Kenapa?". "Sibuk". "Sibuk apa?". Ia menghela napas kasar, lalu menatap cewek itu dengan tajam. "Gue banyak kerjaan, jadi gak ada waktu buat dateng ke..." Ia melirik pada undangan yang di berikan barusan. "Acara ultah Lo". Lanjutnya setelah membaca sekilas. Ia tidak perduli ketika Gadis itu menghela napas kecewa. Bahkan ketika cewek itu pergi, ia langsung menikmati baksonya. "Gila Lo!. Itu Ratu! Lo nolak undangan dia?!". "Hm". Cuek Dika. "Sayang lho Dik, cantik banget anjing!". Kata Wildan. Dika tidak merespon, hanya melahap baksonya sambil sesekali membalas pesan dari kekasihnya yang mengeluh lelah siang itu. *** Siang ini ia kembali melihat Regil di kantin. Dan lagi-lagi sedang berusan dengan Hendrik. Jadi, ia memilih untuk membatalkan niatnya membeli minum di sana. Ia memilih untuk langsung ke kelas saja. Hari ini ia banyak waktu luang, kelasnya hanya satu. Sedangkan jam masih pukul tiga sore. Jadwal kerjanya masih beberapa jam lagi. Selama di Jakarta ia kuliah sambil bekerja. Dan dirinya sadar jika kebutuhan ia sangat banyak, mengandalkan beasiswa aja tidak akan cukup. Jadi, seminggu setelah resmi kuliah ia mendapatkan sebuah perkerjaan di sebuah restoran mewah. Ia bekerja shift malam, lalu jika hari Sabtu dan Minggu ia juga bekerja menjadi guru privat seorang anak SMP yang kebetulan anak dari pemilik Restoran di tempatnya bekerja. Uangnya lumayan, untuk kebutuhan nya sehari-hari. Membayar kos atau menabung untuk nanti. Saat hendak pulang, sehabis dari toilet ia tidak sengaja mendengar suara pintu di gedor. Maka ia langsung mencari sumber suara, yang berasal dari belakang gedung Fakultas nya. Di sana memang ada gudang yang tidak terpakai lagi. Tanpa menunggu lagi ia langsung menuju ke sana. Dari suara yang sempat meminta tolong ia seperti mengenalinya. Lalu benar saja, saat ia membuka pintu gudang yang terkunci ia menemukan Regil disana. Melihat laki-laki yang kacamatanya sudah retak itu dirinya hanya bisa menghela napas berat. *** "Nih". Dika menyodorkan sebotol minuman mineral pada Regil. "Thanks". Jawab Regil menerima botol minuman itu. Ia hanya mengangguk, lalu menempelkan es batu yang ia beli di pipi Regil yang tampak lembam. "Lo gak bisa berkelahi ya?". Tanya Dika. Regil menoleh padanya sambil memegangi es yang di tempel Dika padanya. "Kata Mutia, Lo ikut karate". Lanjut Dika. Mutia itu anak SMP yang menjadi murid privat nya. Yang juga adik dari Regil. Yap!. Ia bekerja di restoran milik keluarga Regil juga mengajar adiknya. "Kenapa Lo diam aja?". Tanya Dika lagi. "Nanti malah panjang". "Lo bisa ngadu ke Pak Roni". Jawab Dika menyebut nama Ayahnya Regil. Ia melihat laki-laki sebaya nya itu menggelengkan kepala. Membuat ia menghela napas berat. Setelah itu melihat jam di tangannya ia memutuskan untuk pamit lebih dulu. "Gue duluan kalau gitu". Ujar Dika beranjak dari kursinya. "Kalau Lo diam terus, Hendrik dan yang lain bakal terus ganggu Lo". Kata Dika lagi sebelum pergi. "Dika". Dika berhenti dan menoleh kembali pada Ragi. "Thanks". Kata Regil tersenyum padanya. Ia mengangguk, dan kemudian kembali berlalu pergi meninggalkan Regil. *** Dika baru saja menginjakan kaki di kantin, ketika mendengar suara benturan keras. Lalu tubuh seseorang terlempar tepat di depan nya. "Udah berani Lo sekarang! Hah!!". Teriak Hendrik membentak. Dika melirik Regil yang tergeletak di depannya dengan muka babak belur. Lalu melirik Hendrik yang bibirnya berdarah. Melihat itu, ia tersengih sendiri. Meski Regil babak belur nya parah, paling tidak cowok itu berani membalas. "Sikat aja Hen, ngelunjak tuh lama-lama". Ia langsung melirik tajam pada salah satu teman Hendrik yang menjadi provokator. Dan kemudian melihat Hendrik membawa satu balok bekas patahan kursi. Saat itu lah, ia berhenti menahan diri dan berhenti bersabar. Begitu Cowok itu maju, maka ketika itu pula ia menendangnya sambil berlari sehingga membuat Hendrik terjungkal cukup kuat sampai merusak meja. Semua tampak terkejut. Seluruh isi kantin terkejut melihat aksinya. Terlebih teman-teman Hendrik. Tidak ketinggalan cewek-cewek yang tadi masa bodoh, kini melirik ke arahnya. "Kalian yang lama-kelamaan menjadi ngelunjak!" Kata Dika dingin. "Lo!". Hendrik merasa tidak terima. Cowok itu langsung bangun dan berlari menerjang Dika. Tapi dengan mudah ia menghindar dan bahkan melayangkan pukulan lain pada Hendrik. Dika melirik pada teman-teman Hendrik yang hendak maju. Dan kemudian ia melihat Arsen, Banu dan Wildan yang juga ikut maju membantunya. "Biar imbang". Kata Arsen yang sudah berdiri di depan Dika. "Cari mati Lo". Kata Hendrik dengan nada sangat marah. Cowok itu hendak kembali maju, tapi tiba-tiba seorang pria dewasa dengan tubuh tegap dan besar berdiri di depan Dika dan Arsen. Semua tampak bingung, Hendrik juga terhenti dan terdiam. Ia juga melihat dengan bingung, sampai seorang gadis remaja muncul. "Felly" gumam Arsen kaget. Gadis remaja yang masih mengenakan seragam sekolah SMA itu langsung menoleh kesal. Yang membuat gadis itu terlihat menggemaskan. "Kalian!" Seru gadis itu pada Hendrik. "Berani macam-macam sama Kak Arsen! Berurusan dengan Om Miko nih!". Lanjut gadis itu menunjuk pada bodyguard nya. Dika langsung berbalik, membantu Regil. Ia memapah cowok itu, dan sempat melempar tatapan mengancam pada Hendrik. "Fel, ayo pergi". Ia mendengar suara Arsen yang mengajak gadis itu ikut. Ia membawa Regil ke klinik kampus, mengobati luka lebam teman nya itu. Lalu tidak sengaja mendengar suara ribut di luar, yaitu Suara ribut Arsen dan gadis remaja yang tidak ia kenali. Sepertinya adiknya Arsen. "Biarin aja. " Ujar Banu ketika ia melempar tatapan pada si calon dokter. "Setelah ini pasti bakal makin parah". Kata Regil. "Gak akan". Kata Dika sambil melihat Banu mengobati luka-luka Regil. "Dari mana Lo tau?". "Bilang gue". Jawab Dika. Regil mengernyitkan dahinya. " Kalau mereka berani ganggu Lo lagi, bilang sama gue". Regil tersenyum. "Tante Erni udah banyak bantu gue, jadi gue cuma mau balas budi aja". Lanjut Dika. "Thanks". Dika mengangguk saja. Setelah kejadian itu, ia dan Ragil menjadi dekat. Bahkan sesekali ia mengajari Ragil karate. Dan Ragil mengajari nya tentang bisnis. Jadi, secara tidak langsung mereka saling berbagi ilmu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN