"Dik, kita udahan aja ya".
Dika langsung terkejut setengah mati, saat Rahma mengatakan kalimat tersebut. Bahkan, ia bisa merasakan jantungnya berhenti berfungsi selama sedetik. Memandangi tidak percaya, Rahma menatapnya langsung ketika mengatakan hal seperti itu.
"April mop udah lewat, Yank". Katanya hanya untuk sekedar menyangkal.
Karena pada kenyataan nya, sirat mata Rahma terlihat tidak sama sekali bercanda. Tidak sedang dalam mengerjainya. Lagi pula, gadis itu tidak pernah bercanda tentang seperti itu.
Mengetahui itu membuat hatinya langsung hancur.
"Kenapa?". Suaranya nyaris tidak terdengar. d**a nya sungguh terasa sesak. "Aku sama sekali gak ada hubungan apapun dengan Erika, Sumpah demi Tuhan, Yank!. Cuma kamu -".
"Papa ku sakit".
Dika terdiam, memandangi gadis itu dengan bingung. "Aku gak bisa lagi ngebuat beliau terluka. Hubungan kita, salah dimatanya".
"Yank, sedikit lagi. Sedikit lagi, tolong bersabar lah. Aku akan berusaha lebih keras lagi-".
"Ini buka tentang harta atau uang Dik". Kata Rahma dengan lirih.
"Ini tentang balas budi Papa ku pada seseorang yang menyelamatkan nyawanya".
Dika sampai tidak bisa lagi berkata-kata. Ia terlihat kacau dan juga marah. Tapi tidak bisa ia lampiaskan. Hanya bisa ia pendam sendiri.
"Namanya Daren, anak dari orang yang akan mendonorkan hatinya untuk Papa."
"Ada cara lain kan?". Rahma menggelengkan kepala. Gadis itu mengusap air matanya.
"Maaf".
Dika menangis, cowok itu menangis tapi tidak tau bagaimana caranya karena sesak yang ia rasakan. Hatinya jauh lebih sakit karena gadis yang ia cintai harus mengorbankan kebahagian nya.
"Jangan lakukan itu, kalau kamu gak bahagia". Katanya.
"Aku gak perduli kalau kita putus atau apapun. Aku cuma mau ngeliat kamu bahagia. Rahma, aku gak mau apapun. Aku cuma mau kamu bahagia". Kata Dika dengan napas tersengal karena sesak yang ia rasakan.
Rahma langsung memeluknya, menangis dalam pelukkan pria yang sangat ia cintai. Pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya dan mencintai dirinya dengan ketulusan. Dika adalah cintanya yang paling sempurna.
Dan ia harus melepaskan nya.
"Maaf". Hanya itu yang bisa ia katakan.
Dika mendorong halus gadis itu, memberi jarak untuk mereka berdua. Matanya menatap mata Rahma yang basah.
"Janji sama aku, kalau kamu akan bahagia". Kata Dika.
Isakkan gadis itu semakin keras, tangis itu semakin keras. Laki-laki itu hanya memikirkan dirinya.
"Kamu juga?".
"Setelah kamu, aku akan melakukan nya". Kata Dika.
Rahma mengangguk, gadis itu mengangguk dalam tangis dan juga tidak rela. Tapi, ia harus berusaha. Ia harus menepati janjinya. Karena ia juga ingin laki-laki itu bahagia, meski bukan dengan nya.
Ia memejamkan matanya ketika Dika mendekat dan menciumnya. Ia menikmati bibir itu di bibirnya. Mungkin untuk terakhir kali nya, ia akan menyimpan rasa itu menjadi kenangan paling indah yang tidak akan pernah ia lupakan.
Dika melumat bibirnya dengan begitu lembut. Penuh perasaan yang terasa sangat menyakitkan.
Tangan nya meremas pelan pinggang gadisnya, memperdalam lagi ciuman mereka. Semakin dalam ciuman mereka, maka rasa sakit itu semakin dalam ia rasakan.
"I love you, Bee".
" I love you too, Bee".
***
Cklek
Brakk !
Suara pintu yang di buka dengan kasar membuat pria yang sedang menikmati sarapan pagi nya menoleh ke arah pintu yang tidak jauh dari Pantry.
"Dik, loe gapapa ?" Tanya seorang Pria yang tadi membuka pintu dengan kasar dan langsung menghampiri Pria yang sedang duduk di meja bar sambil makan.
Dika menggeleng kepala menjawab pertanyaan. Membuat Radith memicing matanya untuk menyelidik.
"Bokis banget loe, k*****t. " ucapnya ikut duduk di hadapan Dika.
Pria itu memang terlihat kacau, mulai dari cara makan, rambut yang berantakkan, mata nya memerah, muka kusut, bahkan tidak ada gairah sama sekali.
"So, kenapa loe bisa putus ?" Tanya Radith mencomot telur dadar di piring Dika.
Dika mengindikkan bahu nya acuh, ia meneguk minuman nya sedikit.
"Loe tau alasannya. " jawab nya dengan santai.
"Oh god, Dik. kalian pacaran sejak sekolah ya, dan LDR- an tiga tahun, tiba - tiba sekarang putus. Holy shit.!.. " ucap Radit tidak percaya.
Lagi - lagi Dika mengindikkan bahu nya. Ia jelas terlihat sangat malas untuk berbicara mengenai hubungan nya dengan sang kekasih yang baru saja kandas di tengah jalan.
Hubungan yang sudah ia perjuangkan sejak masa sekolah dulu, hingga sekarang ia berumur 24 tahun.
"Gue lagi malas bahas apapun menyangkut dia sekarang, kalau loe masih niat buat bahas itu mending loe cabut aja sana. " ujar Dika beranjak dari kursi dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci piring bekas makan nya.
Radith hanya bisa menghela napas berat nya. Menatap iba pada punggung sahabat sejak kecil nya itu.
"Loe, mau lepas gitu aja ?"
"Dia yang mau " jawab Dika meletakkan piring di rak nya. Lalu ia kembali duduk di tempat semula.
"Loe mau ?"
"Gue gak punya pilihan lagi "
"Dik, loe gak biasanya kayak gini "
"Anggap aja gue sama dia sama - sama capek. Dan mulai sama - sama lelah. Gue gak mau lagi perjuangin kalau dia udah gak mau buat gue perjuangin " ujar Dika dengan santai.
Radith diam, ia menghembuskan napas kasar nya. Menatap iba pada Dika. Ia tau banget gimana sahabat nya itu sangat menyayangi pacar nya itu.
Akhirnya ia memilih untuk beranjak ke sofa ruang tamu dan menyala kan tivi. Sedang kan Dika kembali ke kamar nya. Mungkin untuk membersihkan diri.
***
"Pagi Pak".
Dika hanya mengangguk sebagai balasan sapaan pada pak Rahmat yaitu Satpam di pintu lobi gedung dimana perusahaan nya berada.
Dua tahun yang lalu, ia dengan modal nekat memutuskan untuk membangun perusahaan arsitektur sendiri bersama dengan Radit. Setelah ia bekerja di sebuah perusahaan swasta dan merasa mulai bosan juga jenuh. Ia harus meningkat kan lagi tantangan itu. Jadi, dengan pemikiran gila yang kebetulan ia juga punya sahabat gila jadilah mereka membangun perusahaan R&D art's.
Setahun yang lalu masih ngontrak rumah untuk ia jadi kan kantor dengan ia dan Radith saja yang berkerja.
Dan sekarang, mereka bisa menempati satu lantai di sebuah gedung pencakar langit untuk kantor mereka. Dengan belasan anak buah. Untuk mencapai titik ini ia dan Radit harus berkerja hampir 24 jam sehari. Bekerja, bekerja dan terus bekerja. Memulai dari bawah bukan hal gampang. Bahkan sekarang pun mereka masih termasuk perusahaan kecil.
Apalagi sejak hubungan nya dan Rahma berakhir setahun yang lalu. Maka, ia seolah hidup hanya untuk mencari pundi-pundi rupiah.
Beruntungnya, dia memiliki banyak kenalan para pengusaha. Berkat dirinya memiliki teman-teman yang sukses juga memiliki provit elit. Regil, banyak sekali membantunya sejak mereka masih berkuliah dulu. Bahkan ketika mereka sama-sama lulus dan mengejar karir masing-masing.
Ting.
"Jess, Jessica!. Dengerin dulu dong!".
Lift yang ia naiki baru saja berhenti di lantai 10, dimana kantornya berada. Dan sudah melihat pasutri belum sah sedang membuat drama di sana.
Gadis cantik dengan tubuh bak super model berjalan dengan raut muka kesal dan marah. Bahkan untuk menyapanya saja tidak di lakukan, gadis itu berlalu melewatinya begitu saja.
"Jessica!". Seru Radit.
Sahabatnya itu terlambat, karena pintu lift yang di masukin Jessica sudah tertutup.
"Kali ini kenapa lagi? Lo lupa lagi sama janji Lo?". Tanya Dika melirik sahabatnya yang terlihat frustasi.
"Ya gitu deh". Jawab Radit.
Dika menghela napas berat. "Kan gue udah bilang, biar gua yang lanjutin. Loe batu sih". Katanya.
Radit menghela napas kasar, pria itu kemudian mendelik padanya. Lalu mengambil jalur tangga darurat untuk mengejar sang kekasih yang sepertinya kali ini benar-benar terlihat marah.
Ia memilih mengindikkan bahunya. Kembali berjalan menuju kantornya. Menyapa beberapa karyawan nya yang kembali fokus bekerja setelah menonton aksi drama India barusan.
Ruangan kantornya tidak terlalu besar. Tidak juga terlalu kecil, namun masih cukup untuk ia dan Radit. Ia menuju ke mejanya sendiri. Langsung membuka komputer nya dan kemudian mengambil gulungan kertas karton yang ia bawa dari rumah. Lalu membentangkan di meja lain nya.
Ia memandangi sekali lagi gambar hasil kerja tangannya semalaman. Memeriksa kembali semuanya agar nanti saat presentasi dengan client tidak ada yang salah atau terlupa.
Tok Tok Tok
"Masuk". Sautnya tanpa menoleh.
Pintu ruangannya terbuka, terlihat seorang pria paruh baya masuk sambil membawakan nampan berisi satu cangkir minuman.
"Kopinya Pak". Kata Pak Ilham.
"Eh, makasih Pak Ilham". Jawab Dika langsung noleh. Ia langsung berjalan menghampiri beliau. "Gimana anak Bapak? Sudah baikkan?". Tanya Dika dengan ramah.
"Alhamdulillah sudah baikan Pak, saya tidak tau harus membalas kebaikan Pak Dika sama Pak Radith gimana. Berkat Bapak, nyawa anak saya bisa di selamat kan. Operasinya berjalan dengan lancar". Ujar Pak Ilham dengan begitu canggung dan penuh terimakasih.
"Sama-sama, Pak. Kalau memang saya bisa bantu, kenapa enggak. Bapak juga sering bantu kita.". Jawab Dika.
"Kalau gitu saya permisi dulu pak, harus kembali bekerja". Pamit beliau.
Dika mengangguk, tersenyum dengan ramah dan penuh sopan santun. Pak Ilham pun langsung berlalu pergi, keluar dari ruangannya. Ia masih memandangi kepergian beliau.
Ia pernah di posisi beliau. Jadi, ia sangat tau bagaimana rasanya.
Apa yang ia rasakan, tidak perlu di rasakan oleh orang lain.
Kembali kepada pekerjaan nya, hari ini ia harus melakukan nya dengan baik. Karena client satu ini akan menentukan masa depan R&D. Dan ia dan Radit sudah bekerja keras untuk proyek satu ini. Dan hari ini mereka harus mendapatkan kerja sama itu.