Impian Yang Kandas

1789 Kata
Jakarta..... "Maaf, saya harus mengatakan ini sama kamu". Dika memandang dokter di depannya dengan pandangan lekat. Segala kecemasan dan ke khawatiran ia sembunyikan dalam-dalam. "Pak Hendra". Ia menunduk sejenak, memandangi jemarinya sendiri, membiarkan Dokter Albert berbicara dengan Pak Hendra, pelatih TimNas U-19. "Lutut kirinya cedera parah, Ada retakan fatal disana.". Jantung Dika berdebar kencang. Pak Hendra memandanginya dengan pandangan menyesal dan juga sedih. "Sungguh sangat di sayangkan, dia tidak bisa melanjutkan pertandingan kedepannya. Bisa sangat fatal jika di paksakan untuk bermain lagi." "Kemungkinan terburuknya apa Dok?". Tanya Dika mencoba menggais sedikit saja harapan nya. Dokter Albert, yaitu dokter ahli tulang dari Barcelona. Yang sedang bertugas di Indonesia untuk menangani pemain-pemain muda Indonesia. "Kaki kiri kamu bisa lumpuh total". Dika langsung merasakan pasokan udara dalam dadanya menipis. Dirinya hanya bisa menunduk dalam. Menekan perasaan sakit dan juga putus asa yang sangat amat menusuk hatinya. Sepak bola adalah impian dan cita-cita yang sangat ia banggakan. Olah raga itu adalah hidupnya selama ini. Ia bisa terus bersekolah dan membantu sedikit keuangan keluarga nya yang memang sekarat karena hasil dari ia bermain sepak bola. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?. Dika tidak lagi mendengarkan obrolan Dokter Albert dengan pelatih Hendra. Ia sudah tenggelam dalam pemikiran nya sendiri. Satu impian nya kandas begitu saja. Pertandingan melawan Vietnam dua hari yang lalu cukup menguras tenaga dan emosi. Dan berakhir dengan ia di keluarkan dari lapangan karena ia cedera di menit-menit terakhir babak kedua. Lalu hasilnya tidak kalah parah. Ia harus mengubur dalam-dalam impiannya menjadi pemain sepakbola profesional. "Meskipun sembuh total, namun kaki kirinya tidak bisa lagi seperti biasa. Tidak bisa memberikan tekanan atau dorongan. Dika bisa saja menggunakan kaki kanan nya, Tapi-". "Kaki kanan saya tidak sekuat kaki kiri". Jawab Dika. Pak Hendra menghela napas berat. Turut prihatin dan juga kecewa karena harus kehilangan pemain bertalenta seperti Dika. Setelah melakukan pemerikasaan dan juga konsultasi, ia dan Pak Hendra memutuskan untuk pamit. Kembali ke basecamp. Lalu sepanjang perjalanan menuju asrama, ia memilih diam saja. Hanya menatap keluar jendela mobil memandangi gedung-gedung tinggi Ibu Kota yang begitu megah. *** Banda Aceh..... Tiba di bandara Sultan Iskandar Muda, Dika langsung mengambil tas ransel dan juga kopernya. Setelah itu langsung memutuskan keluar, menuju lobi. Langkahnya berhenti di tengah-tengah Lobi, melihat Rahma yang sedang duduk di bangku menunggu dirinya. Ia terdiam memandangi gadis yang sudah setahun ini menjadi kekasihnya. "Sebelum semuanya semakin jauh, lebih baik akhiri hubungan kalian. Saya mengizinkan kalian berpacaran hanya karena kalian masih remaja, untuk menikah. Saya tidak mau memberikan putri satu-satunya pada kamu". "Kenapa?". "Sedari kecil, Rahma selalu terpenuhi. Saya memberikan apapun yang ia butuhkan. Dan saya tidak yakin, kamu bisa memenuhi semua nya.". "Saya -". "Sudahlah, sepak bola tidak memiliki masa depan yang cerah. Sudah banyak contohnya.". Dika menelan ludah nya sendiri mengingat kembali obrolannya dengan Om Irfan yaitu Papanya Rahma beberapa bulan yang lalu. "Dika!". Lamunannya buyar ketika mendengar namanya di panggil. Ternyata Rahma sudah menyadari kehadiran nya. Ia langsung melempar senyuman manis dan semangat. Berjalan mendekati gadis yang masih teramat ia cintai. "Hai". Sapa Dika dengan ramah dan juga santai. "Lama ya?". Tanya Dika kemudian. "Enggak kok". Jawab gadis itu. "Ayo". Ajaknya kemudian. Dika mengangguk saja, mengambil alih kunci mobil di tangan Rahma. Lalu mengajak gadis itu menuju mobil yang ada di parkiran. "Kamu sendiri?". Tanya Dika saat mereka tiba di mobil milik Rahma. "Iya,". Jawab nya. Dika mengulum senyum, membuka pintu sisi samping kemudi untuk gadisnya. Dan kemudian ia langsung menuju sisi kemudi. "Kamu gapapa?". Tiba-tiba Rahma bertanya saat mobil melaju meninggalkan parkiran. "Ha?". Kagetnya. "Kaki Dika". Lanjut gadis itu hati-hati. "Ohh". Ujarnya ber- oh dengan santai. "Gapapa kok, udah sembuh juga". Jawab Dika tersenyum pada Rahma. Gadis itu mengangguk sambil menggunakan kata syukur. Ia hanya mengulum senyum kecil, saat Rahma memeluk lengan nya dengan manja. Ia merasa nyaman dan sedih juga kecewanya berkurang. "Jangan putus asa ya, aku percaya Dika laki-laki yang kuat.". Kata Rahma meliriknya. Dika mengangguk, ia mengecup kening gadis itu dengan lembut. Sungguh, ia merasa sangat beruntung saat ini. Memiliki seseorang yang selalu bisa mengerti dan memberi semangat saat ia terjatuh. "Makasih". Katanya. Rahma mengulum senyum, lalu kembali menyandarkan kepalanya di lengannya. *** Perubahan itu kental di rasakan oleh Radith. Ia mengetahui jika sahabatnya itu banyak berubah. Dika menjadi orang yang lebih pendiam. Lebih cenderung banyak diam dan melakukan semuanya dalam diam. Ia bahkan sering mendapati Dika merenung sendiri. Itu membuatnya khawatir. Ia sangat tau, seberapa sangat inginya Dika menjadi seorang pemain sepak bola profesional. Tapi, semuanya harus kandas begitu saja. Namun, ia bersyukur karena ada Rahma. Kekasih Dika itu sedikit lebih banyak membantu dalam memulihkan mental Dika. Walau ia tau jika beban itu semakin berat. Ia mengetahui tentang Dika yang bertemu dengan Papanya Rahma. Ia tau, jika keluarga gadis itu tidak suka dengan hubungan keduanya. Dika sudah cerita semuanya. Dan bertekad buat tetap mempertahankan gadis itu. Membuktikan pada Om Irfan jika dia bisa memberikan apapun untuk Rahma. "Dith". Suara panggilan Dika sedikit mengalihkan Radith yang sedang serius mengerjakan tugas sekolah di atas kasur mereka. "Apa?". Saut Radith tanpa menoleh. "Ini kertas formulir kah? ". Radith menoleh kebelakang, dan melihat Dika tengah membaca selembar kertas yang di taruh Radith di atas meja. " Tehnik ". Tanya Dika lagi dengan heran. Ia menoleh pada Radith, melihat sahabatnya itu mengangguk santai sambil melanjutkan kembali tugas sekolah mereka. " ya ". Jawab Radit. Ia terdiam, membaca ulang formulir di tangannya. Lalu ia terdiam, mengingat lagi jika ia memang sering melihat Radith menggambar. Bahkan sahabatnya itu sering membuat bangunan atau rumah saat pelajaran seni budaya. "Arsitek?". "Ya". Dika menghela napas lagi. Ia memandangi Radit yang serius belajar. Lalu meletakkan kembali kertas itu kemudian memilih untuk keluar dari dalam kamar. "Rahma". Ia sedikit terkejut saat keluar rumah melihat Ibunya sedang mengobrol dengan kekasihnya di kedai orang tuanya. Jadi ia langsung sedikit bergegas kesana. "Rahma". Sapanya. Dua wanita itu menoleh, Rahma langsung tersenyum manis membuat senyum itu menular. "Jalan yuk?" Ajak gadis itu. Ia langsung tersenyum sendiri, melirik Ibu nya yang juga sedang tersenyum. Dika tidak kuasa menolak, jadi ia langsung berpamitan pada ibunya. Dan memutuskan untuk mengikuti ajakan sang Kekasih. Ia memang sudah mengenalkan Rahma pada ibu dan Ayahnya. Sejak lebaran idul Fitri tahun kemarin. Dan bersyukur keluarganya menyambut atau memberi tanggapan positif. Sungguh, keluarganya bukan orang pemilih. Selama menurut mereka baik, anak-anak mereka bahagia keluarga akan mendukung. Jadi, tidak heran jika sekarang Rahma dekat dengan keluarganya Dika. *** Motor bebek milik Rahma yang di kendarai oleh Dika berhenti di parkiran depan lobi stadion. Rahma langsung turun dari bocengan nya. Memberikan helm pada cowok itu. "Ngapain kesini?". Tanya Dika yang juga membuka helmnya dan menyangkutkan di spion. "Pengen aja". Jawab Rahma menariknya untuk turun. "Mau ngobrol". Lanjut gadis itu. Ia menurut saja, turun dari atas motor dan kemudian mengikuti Rahma masuk kedalam stadion. Stadion Bola terbesar di Banda Aceh itu tampak sepi. Hanya ada beberapa anak-anak yang sedang berlatih di tengah lapangan saja. Dan beberapa orang yang sedang melakukan jogging sore di lintasan lari. Rahma mengajaknya untuk duduk di tribun penonton paling atas. Meletakkan makanan ringan dan minuman yang mereka beli di sampingnya. Melihat lapangan bola dan anak-anak yang sedang bermain di tengah lapangan sana. Membuat jiwa atlit nya berteriak ingin ikut gabung. Tapi, ia harus menahan diri. "Radit cerita, katanya Dika lebih banyak diam sekarang". Tiba-tiba Rahma membuka suara. "Ha?". Jengitnya. Menoleh pada Rahma yang duduk di samping. "Masa sih?". Gadis itu memandanginya, kemudian mengangguk yakin. Membuat ia tersenyum kecil. "Radit, Mamak dan Ayah kamu jadi khawatir sama Dika". Lanjut Rahma. Dika diam, menunduk sebentar dan kemudian kembali memandangi kedepan. "Jatuh sekali gapapa Dik, kamu masih bisa bangun. Kita masih bisa menginginkan yang lain. Ada banyak hal yang bisa kamu lakuin selain sepak bola. Kamu pintar, jenius, bisa melakukan segala hal. Jadi-". "Aku gapapa kok". Selanya yang geli sendiri dengan raut khawatir sang kekasih. Ia meraih tangan Rahma kedalam genggaman. Kemudian memandang dengan senyuman paling hangat dan lembut. "Seriusan, aku gapapa. Mungkin aku memang jadi lebih pendiam, tapi bukan berarti aku enggak baik-baik aja. Mereka hanya sedikit berlebihan saja". Jelas Dika. Rahma menatapnya lebih Lamat lagi. "Seperti yang kamu bilang, aku bisa melakukan segalanya. Dan aku baru saja menemukan jawaban dan impian baru". Dahi Rahma mengernyit heran. Namun kemudian tersenyum, bukan senyum meremehkan. Dia bisa melihat sirat mata semangat di mata sang kekasih. "Apa ?". Tanya Rahma penasaran dan bersemangat. "Menikah sama kamu". Jawab Dika. Rahma terkejut, dan langsung merasa kedua pipinya menghangat. Itu membuatnya tersenyum senang. Gadis itu langsung memukul lengannya karena salah tingkah. "Gak jelas". Sangkal gadis itu. Ia hanya mengulum senyum, kekasihnya sangat menggemaskan ketika sedang salah tingkah dan malu. Dan ia tidak bohong, yang tadi bukan hanya sekedar bualan atau gombalan. Karena, pada kenyataannya ia memang benar-benar ingin menikah dengan Rahma. Gadis itu selalu ada untuknya, selalu bisa mengimbangi dirinya. "Aku mau kuliah". Rahma menoleh padanya. "Lulus nanti, aku mau lanjut kuliah. Ngambil jurusan Teknik, Arsitektur.". Gadis manis itu mengulum senyum manis dan senangnya. Membuat ia juga tersenyum senang. Dulu ia pernah bilang ke Rahma, jika Lulus nanti ia akan terus bermain sepak bola. Tidak akan merencanakan untuk melanjutkan pendidikan. Karena akan fokus pada sepak bola. Dan itu sedikit membuat Rahma kecewa. Ia tau itu, untuk gadis itu pendidikan adalah nomor satu. Jadi, tidak heran jika nanti Lulus kekasihnya itu akan melanjutkan kuliah di Yogyakarta. "Aku senang dengar itu". Kata Rahma. "Aku tau". Jawab Dika. Rahma tersenyum lagi, menatapnya dengan penuh cinta. Begitu juga dengan dirinya. Menatap Rahma adalah bagian favorit nya. Karena disana ia merasakan kedamaian dalam kegelisahannya. "Mau ikut ke Yogyakarta?". Tanya Rahma. Dika menggeleng. "Radit pengen nya di Bandung, ITB. Aku mungkin mau masuk UI". "Serius?". Tanya Rahma tidak percaya. "Iya, kenapa ? Kok kaget gitu?". Tanya Dika heran. "Enggak, kalau Radit sih aku yakin lewat di ITB. Kamu? UI itu susah, aku gak pernah liat kamu belajar. Pegang buku aja jarang. Belajar waktu ujian aja. Itu juga saat hari H.". Kata Rahma meledeknya. "Waahhh... Maksud kamu, aku gak pintar gitu?". "Sedikit". Dika langsung frustasi, membuat Rahma tertawa lepas melihat wajah kekasihnya yang seperti hendak marah tapi tidak bisa. Sungguh lucu dan sangat menggemaskan. "Tunggu aja ya, Dika bahkan bisa masuk UI melalui jalur undangan, bahkan bisa dapat beasiswa penuh!" Kata Dika begitu optimis. "I see". "Sayang!". Cowok itu mulai kesal dan mengeluarkan rengekan kesal. Membuat Rahma semakin tertawa senang. Ia sudah mendelik sebal sendiri. Dan kemudian tersenyum. "Aku bakal doa banyak-banyak buat pacar aku ini. Supaya beneran bisa kuliah di UI.". Kata Rahma dengan tulus. "Bener?". Gadis itu mengangguk. Ia lagi-lagi tersenyum. "Terimakasih". Kata Dika mengecup tangan Rahma dalam genggaman nya. "Sama-sama". Jawab Rahma. Ia mengulum senyum, memandangi kekasihnya dengan lekat. Lalu kemudian menarik gadis itu dalam pelukkan. Sungguh bersyukur ia memiliki Rahma sebagai kekasihnya. Gadis itu sangat baik dan selalu pengertian. Bahkan selalu memberikan dukungan padanya. Baik itu saat ia terpuruk atau bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN