Selama dua hari kami benar-benar melakukan latihan hingga malam, kadang aku menginap di kosan Radi karena terlalu malas pulang ke rumah.
Hari ini seperti biasanya, kami berkumpul di lapangan indoor. Kak Haqi bilang hari ini calon pelatih kami akan datang untuk melihat latihan kami sebagai penentuan apakah beliau akan tertarik pada kami dan mulai kembali melatih tim atau menolaknya.
"Mana nih si Rio? lama amat." gerutu Radi sambil mengibaskan kaosnya yang sudah cukup basah oleh keringat.
Aku hanya menggelengkan kepala tidak tahu sambil meminum sport drink yang selalu di siapkan Riri untuk kami.
Kak Haqi dan Rio tadi menyuruh kami untuk istirahat selama mereka berdua menunggu calon pelatih di depan sekolah. Lagian kenapa mereka berdua gak tunggu di sini aja coba? kenapa harus nunggu di luar?
Cukup lama kami menunggu kedua kakak kelas ku itu datang. Untung nya hari ini klub lain yang memakai lapangan indoor ini juga sedang libur latihan selama beberapa hari.
Kenapa aku tahu? Haikal yang kasih tahu.
Klub yang menggunakan laporan indoor ini selain klub sepak takraw kami, ada klub basket, juga voli. Nah kebetulan jadwal klub kami selalu bersama klub basket, klub nya Haikal.
Saat aku sedang mengobrol dengan Radi tentang latihan sebelum nya, akhirnya Rio dan Kak Haqi datang. Seorang pria tinggi jalan di belakang kedua kakak kelas ku itu.
Badannya lebih tinggi dari Rio. Kalau saja Rio tidak memberitahu kami jika kami memiliki calon pelatih, mungkin aku sudah mengira jika pria itu adalah pemain basket atau voli, karena tinggi badan nya cocok untuk kedua olahraga itu.
Aku dan Radi menghentikan obrolan kami dan segera berdiri. Riri pun berjalan mendekat dan berdiri di samping ku.
Rio berdiri di depan kami bertiga begitu pun dengan Kak Haqi dan pria yang bersama mereka itu.
"Nah semuanya, perkenalkan dia yang akan menjadi calon pelatih di klub kita. Namanya Alvan."
Aku, Radi dan Riri menyapa pria bernama Alvan dengan sedikit bersemangat tetapi sepertinya tidak untuk pria itu. Sejak dia masuk bersama Rio, pria itu seakan enggan untuk datang.
"Mereka anak kelas satu yang kemarin gue ceritain, Van. Yang di sebelah kiri Juna dan di sebelahnya Radi, dan yang perempuan itu Riri, kalau Riri ini manajer klub." ucap Rio memperkenalkan kami semua.
Rio kembali memandang kami. Aku bisa dengan jelas melihat binar-binar api semangat di mata Rio. "Seperti yang udah gw sampaikan beberapa hari lalu kalau Alvan bakal memantau latihan kita hari ini untuk menentukan apakah klub kita layak untuk di latih oleh beliau ini. Jadi, ayo kita semangat!" ujarnya dengan berapi-api.
Aku yang hendak kembali ke tengah lapangan berhenti saat melihat Radi tidak juga bergerak dari tempatnya.
Kenapa nih anak?
Radi terlihat masih memandang Alvan yang sedang mengobrol bersama Rio dengan serius.
"Lo kenapa dah ngeliatin pak Alvan kaya gitu? naksir lo?"
Radi hanya melirik ku sekilas lalu kembali menatap Alvan. "Kayaknya gue pernah liat doi deh, tapi dimana ya?"
Melihat Radi yang memperhatikan Alvan dengan serius membuatku ikut memperhatikan calon pelatih kami itu.
Pak Alvan tipe pria yang pasti masuk jajaran pria idaman wanita. Selain tinggi, kulit coklat dan rambut sedikit gondrong nya menambah aura ketampanan pria itu. Badannya pun terlihat tegas, dan pandangan matanya yang seakan menusuk itu seakan memilih karismanya tersendiri.
"Hoi! ngapain kalian malah bengong gitu?" teriak Rio dari pinggir lapangan yang mengagetkan kami berdua.
Kami pun kembali menuju ke tengah lapangan saat Kak Haqi mulai menghampiri kami.
"Kita akan mulai latihan tanding 2 lawan 2. Juna, lo sama Rio dan Radi, lo sama gue. Kita harus buktiin ke Alvan kalau kita bisa menghidupkan kembali klub ini dan mengharumkan nama sekolah." ucap Kak Haqi. Walaupun nada suaranya terdengar datar seperti biasa, tetapi baik aku dan Radi tahu jika Kak Haqi pun sama semangat nya dengan Rio.
Lalu kami pun mulai ke posisi masing-masing saat Rio menghampiri kami setelah selesai berbicara dengan Pak Alvan.
Aku dan Rio langsung bergabung menjadi satu grup dan berdiri di sisi kanan. Rio dan Haqi maju ke arah Riri untuk menentukan siapa yang akan memulai lebih dulu dengan melemparkan uang koin.
Rio memilih kepala sedangkan Haqi memilih buntut. Saat koin itu di lempar dan jatuh ke tangan Riri, Sisi kepala lah yang muncul.
Rio tersenyum lebar dan kembali berdiri di sebelah ku, sedangkan aku merasa tegang. Walaupun ini hanya latihan biasa tetapi karena tahu kami sedang di awasi dan hal ini yang menentukan iya atau tidaknya membuatku gugup.
"Tenang aja, Jun. Percaya sama gue, lo pasti bisa."
Rio bener, gue harus bisa. Kalau baru di awasi satu orang aja aku udah gugup gini, gimana kalau pertandingan langsung? kan gak lucu kalau pingsan di tempat.
Mungkin karena melihat ku masih gugup, Rio mengambil alih untuk memukul bola nya.
Tak!
Bola rotan itu sudah di pukul oleh Rio, pukulan bertenaga itu membuat bola terpantul tinggi. Saat bola melewati net, Kak Haqi pun memantulkan kembali bola itu ke arah kami. Entah di sengaja atau tidak tetapi bola itu mengarah pada ku, aku langsung bersiap untuk memukulnya.
Tak!
Berhasil! walaupun tidak sekeras pukulan Rio tetapi aku berhasil memantulkan bola rotan itu dengan sempurna. Semakin lama kami semakin menikmati permainan ini. Rio benar-benar tidak memberi ampun pada Kak Haqi. Permainan memanas saat Radi tidak terima kalau aku berhasil menghalau tendangannya dan memantulkan kembali bola itu ke arahnya.
Seperti yang di katakan Rio sebelum nya, pengalaman ku dalam pencak silat membuat ku mudah bergerak untuk memukul bola nya. Dari lompatan satu ke lompatan yang lain.
Poin demi poin kami hasilkan, bahkan poin tim ku dan tim kak Haqi tidak terlalu jauh.
Aku mengambil ancang-ancang saat melihat bola kembali mengarah padaku, namun sayang pukulan ku tidak terlalu keras, hingga bola itu tidak memantul ke sebrang net melainkan jatuh di depan net kami.
Riri meniup peluit setelah mencatat nilai poin di papan. Aku yang sudah kehabisan energi membaringkan badan ku di lantai sambil terengah-engah.
"Yak! good job guys!" teriak Riri, "Pertandingan hari ini di menangkan oleh tim Kak Haqi!" lanjutnya dengan semangat.
"Sial! padahal cuma dua poin lagi!!" umpat Rio kesal sedangkan Kak Haqi hanya sedikit tersenyum sambil meneguk sport drink miliknya.
"Permainan kalian cukup bagus." ucap Alvan tiba-tiba.
Anjir, gue lupa kalau masih ada pak Alvan.
Rio tersenyum sangat lebar saat mendengar pujian dari Pak Alvan.
"Walaupun kalian masih memiliki beberapa kekurangan tetapi untuk pemain pemula seperti kalian sudah sangat cukup bagus." lanjut Pak Alvan.
"Jadi sesuai perjanjian kan? lo bakal ngelatih kita kalau permainan kita bagus." ucap Rio sambil menyilang kan kakinya.
Alvan memandang kami semua yang kini duduk di depannya. Ia seolah memperhatikan kami dengan seksama, "Seperti yang sudah di janjikan, aku akan melatih klub kalian. Karena Rio bilang kalau target pertama kita adalah memenangkan pertandingan antar sekolah, jangan harap aku akan melatih kalian dengan lembut. Aku akan menujukan pada kalian, seperti apa latihan sesungguhnya itu." ucapnya dengan tegas dan dingin.
*
"Lo nginep di kosan gue lagi?" tanya nya setelah kami selesai latihan.
Aku mengecek jam tangan ku. Sudah pukul tujuh malam. Lagi-lagi latihan kami sampai malam seperti ini.
Aku pun mengangguk, "Kalau lo gak keberatan, gue ikut nginep di tempat lo lagi." jawab ku.
"Sans aja. Nanti lo ke kosan gue duluan aja, gue mau mampir beli makan dulu. Lo mau nitip?"
"Pesen lewat aplikasi aja sih, dari pada lo capek-capek ke warungnya."
"Sekalian gue mau ke ATM soalnya." jawabnya sambil mengeluarkan kunci motor.
"Gak apa nih gue ke kosan lo duluan? apa gue juga ikut?"
"Udah lo tunggu aja di kosan gue. Tunggu aja di ruang depan, biasanya jam segini ada bang Rudi lagi ngopi."
Aku pun mengangguk, kami pun berpisah saat keluar dari gerbang sekolah.
Untung nya Radi tidak terlalu lama pergi, begitu Radi tiba di kosan kami segera menyantap makanan yang di beli Radi.
"Btw tadi lo kenapa bengong gitu pas pertama liat Pak Alvan?" tanya ku sambil memakan kerupuk yang tinggal setengah.
"Gue kan ngerasa pernah liat Pak Alvan ya, gue mikir terus tuh pernah liat dimana. Pas di jalan tadi gue baru inget kalau Pak Alvan itu salah satu pemain sepak takraw terbaik dan dia mantan atlit sepak takraw juga."
Aku tersedak minuman yang tengah ku minum, "Serius lo? terus kenapa dia ga jadi atlit lagi?"
Radi mengangkat bahunya, "Gue kurang tahu. Gimana kalau besok kita tanya Rio aja tentang asal usul Pak Alvan?" usulnya.
"Setuju."
*