Sanvi menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak yang sudah membakar dadanya. Tatapannya tetap tak bergeser dari mata Wina, tajam, menusuk, seakan ingin menyingkap semua lapisan kepura-puraan di balik wajah anggun wanita itu. Wina pun tak kalah berani, ia membalas dengan tatapan yang sama menusuk, bahkan sedikit sinis. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, namun itu bukanlah senyum ramah, melainkan sindiran yang penuh tantangan. “Maksud kamu apa, Sanvi?” Suara Wina terdengar datar tapi mengandung tekanan. Ia lalu menggeser kursinya sedikit ke depan, memperjelas posisi dominannya di meja itu. “Kamu melarang Hedy bergabung dengan Mas Haris? Lalu apa kamu pikir suamimu pantas untuk bergabung? Memang dia bisa memegang perusahaan? Dia lebih handal memegang pasien, kan? Jawabannya jelas ad

