Sanvi terdiam, tubuhnya menegang ketika Arshan menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Jantungnya berdebar begitu kencang, seakan setiap detaknya terdengar jelas di telinganya sendiri. “Apa…?” gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Namun belum sempat dia mencari arti di balik sikap Arshan, pria itu tiba-tiba mendekat, menatap matanya dengan sorot yang sulit ditafsirkan—antara keraguan, keberanian, dan rasa yang selama ini dipendam. Tanpa aba-aba, Arshan menunduk sedikit, bibirnya menyapu lembut bibir Sanvi. Sentuhan itu begitu singkat pada awalnya, nyaris seperti sebuah kebetulan. Tapi justru karena singkat, rasa hangat yang timbul menjalar cepat hingga ke ujung jemari Sanvi. Ia membeku, tidak tahu harus menolak atau merespons. Namun ketika Ars

