Haris duduk di kursi kerjanya dengan wajah merah padam. Di layar ponselnya, berita tentang Mila menjadi model majalah dewasa terus diputar berulang, seakan menampar martabatnya. Rahangnya mengeras, gigi bergemeletuk menahan amarah. “Mila…,” desisnya pelan tapi penuh bara, “Kenapa kamu bisa sampai jadi model majalah dewasa seperti ini? Tanpa tanya, tanpa diskusi lebih dulu padaku? Apa kamu belum cukup membuat malu keluarga dengan segala tingkahmu?” Suaranya berat, setiap kata meluncur seperti palu yang menghantam. Sorot matanya menyala seperti api, bukan hanya marah tapi juga kecewa mendalam. Baginya, Mila sudah melangkah terlalu jauh. Haris merasa harga diri dan kehormatan keluarganya sedang dipertontonkan di hadapan publik tanpa bisa ia kendalikan. “Kenapa sekarang kamu bertindak seena

