Malam itu, ruang kerja Ferdi hanya diterangi lampu meja. Bayangan kota menari di jendela kaca besar di belakangnya, sementara deru hujan seperti mengetuk-ngetuk kesadarannya yang nyaris pudar oleh kelelahan. Laporan keuangan, grafik saham, dan daftar nama pemegang saham baru berserakan di meja. Di ujung tumpukan itu, ada satu nama yang membuatnya menghela napas berat—Surya Pranata. “Kalau kamu terus menatap kertas itu, kertanya bisa bolong, Cintaku.” Suara lembut itu datang dari belakang. Andini berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur sutra warna krem yang tampak samar di bawah cahaya temaram. Wajahnya tampak letih tapi teduh, seperti bulan yang sabar menunggu langitnya kembali jernih. Ferdi menoleh pelan, sudut bibirnya terangkat lemah. “Kamu belum tidur?” “Bagaimana aku bisa

