Malam menggantung di atas langit kota, berat dan pekat seperti rahasia yang hendak meledak. Di jalan panjang menuju rumah besar keluarga Surya, Melati memegang kemudi erat-erat. Jemarinya gemetar, kuku yang baru dicat merah muda kini terkelupas di ujungnya. Lampu halaman menyala lembut ketika gerbang besi terbuka otomatis. Rumah Surya Wijaya berdiri megah, fasad kolonial dengan jendela tinggi, pilar kokoh, dan taman mawar yang kini tampak seperti kuburan kecil. Ia turun dari mobil, mengenakan mantel panjang dan sepatu hak tinggi, tapi langkahnya goyah. Parfum Chanel-nya menutupi aroma keringat dingin di kulitnya. Pintu depan terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Seorang pelayan tua menunduk. “Pak Surya sudah menunggu di ruang kerja.” Melati menelan ludah. “Terima kasih, Pak Darma.” Rua

