Langkah Herdi santai menuruni tangga utama rumah besar keluarga Martenez. Jasnya rapi, sepatu mengkilap, dan senyum tipis masih bertengger di wajahnya—campuran kesombongan alami dan sisa kepuasan setelah makan siang nikmat. Baru saja dia membuka pintu menuju garasi, suara langkah ringan terdengar dari arah dalam. Andini. Ia baru turun dari kamar, mengenakan blus putih longgar dan celana santai, rambutnya masih sedikit basah, tanda baru selesai mandi. Wajahnya bersih, tapi tatapannya tetap tajam. “Kamu bilang mau menginap?” tanyanya singkat. Herdi menoleh, menekan remote kunci mobilnya, lalu menjawab santai, “Aku hanya pergi sebentar, My Lady.” “Ke mana?” “Wanita bersuami dilarang bertanya urusan lelaki single.” Andini mendengus pelan. “Kamu adik iparku.” “Meski kamu tahu aku menci

