Malam itu hujan turun tak deras, tapi cukup untuk membuat jalanan licin, dan langkah Melati menjadi sia-sia. Ia tak membawa koper, hanya dompet, ponsel dan tubuh yang gemetar oleh kemarahan yang tak lagi bisa ia tahan. Dua hari. Hanya dua hari menikah, dan ia sudah merasa seperti bayangan di rumah suaminya sendiri. Di lobi apartemen, penjaga yang mengenalnya hanya angkat alis, lalu mengangguk—mereka sudah tahu. Perempuan itu datang seperti badai yang tak pernah benar-benar hilang. Hanya berpindah arah. Pintu kamar 20-7 terbuka dalam satu ketukan. Dan di sana, seperti biasa, Vano berdiri dengan kaus abu-abu longgar dan tatapan yang tak pernah bisa Melati tebak sepenuhnya. “Dua persen, Van.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya sebelum tubuhnya jatuh ke d**a Vano, seperti seseorang yang p

