Melati duduk sendirian di sofa ruang tengah Roy. Lampu gantung menyala redup, menciptakan siluet halus di dinding putih. Sepatunya sudah ia lepas sejak lima belas menit lalu. Kakinya terlipat, tubuhnya sedikit membungkuk, menatap ke arah pintu kamar. Roy keluar dari sana, mengenakan kaos tipis dan celana jogger. Rambutnya sedikit berantakan, tapi mata itu membuat Melati ragu atas semua pertahanannya. Roy memang penurut, tapi terkadang, dia seperti bara api yang bisa padam kapan saja. “Kamu diam sejak tadi,” ucapnya sambil duduk di samping Melati. “Kalau aku bicara, aku takut terlalu jujur,” jawab Melati pelan. Roy menyentuh jemarinya, membiarkannya tergenggam di tangannya. “Jujurlah. Aku nggak akan pergi.” Melati tersenyum, nyaris tak terlihat. “Kamu masih mengejar Andini ya?" Roy me

