Hujan tipis menyambut kedatangan mereka di Bandara Halim. Udara Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Roy yang duduk diam di kursi belakang mobil, memandangi gedung-gedung yang melesat lewat jendela. Di sampingnya, Melati merapikan syal di lehernya, matanya menatap lurus ke depan. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya, tapi tangan yang mencengkeram tas kecil di pangkuan sudah berkeringat sejak pesawat mulai mendarat. “Jakarta tetap sama,” gumam Roy, memecah keheningan. “Rasanya nggak pernah berubah.” “Kamu berubah,” sahut Melati ringan, menoleh sekilas. “Dulu kamu selalu bicara tentang rencana... sekarang kamu lebih banyak diam.” Roy menghela napas, tidak menanggapi. Mobil melaju mulus menuju rumah keluarga besar keluarga Martenez. Melati memej

