Pagi itu, Ferdi duduk di balik meja kerjanya yang besar, dikelilingi aroma kopi hitam dan tumpukan berkas. Sekretarisnya mengetuk pintu, masuk dengan raut wajah yang jarang ia tunjukkan — serius, bahkan sedikit khawatir. “Pak,” ucapnya sambil meletakkan map tebal di meja. “Saya rasa Bapak perlu melihat ini.” Ferdi membuka map itu. Matanya langsung tertuju pada serangkaian dokumen: bukti pembelian saham dari perusahaan induk oleh nama-nama yang samar, tapi jelas terhubung pada Farhat. Yang membuat alis Ferdi terangkat adalah fakta bahwa Farhat pernah berkata berulang kali bahwa dia tidak butuh saham, hanya ingin posisi strategis di perusahaan. “Dia bilang tak butuh saham… tapi ini?” gumam Ferdi, suaranya berat. “Bukan hanya itu, Pak.” Sekretarisnya menyerahkan berkas lain. “Kami melacak

