Telepon Melati berdering untuk kesekian kalinya di meja Roy, tapi lelaki itu hanya menatap layar ponselnya tanpa niat menyentuhnya. Nama itu berkedip, berulang-ulang, memantulkan cahaya biru di wajahnya yang kaku. Di sisi lain meja, Herdi sudah berdiri dengan jas abu-abu gelap, menatap ke luar jendela ruang rapat perusahaan Martenez yang kini sepi. “Jangan angkat,” kata Herdi tanpa menoleh. Nada suaranya datar tapi mengandung perintah. Roy menelan ludah. “Dia akan curiga, Paman.” “Bagus kalau curiga,” sahut Herdi, masih menatap ke luar jendela. “Jangan beri dia jawaban. Biarkan dia tenggelam dalam ketakutan kecilnya sendiri. Itu akan membuatnya berhati-hati dan saat orang berhati-hati, mereka akan lebih mudah memberi kita celah.” Roy tidak membalas. Ia hanya meraih jasnya, mengikuti l

