Pagi itu, sinar matahari menembus tirai ruang kerja utama di lantai dua Martenez Corp, membias di atas meja marmer yang penuh dokumen rapat dan laporan saham. Di luar, langit Jakarta tampak bersih—seolah menipu, karena badai sesungguhnya baru saja mulai. Ferdi menatap grafik merah di layar monitor. Garis turun itu seperti luka terbuka di matanya. Ia tahu, ini bukan sekadar permainan angka. Ini adalah langkah pembuka dari Surya—lelaki yang tak pernah menyerang tanpa rencana cadangan. “Kalau pergerakan saham minoritas terus seperti ini, dua minggu lagi Surya bisa duduk di kursi komisaris utama,” ujar Herdi, berdiri di sisi kanan meja dengan ekspresi tanpa kompromi. “Kita harus segera mengunci pemegang saham yang masih netral.” Ferdi menatap layar sejenak, lalu beralih pada Andini yang dud

