Sudah lima belas menit lebih, aku masih saja menangis. Namun, menangis kali berbeda dari biasanya. Aku menangis karena bahagia, sangat bahagia. Aku benar-benar tidak sadar kalau aku sedang mengandung. Mual yang kurasakan, mood yang mudah sekali berubah, hati yang lebih sensitif, tidak membuatku menyadari ada perubahan pada diriku sendiri. Kalau bukan Mas Fendi yang menyadari perubahanku, mungkin sampai detik ini aku belum tahu kalau ada calon kehidupan di rahimku. Saking seringnya kecewa sampai membuatku jadi takut untuk mengecek kehamilan, padahal bulan-bulan sebelumnya rutin kulakukan. “Udah, nangisnya.” Mas Fendi mengusap air mataku yang masih tak mau berhenti. “Seneng nangis, sedih pun nangis. Cengengnya luar biasa.” “Biarin!” Aku dan Mas Fendi baru saja dari rumah sakit untuk mem