89. Awan Hitam yang Tak Kunjung Pergi

1709 Kata

“M-mas ... Mas Fendi ...” Aku terbangun ketika merasakan tanganku diketuk-ketuk pelan. Aku langsung duduk saat melihat Sisil sudah bangun. Wajahnya pucat, matanya pun sembab. Dia benar-benar tampak ‘sakit’. “Gimana, sayang? Mau apa?” “Mau pipis. Minta dianter. Susah, soalnya tanganku diinfus.” Aku langsung mengangguk, lalu turun dari ranjang. Malam ini memang Sisil minta aku tidur di ranjang yang sama dengannya. Sebenarnya sempit, tetapi tidak masalah. Ranjangnya masih cukup untuk tidur dua orang. Tadi dia memang sempat pingsan, tetapi tengah malam dia bangun dan minta aku pindah. Kuturuti saja kemauannya asal dia jadi lebih tenang. Melihat dia berhenti menangis saja sudah membuatku lega. Ya, meskipun tidak ada jaminan nanti bagaimana. Bisa jadi dia akan kembali menagis Aku mengambil

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN