Kisaran pukul sepuluh malam kurang lima menitan, aku dan Mas Fendi sudah keluar bandara. Jujur, aku mulai berdebar-debar karena yang akan aku kunjungi adalah rumah calon mertuaku. Calon mertua, ya? Mendengarnya saja sudah membuat perutku rasanya dipenuhi kupu-kupu. “Jaketnya dibenerin, Sil.” Mas Fendi menahan tanganku untuk berhenti. “Resletingnya dinaikin. Kalau siang sini panas, tapi kalau malam dingin.” “Iya.” Aku sudah selesai merajuk. Lagi pula, aku tidak benar-benar merajuk. Aku hanya kesal sesaat karena Mas Fendi masih saja ‘mempermainkanku’. Mau kesal berkelanjutan juga tidak ada gunanya karena saat ini aku sedang berada di ‘wilayah kekuasaannya’. “Kita tunggu di luar, ya. Pak Roto hampir sampai.” “Pak Roto itu siapa, Mas?” “Supir Ayah.” “Oh ...” aku mengangguk. “Oke.” Har