“Sayang, bangun. Sarapan ....” Ketukan pelan di pipi membuatku seketika terbangun. Aku merentangkan tangan, merenggangkan otot-otot tang terasa kaku. Saat aku merentangkan tangan yang kedua kali, tanganku terhalang sesuatu yang keras dan lembut di saat bersamaan. Mataku seketika terbuka, dan detik itu juga aku langsung menarik tangan dan menenggelamkan diri ke dalam selimut. Jantungku mulai berdebar-debar hanya karena menatap Mas Fendi yang sedang tersenyum penuh arti padaku. “Kok malah sembunyi? Sarapan dulu.” “B-bentar. Belum lapar.” “Enggak mungkin. Sekarang udah jam sembilan lewat.” “Hah? Jam sembilan lewat?” Akhirnya aku menurunkan lagi selimutku. Mas Fendi sudah menunjukkan layar ponsel, dan benar, saat ini sudah pukul sembilan lebih lima belas menitan. Tadi aku sudah bangun un