Ch-8 Dendam Sharon 1

1597 Kata
“Pergilah! Aku tidak akan tanda tangan.” Seru Raina dari posisinya berdiri. Wanita itu tengah melipat kedua tangannya membalas tatapan Rey dari kejauhan. Rey sedang menghisap rokoknya. Tatapan dari kedua bola mata pria itu sama sekali tidak berubah, tetap terlihat nakal dan arogan! Sangat gila bagi Raina jika dia menyetujui keinginan Rey tanpa mempertimbangkannya. Antara percaya dan tidak, baginya tidak akan semudah itu untuk setuju dengan permintaan Rey. Merawat seorang pria lajang, lalu setiap malam menemaninya di dalam mansion yang hening! Bagi Raina hal tersebut sama saja dengan membunuh karir dan nama baiknya yang sudah ia jaga selama bertahun-tahun. Dari luar, Rey terlihat baik-baik saja. Itulah yang menjadi masalah bagi Raina. Beberapa orang akan berpikir dia sedang membina hubungan dengan Rey Antoni ketika ia pulang-pergi dari kediaman pria itu secara rutin, setiap hari. Lebih buruknya lagi Raina divonis menjadi wanita simpanannya. “Kamu yakin?” Tanya Rey sekali lagi. “Tentu saja aku yakin! Jika kakiku benar-benar sakit, maka aku akan pergi ke dokter dua bulan lagi! Banyak pilihan dan aku tidak harus menjadi teman tidurmu!” Raina memutar tubuhnya, lalu masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Rey mengukir senyum penuh ejekan, dia sudah tahu kalau Raina tidak akan semudah itu menyetujui permintaannya. Pria itu masuk ke dalam mobil kemudian berlalu dari depan rumah Raina. Rey memutuskan untuk kembali ke kediamannya. Fajar sudah berganti senja, Tesla-S Plait yang dikemudikan Rey tengah menembus padatnya arus lalu lintas. Beberapa gedung menjulang berderet di sisi kiri-kanan jalan. Pria tersebut menatap angkuh ke sisi depan jalan, kacamata hitam membingkai manis kedua bola mata Rey yang cenderung bersorot tajam dan dingin. Asap masih mengepul pada bibir tipisnya sampai pria tersebut tiba di kediaman megahnya. Sisa batang cerutu dari bibirnya berakhir tercampak di bawah pijakan sepatunya. Asisten sudah siaga di depan pintu menerima tas kerja dari genggaman tangannya. Rey melangkah menuju ke dalam kamar. Hening tidak ada suara apapun selain derap sepatunya yang kini tengah memukul ubin meniti tangga menuju ke lantai atas. Jeritan samar milik Imelda kembali terngiang dalam pendengarannya, bagai hantu yang menjelma menjadi sebuah bayangan hitam pekat tatkala kakinya menapak di lantai atas. Suram, gelisah! Bayangan tersebut sukses membuat Rey menghentikan langkah kakinya dalam beberapa detik sebelum tiba di dalam kamarnya. Pria tersebut menarik lepas kacamata hitamnya, memperjelas penglihatannya ke sekitar. Memastikan kembali bayangan yang dia lihat beberapa detik lalu. Tidak ada apa-apa! Kosong! Lantai yang sering terlihat di masa kecilnya penuh dengan pecahan guci serta perabotan berkelas saat ini terlihat bersih dan licin. “Sialan!” Umpatnya sebelum memutar gagang pintu kamarnya. Satu demi satu bajunya tertanggal dari tubuh atletis Rey, pria itu menyambar seutas piyama yang sudah disiapkan pelayan dari atas ranjangnya sebelum dia kembali ke kediamannya. Selama Rey tinggal di dalam kamar mandi semua baju yang dia campakkan ke lantai kamar harus bersih ketika dia keluar dari kamar mandinya. Saat itulah pelayan harus bekerja keras dan cepat. Tak hanya itu, makan malam dengan menu pilihan juga harus sudah tersaji di meja makan tepat di jam yang ia tetapkan. Mereka tidak boleh menampakkan diri kecuali dia memanggilnya untuk mengurus sesuatu. Tubuh polosnya kini tengah dimanjakan dalam bathub berisikan air hangat. Wine favoritnya sudah tersaji di atas meja porselen di sisi bathub. Pelayan sudah menyiapkan segalanya sebelum pria itu tiba di kediaman, semua pergerakan Rey selalu berada dalam deteksi para pengawal. Mereka harus tahu kapan pria itu tiba di rumah tanpa harus bertanya padanya. Rey mengambil gelas lalu meneguknya sedikit. Pahit dan aroma khas yang sangat disukainya tercecap dalam lidah serta indera penciumannya. Rey menatap bibir gelas dalam genggaman tangannya, pria itu melihat bayangan dirinya lalu berganti dengan senyum Raina pada pantulan sisi gelas. “Aku bisa memastikan kamu akan datang ke sini, dokter tidak akan bisa mengobatimu Raina! Hahahahaha!” Tawa Rey meledak di kediaman megah tersebut. Pelayan yang sibuk di dapur mendadak ikut menghentikan aktivitasnya, mereka saling bertukar pandang satu sama lain. Tidak ada yang berani membuka kata untuk bertanya apa yang terjadi pada majikannya tersebut. Kecuali jika mereka ingin dipecat! Itulah salah satu syarat yang harus mereka patuhi ketika memutuskan untuk bekerja di kediaman Rey. Tidak ada percakapan berlebih, tidak ada yang boleh tertawa, tidak boleh ada suara berisik! Pernah beberapa waktu terjadi, Rey mendengar pelayan menjatuhkan sebuah benda di kediamannya. Larangan keras! Tidak boleh ada suara apapun saat pria itu ada di dalam rumah. Pada detik itu juga pelayan tersebut harus angkat kaki, keluar dari kediamannya. Di sisi lain, Raina sedang duduk di kursi meja kerja dalam kediamannya. Pandangan matanya terpaku pada layar komputer di atas meja. Trauma masa lalu! Beberapa ulasan dia baca berulang-ulang. Situasi di mana Rey tinggal pada usia remaja. Raina mencoba mengingat suara yang dia dengar dari bibir Rey Antoni dalam gudang dermaga lima hari lalu. Raina memejamkan kedua matanya, kedua telapak tangan wanita itu berubah mengepal kuat. Dia sengaja menempatkan dirinya untuk tinggal di situasi yang sama. Pada masa kecil Rey Antoni! “Mengerikan sekali.” Gumam Raina seraya membuka kedua matanya setelah beberapa detik lamanya terpaku di dalam ingatan milik pria tersebut. Napasnya ikut tersengal, wanita itu segera berdiri dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Air mulai memancar dari atas kepala Raina. Wanita itu bersandar di dinding seraya mendongak, sesekali kedua telapak tangannya mengusapkan busa sabun ke seluruh tubuhnya. Sekilas pandangan matanya menatap ke arah cermin yang ada di ujung sisi kiri kamar mandi, Raina terkesiap melihat bayangan Rey muncul, seolah-olah pria itu tengah berdiri di sana. Raina hampir menjerit histeris sebelum bayangan tersebut lenyap pada dua detik berikutnya. “Hah?! Astaga! Pria itu seperti hantu!” Umpatnya seraya buru-buru menyambar piyama mandi miliknya dari atas gantungan untuk menutupi tubuh polosnya. Dadanya masih berdebar kencang, belum hilang rasa cemasnya dia kembali dikejutkan dengan dering pada ponselnya. “Trrriiiiiinggg!” Raina melangkah cepat menuju ke arah tempat tidur, di sana ponselnya tergeletak dengan layar menyala. “Tidak ada nomor?” Raina bertanya-tanya menatap layar tersebut, wanita itu menerima panggilan tersebut dengan tangan gemetar. “Ha-halo?” Nada suara Raina terdengar gugup dan cemas. “Hahahaha! Raina Jenie! Kamu tidak akan bisa lolos dariku, tunggu waktu berikutnya! Aaaaaaaaaa!” Spontan Raina melemparkan ponsel tersebut ke atas ranjangnya kembali. Teriakan wanita entah siapa terdengar melengking dari seberang memekakkan telinga. Raina buru-buru mengambil pakaian ganti. Dia ingin melaporkan kejahatan tersebut ke kantor polisi saat ini juga. Tidak peduli dengan rambut panjangnya yang masih basah dan berantakan, setelah memakai mantelnya wanita itu segera berlari keluar dari dalam kediamannya. Tangannya gemetar hebat saat dia sedang mengunci pintu rumah. Beberapa kali kunci tersebut terjatuh dari dalam genggaman tangan Raina. Kedua bola mata Raina menatap liar ke sekitar halaman kediamannya, dia merasa lega tidak nampak satu orang pun di sana. Wanita itu bergegas masuk ke dalam mobil untuk pergi ke kantor polisi. Sampai di sana, Raina menceritakan teror yang dia alami kepada petugas polisi. Polisi bilang mereka akan menyelidiki kasus tersebut. Sepulang dari kantor polisi, Raina tidak kembali ke kediamannya tapi wanita itu pergi ke klinik. Raina menduga peneror itu merupakan salah satu dari sekian pasien yang pernah dia tangani. Dia ingin melihat kembali daftar pasien yang pernah dia tangani. Suara wanita itu masih terngiang jelas di dalam pendengarannya. Setiap melakukan terapi pada pasiennya, Raina selalu membuat data rekaman. Raina ingin membandingkan suara yang dia dengar dengan data rekaman dari pasien yang ada di dalam lemari dalam klinik. Di sisi lain.. Rey mendapatkan laporan dari orang yang dia suruh untuk mengawasi pergerakan Raina. Mereka bilang kalau Raina baru saja ke kantor polisi. Pria itu masih berada di dalam bathub, jemari tangan kanannya menggenggam gelas wine. “Apa yang Raina laporkan di kantor polisi?” “Dokter Raina mendapatkan teror melalui sebuah panggilan, saya bisa melacak pelakunya. Pelaku adalah seorang wanita, Presdir. Kemungkinan besar orang tersebut memiliki dendam dengan Dokter Raina.” “Apa Raina sudah pulang?” Nada suara Rey terdengar begitu santai. Pandangan matanya tetap terpaku pada gelas wine dalam genggaman tangannya, diteguknya minuman tersebut sedikit. “Nona Raina kembali ke klinik, Presdir..sepertinya pelaku sengaja membuat Nona Raina agar datang ke sana!” Rey langsung bangkit dari dalam bathub, air beriak meluber jatuh ke lantai. Dengan tergesa pria itu menyambar piyama mandinya. Para pengawal ikut panik melihat presdir mereka terburu-buru keluar dari dalam kediamannya hanya mengenakan piyama mandi tanpa alas kaki. Mobil Rey melaju dalam kecepatan penuh menuju ke klinik Raina. Para pengawal ikut serta meninggalkan kediaman untuk mengejar Rey. Sampai di klinik pria itu bergegas menerobos masuk ke dalam. “Raina! Raina!” Mata Rey menyapu seluruh lorong klinik yang kini terlihat temaram. Pria itu berlari menuju ke ruangan kerja Raina. Rey melihat pintu ruangan tersebut dalam keadaan tidak terkunci, Rey masuk ke dalam dan dia melihat Raina sedang mendengarkan file rekaman menggunakan headset pada kedua telinganya. Lampu dalam ruangan tidak terlalu terang. Merasakan kehadiran seseorang, Raina memutar kursi. Wanita itu menoleh dengan wajah terkejut ke arah Rey. Rey mengenakan baju mandi warna biru gelap, pria itu tidak mengenakan alas kaki tengah berjalan mendekat ke arahnya. “Rey? Kamu?” Satu detik berikutnya, Rey mengetahui ada sosok wanita berdiri di sudut ruangan dengan sebilah pisau di dalam genggaman tangannya. Wanita itu hendak menyerbu ke arah Raina, melihat itu Rey segera berlari memeluk Raina. Kedua bola mata Raina mulai berair menatap pria yang kini tengah memeluk dirinya. Rey dalam keadaan tidak berdaya meletakkan dagunya di atas bahu Raina. Headset dari telinga Raina jatuh akibat pelukan tersebut. Pisau bersarang pada punggung Rey, pria itu tersenyum dengan tulus tepat satu detik sebelum kehilangan kesadarannya. Di belakang Rey berdiri seorang wanita dengan tatapan kejam. "Sharon?" Gumam Raina ketika menatap sosok wanita dengan gaun tidur warna gading kusut tengah berdiri tepat di belakang punggung Rey Antoni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN