Nataniel menggembungkan pipi. Dahi batita super itu mengkerut, sembari matanya terus mengawasi kegilaan sang mamah. Di otak Niel telah tersusun berbagai kemungkinan terkait apa yang ia saksikan. Ibu kandung dengan tingkah aneh serta Ayah bak patung Liberti tanpa gerak.
Lain hal dengan Niel, Resti justru sebisa mungkin menahan tawanya agar tak meledak. Amel dan tingkah absurd yang dimiliki cukup menggelitik diri sang putri. Resti begitu hapal tiap adegan dan drama yang akan mamahnya mainkan saat seorang Hanggono Tirto dilanda cemburu hingga berakhir pada mode ‘ngambek.’
“Ih.. Papah.. Sini liat Mamah..” rengek, Amel sembari menghentakkan kaki. Sungguh sangat Amel sekali dikala menghadapi kebuntuan berpikir. Wanita itu tak akan malu mengeluarkan jurus, apalagi sifat kekanak-kanakan dihadapan anak-anaknya. “Pah, God! Mamah dicuekin mulu.” Grrr!!! Hangtuah Tirto!,’ geram Amel dalam hati. Ia kan jadi malu lama-lama bertingkah seperti cacing kepanasan hanya untuk mencari perhatian Hang.
Kamera!
Dimana letak kamera?!
Amel yakin jika Hang pasti telah menyembunyikan alat rekam tersebut untuk dikirimkan pada salah satu stasiun TV. Amel mau lambai tangan sambil pegang bendera putih. “Mas...” rajuk, Amel kembali sembari menghentakkan kaki ke atas lantai.
Setelah meeting dengan klien, niat terselubung Amel untuk menjebol kartu kredit Hang kandas. Alih-alih mengajak dua anaknya berbelanja ia justru harus menghadapi sifat kolok’an Hang yang tak pandang umur. Sumpah demi apapun, suaminya itu cemburu pada lelaki muda!
Ngadi-ngadi banget kan ya?!
Dalam mimpi saja, Amel bahkan tak pernah punya niatan untuk selingkuh. Terkutuklah Hang dan acara cemburu buta lelaki tua itu. Amel mau mati muda saja.
Menemukan sebuah ide, Amel mendudukkan diri di karpet ruang keluarga. Ia akan menggunakan jurus andalan Niel ketika tengah membuat drama kolosal. Amel merentangkan diri. Kedua kakinya ia hentakkan sekuat mungkin. “Mas.. Ih! Cemburunya tuh loh aku nggak sukaaa...” rengek, Amel sekali lagi entah untuk keberapa kali.
Niel yang geram dengan aksi tak jelas Amel berusaha turun dari atas sofa. Langkah kecil geyol Niel melaju mantap untuk menghampiri sang mamah. Dan, Plak!! Setan kecil Amel mendaratkan pukulan maut tepat diwajah Ibunya.
“Maa, Icik! (Maa, berisik!),” amuk, Niel. “Pa ja, ngan nggu Pa Niel (Papah kerja, jangan ganggu papah Niel),” omelnya dengan dua mata melotot.
Amel menghembuskan nafas lelah. Bukan maaf Hang yang dapat tapi malah amukkan dari kloningan Si Bapak. Dosa apa Amel selalu dianiaya oleh Niel. Anaknya bahkan tak sadar posisi jika masa depan sang mamah sebentar lagi akan suram.
“Ngan tot, tot! Lok nih! (Jangan melotot, melotot! Colok nih!)”
Bibir Amel bergetar. Seumur hidup baru kali ini dia dimarahi oleh bocil tak berbudi luhur. Mana durhaka lagi. Sepertinya Niel belum pernah merasakan kembali dipaksa masuk ke dalam rahim. Telen juga deh hidup-hidup, gemas Amel pada aksi tak berperi ke’anak’an Niel padanya.
“Mbak,” akhirnya.. Akhirnya yang Amel tunggu-tunggu datang juga. Hang telah membuka suara emas lelaki itu. “Tolong bawa Niel ke atas ya.” Pinta, Hang pada Resti yang diangguki sang putri.
Niel memberontak. Ia masih keukeuh ingin memarahi Amel yang mengganggu sang papah dalam bekerja. ‘Keras kepala,’ begitulah sosok batita mungil yang mewarisi hampir seratus persen gen Ibu dan Ayahnya.
“Niel ke atas sama Mbak Rere ya.. Udah malem. Nih Papah kasih uang buat jajan dimimpi, oke?!” Hang menyerahkan uang pecahan seratus ribu rupiah dari dompetnya. Memberikan alat tukar tersebut pada Niel.
“Ke! (Oke!),” mendengar kepolosan sang putra yang lebih pantas disebut matre itu, Amel mengerucutkan bibir. Murahan sekali memang Niel. Disogok apapun, Niel pasti akan langsung iya saja. Entah itu dari yang murah sampai barang berharga.
“Da Pa.. Paah..” Niel melambaikan tangan pada Hang. Membuat Resti yang membawa anak itu dalam gendongan gemas.
“Mamah?!”, tanya, Amel pada Niel. Amel sempat mendengus saat Niel mengubah binar mata duitannya menjadi tatapan tajam. Setelahnya Amel hanya bisa menahan tawa kala Niel menjulurkan lidah sembari menggoyangkan yang yang anak itu dapat ke udara. “Wekk. Weekkk...” Ampun! Gemasnya.. Amel jadi pengen ceburin ke sss.
Hang melipat tangan ke atas d**a. Ia sebenarnya masih kesal, karena Amel bertemu lelaki tanpa sepengetahuan dirinya. Jika kekesalan itu merupakan bentuk cemburu, maka jawabannya, ya! Hang cemburu akut! Terlebih ketika ia melihat interaksi Amel yang langsung cepat akrab.
Tak tahukah istrinya jika Hang insecure dadakan. Meski Hang yakini ketampanannya tak tertandingi, tapi tetap saja kan. Cikal bakal pebinor akan selalu ada. Apalagi istrinya semok, aduhay dengan wajah bak bidadari.
“Mas..” Amel menggoyangkan lengan Hang. “Jangan ngambek ih! Kan aku cintanya sama kamu aja..” Hoekk!! Sebenarnya dalam hati ingin sekali Amel muntah. Sejak kapan ia berubah menjadi drama Queen seperti sekarang ini.
Cup..
Hang mengerjapkan mata berulang kali saat merasakan benda kenyal mampir sesaat dibibirnya. ‘Kalau minta reka ulang adegan, masih masuk ke mode ngambek nggak sih?,’ batin, Hang bertanya-tanya. Dia kan nggak puas kalau cuma mampir. Memang bibirnya kos-kosan apa!
“Mas...”
Hang memilih mempertahankan kediamannya. Siapa tahu Amel akan bertindak sebagai negosiator yang baik. Kembali mendaratkan kiss-kiss manja lebih lama, demi membujuk dirinya. Lumayan, Hang jadi tak perlu sok-sok’an memasang tampang ngambek.
Jujur saja pemirsa.. Rahang Hang sudah kaku. Terhitung hampir tiga jam ia memasang mode ‘ngambek,’ Hang butuh rehat sejenak. Dan menikmati kemesuman Amel tentu saja.
“Mas!!” Bukan hadiah istimewa. Teriakkan Amel justru menggelegar maha dahsyat. Wanita itu mengacakkan lengan dipinggang, “tega kamu ya! Nggak inget umur banget. Ngambek nggak jelas, kayak aku ketahuan selingkuh aja dibelakang kamu!” Amel mulai nyap-nyap. Setiap kalimatnya bahkan tak ada jeda, sekalipun itu untuk mengambil pasokan nafas. “Aku kerja ya! Kamu lihat sendiri tadi! Aku bahkan nggak ngapa-ngapain. Kita Cuma meeting dan kamu giniin, aku?!”
Fine! Hang mengakui jika ia keterlaluan mendiamkan Amel. Tapi apakah cemburu harus ada alasan jelas?! Takut kehilangan harus disertai dengan bukti terlebih dahulu sebelum kejadian?!
“Nggak habis thinking loh Mas, aku sama kamu. Sampai-sampai anak aku nabok loh..”
Hang terpancing emosi. Apalagi ketika Amel menyerukan kepemilikan hanya atas nama dirinya saja ketika membawa-bawa Niel.
“Kamu yang keterlaluan. Kamu ngajak Resti ikut project, tapi nggak ada minta ijin atau bilang ke aku dulu. Resti itu anak aku ya!”
Deg!!
Hang tercengang sendiri. Ia tak menyangka bisa menghunuskan kata-kata macam belati pada istrinya.
“Resti anak kamu ya, Mas?” lirih, Amel sembari memundurkan langkah pelan. Lemas ia mendengar penuturan Hang. Mata wanita itu bahkan berkaca-kaca, pertanda ia cukup kecewa dengan apa yang Hang katakan.
“Resti memang anak kamu. Dia nggak lahir dari rahim aku..” gumam, Amel membuat Hang berjalan cepat demi memisahkan jarak diantara mereka. “No! Jangan sentuh-sentuh aku. Aku nggak mau!”, racau Amel sembari menolak sentuhan Hang.
Memang benar. Hang tak salah, dirinyalah yang salah. Ia terlalu tak tahu diri. Menganggap bisa berbuat semaunya dengan apa yang ia anggap ‘miliki,’ saat ini, tanpa tahu batas. Tanpa mengingat siapa Resti dalam hidupnya.
*Hayoloh! Apa yang telah Mas Hang lakukan sodara-sodara!! Andweeehhh!!