Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?????Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss
Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa...
.
.
.
.
.
Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Safir dan Aruna yang menggemaskan??????
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
"Aruna! kamu yang sopan dong sama dengan Pakdhe dan Budhe kamu." Safir mengejar Aruna yang berjalan cepat menuju mobil.
Safir menahan tangan Aruna dan berhenti di depan mobil yang terparkir di halaman luas.
"Kenapa? kenapa aku harus sopan dengan mereka, sedangkan mereka bisa seenaknya sendiri sama aku!" ucap Aruna dengan nada bergetar menahan tangis serta amarahnya.
Safir memandang sungkan ke arah Pakdhe Latif dan Budhe Tini yang berdiri memandang mereka di depan pintu rumah yang berjarak sekitar 10 meter.
"Udah kamu tenang, masalah tanah dan lain-lain biar aku yang urus. Jangan diambil hati. Kita udah untung loh, mereka mau datang ke acara pernikahan kita."
Aruna menggeleng, setetes air matanya turun seketika. Selain sakit hati karena kelakuan satu-satunya keluarga tertuanya, ia juga sangat malu terhadap Safir. "Aku malu daka kamu, Mas."
Safir mengusap tetesan air mata itu dan berusaha menenangkan Aruna. "Aku nggak apa-apa Aruna. Menuruti mereka nggak akan buat aku jadi miskin."
Aruna menubruk tubuh Safir dan memeluknya erat. "Aku nggak nyangka mereka setega ini mempermalukan aku."
"Sssttt ... nggak, kamu nggak perlu malu." Safir mengusap punggung Aruna lembut.
Setelah Aruna lebih tenang, Safir melepas pelukannya dan mengusap sisa air mata Aruna. "Kamu masuk ke mobil dulu kalau nggak mau pamit baik-baik ke Pakdhe sama Budhe."
Aruna mengangguk. Ia sudah tak tahan dengan sikap Pakdhe dan Budhe-nya, mereka selalu berhasil membuat hatinya sakit.
Setelah membuka kan pintu mobil untuk Aruna, Safir kembali masuk ke dalam rumah Pakdhe dan Budhe Aruna. Ia tak mau karena sikap Aruna tadi, mereka marah dan tak mau datang ke acara pernikahan untuk menjadi wali nikah Aruna.
"Kenapa lagi? sudah selesai kan drama-nya?" ucap Pakdhe Latif saat Safir baru masuk ke dalam rumah.
"Maafin Aruna ya Pakdhe."
"Dia dan keluarganya memang selalu seperti itu, nggak tau terimakasih dan serakah!"
Dalam hati Safir juga mengumpat kesal mendengar perkataan sinis Pakdhe Latif yang mengatakan Aruna serakah. Tapi ia harus tetap menjaga sikap agar pria seumuran Ayah-nya tidak ikut murka padanya.
"Pakdhe tenang saja, masalah tanah tadi saya yang akan membeli," ucap Safir mempersingkat masalah ini. Meski sebenarnya tanah itu sudah menjadi hak Aruna, tapi pria tua ini sepertinya tak akan menyerah begitu saja.
Pakdhe Latif tersenyum miring ke arah Safir. "Semoga kamu tidak menyesal memilih si Aruna."
"Tidak, saya tidak pernah menyesali pilihan saya. Karena saya yakin, Aruna tidak seperti yang Pakdhe duga."
"Saya nggak bermaksud apa-apa, saya hanya mengingatkan kamu di awal. Di banding Aruna, anak-anak saya jauh lebih baik dari pada Aruna."
Lama-lama Safir muak menghadapi pria tua di hadapannya itu. "Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Pakdhe, saya dan Aruna pamit, salam buat Budhe dan anak-anaknya. Nanti kami hubungi lagi." Safir mencium punggung tangan Latif dan segera keluar dari rumah itu.
Safir masuk ke dalam mobil. Aruna juga tampak masih sedih. "Urusan dengan Pakdhe kamu sudah selesai. Setelah ini kamu mau kemana lagi?"
"Ke rumah orang tua Bayu."
"Daerah mana?"
"Banyu Bening. Nggak jauh dari sini, jalannya juga datar."
Safir mengangguk dan memberi tahu sopir tentang tujuan mereka selanjutnya.
Dalam perjalanan menuju daerah Banyu Bening Safir dan Aruna terlibat keheningan cukup panjang. Aruna tampak masih badmood dan Safir bingung ingin memulai pembicaraan.
Akhirnya Safir memiliki ide agar Aruna tak badmood lagi dan keheningan ini bisa terpecahkan. Safir mengambil ponsel dari saku celana-nya dan menghubungi nomor Bundanya.
"Cila mana, Bun?" Tanya Safir saat Sinta mengangkat panggilan vodeo call darinya.
Sinta mengarahkan kameranya di atas wajah Cilla yang terlihat baru bangun tidur.
"Haloo Cila, nggak rewel kan sama Oma?" ucap Safir dengan nada semangat.
"Nggak rewel, Papa, Cila udah sembuh sekarang," jawab Sints menirukan suara anak kecil.
Safir diam-diam tersenyum saat Aruna mulai tertarik dengan video call yang mereka lakukan. Dan mendekatkan diri padanya agar wajahnya bisa nampak di kamera.
"Bun, Cila udah nggak panas lagi kan?" Tanya Aruna.
"Panas Cila udah turun, kalian nikmati liburannya Cila aman sama Bunda."
Aruna menunjukkan ekspresi cemberutnya. "Tapi aku udah kangen sama Cila."
Sinta menertawakan sikap menggemaskan calon menantunya. "Kalian pergi belum dua puluh empat jam loh, masa udah kangen aja."
"Iya, aku kangen Cila. Biasanya jam segini kita main-main dikamar."
"Yaudah sekarang kamu main-main aja sama Safir," ucap Sinta sambil tertawa terbahak-bahak.
"Bunda ihh."
"Bunda bercanda sayang. Kalian jangan pikirin keadaan Cila, dia aman sama Bunda nikmati liburannya dan jaga kesehatan."
"Iya, Bun. Maaf ya jadi ngerepotin," jawab Aruna.
"Kamu itu kayak sama siapa aja. Cila kan juga udah Bunda anggap seperti cucu kandung."
Safir dan Aruna tampak tersenyum ke arah Sinta.
"Bun, aku matiin dulu ya nanti aku telfon lagi." Setelah itu Safir memutuskan panggilan video call karena mereka sudah sampai di depan rumah orang tua Bayu.
"Mas, muka aku nggak kelihatan sembab kan?" Tanya Aruna.
"Enggak, kamu selalu cantik," jawab Safir sambil tersenyum ke arah Aruna.
"Alah gombal! yuk turun, Ibu udah nunggu tuh." Wajah Aruna yang semula suram bisa berubah drastis saat melihat wanita paruh baya berdiri di teras rumahnya menyambut kedatangan mereka.
Safir mengangguk dan segera turun dari mobil bersamaan dengan Aruna. Tak lupa mereka juga membawakan oleh-oleh yang sama banyak-nya dengan Pakdhe dan Budhenya tadi.
"Runa kangen sama, Ibu," ucap Aruna lirih saat mereka saling berpelukan.
"Ibu juga kangen banget sama Runa." Ibu itu mengusap punggung Aruna lembut.
"Yuk, masuk dulu." Ibu itu mempersilahkan Aruna dan Safir masuk ke dalam rumah yang sudah tergolong mewah itu.
"Ini oleh-oleh dari kita buat Ibu, Mbak Rini, sama Ela." Ayah Bayu memang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
"Duh, kenapa kamu repot-repot begini," ucap Ibu Bayu tak enak. "Maaf ya, Rini sama Ela nggak bisa ketemu kamu."
"Mereka kemana, Bu?"
"Rini ikut suaminya dinas ke luar kota, kalau Ela lagi ke kampusnya."
Aruna mengangguk mengerti. "Bu, kenalin ini calon suami Runa, mas Safir." Aruna memperkenalkan Safir yang sedari tadi terdiam.
Safir tersenyum dan bersalaman dengan Ibu Rita.
Rita tampak tersenyum. "Ibu kira kamu bakal jadi menantu Ibu, ternyata sudah punya pilihan lain. Bahagia terus ya nak."
Aruna tersenyum tak enak. Dari dulu Rita memang sangat mengharapkan Aruna bisa bersama Bayu. Tapi perasaan tak bisa dipaksakan Aruna sudah terlanjur menganggap Bayu sebagai sahabat dan kakak lelakinya.
"Bu, Runa pengen ibu jadi pendamping Runa di acara pernikahan nanti," ucap Aruna mengalihkan pembicaraan.
"Acaranya kapan sayang?"
"Tiga minggu lagi, Bu."
Rita tersenyum dan mengangguk. Meski ada rasa kecewa tersendiri karena Aruna tidak memilih Bayu, ia harus tetap legowo menerima pilihan Aruna. "Bunda akan datang ke acara spesial kamu."
Aruna yang duduk tak jauh dari Rita saling berpelukan. "Makasih ya, Bu."
Setelah itu mereka mengobrol santai dan makan-makan bersama. Safir yang awalnya tampak canggung lama kelamaan dirinya bisa ikut berbaur dan nyaman dengan keadaan saat ini.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam namun Aruna tak kunjung bisa tertidur. Selain memikirkan Cila dirinya juga masih memikirkan ekspresi tak enak Ibu Rita saat ia mengatakan akan menikah dengan Safir.
Padahal sebelum itu Ibu Rita tak pernah menyinggung tentang hubungannya dengan Bayu.
Aruna membalikkan posisinya menghadap Safir yang sudah tertidur lelap karena kecapekan.
Saat tidur bersama seperti ini yang selalu Aruna pandangi adalah bulu mata lentik dan alis super tebal yang Safir miliki. Aruna menggeser tubuhnya mengikis jarak antara dirinya dan Safir. Tangannya tergerak mengusap pipi sampai rahang safir dengan lembut.
Pria ini, Aruna sangat mencintainya.
Safir memegang tangan Aruna yang berada di atas pipi. Matanya perlahan terbuka.
"Kenapa?"
Aruna mengulum senyumnya. Ia merasa malu karena kepergok berani menyentuh Safir saat tertidur.
Safir tersenyum dan mengecup bibirnya sekilas.
"Kamu nggak tidur?"
"Aku belum ngantuk."
Safir mengusap puncak kepala Aruna dan mengecup keningnya sangat lama.
"Kamu tidur ya, besok pagi kita harus berangkat pagi-pagi ke pantai."
Aruna mengangguk. Safir memeluk tubuh Aruna dengan erat.
****
Haloo gaiss udah update nihh ...
Jangan lupa buat pencet love biar kalian nggak ketinggalan cerita ini ya ...
Terus komen-komen terbaiknya juga di tunggu selalu, jadi jangan lupa tulis di kolom komentar ya gaisss♥️♥️♥️♥️
Follow akun author juga disarankan karena akan banyak cerita-ceeita bsru yang akan datang setiap bulannya. Insyaallah ....