Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?????Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss
Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa...
.
.
.
.
.
Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Safir dan Aruna yang menggemaskan??????
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
Pagi-pagi sekali Aruna dan Safir sudah hampir sampai di kota masa kecilnya dulu. Meski sudah bertahun-tahun dirinya tak berkunjung, tapi jalan dan gang ia masih sangat mengingat.
"Kita ke penginapan dulu aja, kamu kelihatan nggak sehat." Safir mengusap puncak kepala Aruna.
Aruna mengangguk, kepalanya memang terasa sangat nyut-nyutan dan badannya terasa sakit semua.
"Pak, ke villa sekarang. Agak cepat, nggak apa-apa jalanan masih lenggang, " ucap Safir pada sopir yang ia bawa. Perjalanan menuju villa masih membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua jam lagi.
"Baik, Pak Safir."
Safir dan Aruna sepakat memilih Villa karena dekat dengan lokasi pemotretan prewedding mereka nanti. Selain di pantai dan in door, mereka juga ingin di tempat-tempat yang memiliki pemandangan indah dan lingkungan Villa yang berada di sekitar puncak dan memiliki suasana sangatrindang sangat cocok dengan kriteria pilihan mereka.
Sampai di Villa jam menunjukkan pukul 5 pagi. Pak Roni —sopir yang Safir bawa langsung sigap membantu menurunkan berbagai barang-barang yang mereka bawa.
Sedangkan Safir, dia mengangkat tubuh Aruna yang sudah terlelap kembali masuk kedalam villa agar tidurnya bisa lebih nyaman.
Safir melepas sepatu yang Aruna pakai dan menyelimuti tubuhnya. Aruna pasti sangat kelelahan karena seharian tak istirahat, di tambah Cila yang mendadak sakit dan rewel.
Safir sebenarnya kasihan melihat Aruna mengurus Cila sendiri tanpa bantuan baby sitter. Tapi, ia masih belum menemuka baby sitter yang benar-benar bisa Safir percaya untuk membantu Aruna mengurus Cila.
Perlahan mata indah Aruna mulai terbuka. "Loh sudah sampai."
Safir menahan tubuh Aruna yang akan bangkit. "Tidur aja."
"Sekarang jam berapa?"
"Masih jam lima pagi, kamu istirahat aja dulu aku udah suruh Pak Roni beli sarapan sama obat buat kamu."
Aruna tersenyum tipis pada Safir yang semakin perhatian padanya. "Makasih, Mas."
"Aku bersih-bersih dulu, kamu disini aja sambil nunggu Pak Roni datang." Safir melepas jaket dan sepatu yang ia kenakan. Selama di Villa ia memutuskan untuk satu kamar saja dengan Aruna karena ia kasihan kalau Pak Roni harus tidur di depan.
Safir memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamar dengan tatapan takjub. Pasalnya kamar mandi itu di desain seperti layaknya mandi di alam bebas. Tembok kamar mandi mereka buat layaknya bebatuan yang ditumbuhi tumbuhan liar, dan beberapa replika pepohonan juga mereka tampilakan disana.
Kesan rileks yang kamar mandi sajikan ini benar-benar menghilangkan rasa lelahnya seketika.
Sepertinya Safir tak akan kapok memesan Vila ini, dan berjanji akan mengunjungi Vila ini lagi nanti bersama Aruna dan Cila.
Setelah menghabiskan beberapa waktu di dalam kamar mandi, Safir keluar dengan baju santai dan rambutnya yang masih basah.
"Kamu kok main hape sih." Safir merebut ponsel yang tengah Aruna mainkan di atas ranjang.
"Tadi Bayu telfon."
Safir berdecak pelan. Bukannya ia melarang Aruna bersahabat dengan pria, tapi dari pengamatannya, Aruna dan Bayu berbeda. Salah satu dari mereka terlihat ada yang memiliki rasa lebih, dan Safir tak nyaman dengan keadaan itu karena Aruna calon istrinya, dan ia tak mau Aruna dibagi dengan pria lain.
"Kenapa sih, Mas, kamu selalu nggak enak gitu kalau aku kabar-kabaran sama Bayu? dia kan sahabat aku, bahkan aku udah anggap dia itu kakak aku sendiri, " ucap Aruna terus terang. Ia tak mau hubungannya dengan Bayu putus begitu saja.
Safir tak menjawab dia mengambil duduk di pinggir ranjang sambil mengusap rambutnya dengan handuk yang tersampir di lehernya.
"Kamu cemburu sama Bayu?" ucap Aruna tak sungkan-sungkan lagi karena ia merasa hubungannya dengan Safir sudah sangat jelas. Ia calon istri Safir dan sebentar lagi akan menikah. Bukan lagi boss dan bawahan lagi.
Safir menoleh dan menatap mata Aruna intens. "Iya! aku cemburu sama Bayu! kamu lebih rutin telfon dia dari pada aku!"
Aruna terkekeh menanggapi jawaban Safir. "Yaudah besok satu jam sekali aku telfon kamu ya, biar nggak cemburu-cemburu lagi sama Bayu."
"Hubungan kamu sedekat apa sih sama dia." Akhirnya Safir bertanya. Selama ini ia hanya bisa diam-diam mencari informasi tentang Bayu dan Aruna.
"Aku udah anggap Bayu seperti keluarga aku sendiri. Kita dari kecil sudah sama-sama, waktu Papa sama Mama aku masih ada Bayu sempat tinggal di rumah aku. Jadi, Bayu sudah seperti kakak laki-laki buat aku dan Popy."
Safir berusaha mengerti dan mengurangi rasa cemburunya. Ia yakin Aruna tak memiliki perasaan terhadap Bayu.
"Mas, nanti kita sekalian berkunjung ke rumah orang tua Bayu, ya?"
"Emang rumahnya mana?"
"Nggak jauh kok dari rumah Pakdhe aku."
Safir mengangguk. Apapun yang Aruna mau, asal tidak membahayakan Safir selalu berusaha wujud kan.
"Yasudah, kamu mandi dulu abis itu kita sarapan ya."
Aruna mengangguk dan mencari peralatan mandi dan baju gantinya. Sedangkan Safir memilih keluar kamar untuk melihat makanan apa saja yang sudah Pak Roni beli.
**
Selesai sarapan dan bersiap-siap, mereka segera melanjutkan perjalanan menuju rumah keluarga Aruna.
"Aruna kira-kira kita butuh berapa jam, sekarang sudah jam delapan." Tanya Safir.
"Kita lewat jalan pintas, paling enggak sampai satu jam lagi, mas."
Safir mengangguk dan sedikit terlihat tegang melihat sulitnya medan jalan yang saat ini mereka lewati. "Pak, hati-hati nyetirnya banyak tikungan tajam."
Aruna terkekeh melihat wajah tegang Safir. Ia menggenggam tangan Safir dan mengusap lembut. "Muka kamu tegang banget. Tenang aja, Mas."
"Gimana aku nggak tegang, jalannya ekstrim banget."
"Sabar, kita udah mau sampai kok, tingal satu tanjakan lagi langsung masuk desa Pakdhe aku."
"Serius?"
"Iya Mas."
"Pulangnya nanti jangan lewat jalan itu lagi, kita pake jalanan normal."
Aruna tertawa terbahak-bahak melihat wajah tegang Safir yang terluhat sangat lucu.
"Kamu kok ketawa sih!" ujar Safir tak suka.
"Abisnya muka kamu lucu banget."
"Awas ya kamu nanti." Safir menekan gemas leher Aruna dengan lengannya.
"Aduh, aduh, ampun mas," ucap Aruna sambil tak berhenti tertawa.
Safir melepas tangannya yang bertengger di leher Aruna. "Bahagia banget kelihatannya."
"Hah?" Tanya Aruna yang tak paham dengan perkataan Safir.
"Nggak biasanya kamu ketawa lepas kayak gini."
Aruna berhenti tertawa dan menatap Safir tak enak. Ia takut Safir ilfil melihatnya tertawa seperti itu. "Maaf ya, kalau ketawa aku lebar banget."
Safir menggeleng, ia malah suka melihat Aruna bisa tertawa lepas seperti ini. "Aku lebih suka kamu yang bisa lepas seperti ini dari pada kamu terlihat tertekan."
Aruna hanya tersenyum tipis. "Soalnya dulu aku masih takut sama kamu."
"Takut kenapa, aku kan nggak gigit?"
"Kamu kan dulu suka galak sama aku, jadi aku merasa dibawah tekanan kamu."
"Sekarang kamu jangan begitu lagi, kalau kamu misal nggak suka ya bilang aja jangan takut jangan sungkan."
Aruna mengangguk. Safir juga sudah tak segalak dulu lagi, jadi tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi.
*
Beberapa saat kemudian mobil mereka sudah berhenti di halaman rumah Pakdhe Aruna.
Dengan keyakinan hati Aruna turun bersama Safir. Tak lupa ia juga mengambil oleh-oleh dari kota yang ia letakkan dalam bagasi.
"Yuk, mas."
Safir mengangguk dan berjalan bersama Aruna masuk ke dalam rumah besar dengan model jaman dahulu.
Ternyata Aruna dan Safir sudah di sambut oleh Pakdeh dan Budhe Aruna yang pagi ini terlihat sedikit ramah.
"Ayo, silahkan duduk," ucap Pakdhe. Sedangkan Budhenya tampak kegirangan membawa seluruh oleh-oleh yang ia bawa.
"Buk, ambilin minuman sama camilannya sekalian," ujar Pakdhe sedikit meninggikan suara karena Budhe yang berada di belakang.
"Pakdhe bagaimana kabarnya?" Tanya Aruna dengan suara lembut.
"Baik, kita semua disini baik. Dua keponakan kamu juga sudah kuliah di kota ambil jurusan kedokteran semua."
Dari nada suaranya Pakdhe-nya terlihat sedikit pamer. "Wah hebat, Pakdhe."
"Harus dong, masa anaknyaa Pakdhe nggak bisa masuk ke jurusan kedokteran," sahut Budhe Tini yang baru saja datang membawa nampan berisi minuman dan kue kering sebagai camilan.
Aruna dan Safir hanya tersenyum tipis menanggapi dua orang tua itu.
Safir berdeham sebelum memulai pembicaraan seriusnya. "Pakde, Budhe, saya Safir calon suami Aruna. Niat kami kesini ingin meminta doa restu untuk pernikahan kita tiga minggu lagi. Kami juga sangat berharap Pakdhe dan keluarga bisa datang dan menjadi saksi nikah kita." Safir tak mau banyak basa-basi agar ia dan Aruna bisa cepat undur diri. Aruna juga terlihat tidak nyaman dengan sikap pakdhe dan budhenya.
Pakdhe Latif saling bertatapan dengan Budhe Tini dengan tatapan yang tak bisa mereka baca. "Kita nggak ada kendaraan kalau harus ke kota. Kita beda dengan kalian yang kaya raya dan punya banyak ongkos buat kemana-mana. Jadi, kita nggak bisa janji."
"Huh, apalagi kalau suruh naik bis. Budhe nggak mau, panas!" Timpal Budhe Tini.
"Jadi kendala Budhe sama Pakdhe masalah ongkos dan mobil?" Tanya Safir baik-baik.
"Iya, tanpa dua itu kita nggak bisa datang!"
Safir menggenggam tangan Aruna yang terlihat menahan malu melihat kelakuan pakdhe dan budhe-nya.
"Baik, saya akan transfer uang sama kirim mobil buat Pakdhe dan Budhe nanti."
"Kalau bisa sih cash, soalnya bank jauh dari sini." Jawab Budhe Tini dengan santai tanpa rasa sungkan sedikit pun.
"Budhe!"
"Nggak apa-apa." Sahut Safir. Ia tak mau Pakdhe dan Budhe Aruna marah dan rencana mereka berkunjung jauh-jauh kemari tak membuahkan hasil apa-apa.
Safir membuka tas yang ia bawa dan mengambil sejumlah uang yang kiranya pantas untuk mereka.
"Lima belas juta cukup?" Tanya Safir sambil mengambil satu amplop coklat yang sudah ia siapkan sebelumnya.
"Cukup."
Safir mengangguk dan memberi uang itu.
"Oh iya, Aruna tanah dan sawah warisan Bapak kamu itu gimana?" Tanya Pakdhe
"Sawahnya Pakdhe kelola aja nggak apa-apa. Kalau tanah kosonhnya aku punya rencana buat bangun rumah disana."
"Heh Aruna! ngapain juga kamu mau bangun rumah di desa. Kan hidup kamu udah enak, punya banyak uang, nggak perlu lah susah-susah di desa!"
Aruna terlihat marah. Meski ia akan menetap di kota, tapi ia tak akan melupakan kampung halamannya dan berharap bisa selalu mengunjunginya bersama anak dan suaminya.
"Nggak bisa Budhe! kalau sawah Budhe ambil nggak apa-apa aku ikhlas, tapi kalau tanah itu Pakdhe dan Budhe ambil aku nggak ikhlas karena aku pengen punya sesuatu di tanah kelahiran aku!"
"Serakah kamu Aruna! kamu dan keluarga kamu itu memang nggak tahu terimakasih! kamu pikir siapa yang bantu modalin Bapak kamu sampai sesukses itu, kalau bukan Pakdhe kamu!" Mendengar ucapan Aruna Budhe Tini terlihat naik pitam.
"Aruna udah." Safir mencoba menahan kemarahan Aruna.
"Kalau Pakdhe mengizinkan saya yang akan membeli tanah itu."
"Mas! itu udah jadi warisan aku. Nggak perlu kamu beli!"
"Aruna diam dulu!" Sentak Safir.
"Benar, kamu mau beli?" Tanya Pakdhe Latif memastikan.
"Iya, nanti saya yang akan membeli."
"Oke, kapan bisa di urus?" Tanya Pakdhe tak sabaran.
"Secepatnya. Saya akan kirim orang nanti."
"Kamu memang orang kaya yang tidak sombong. Beruntung kamu Aruna dapat suami baik kaya raya pula," ucap Budhe Tini dengan wajah songong.
"Sepertinya urusan kita sudah selesai Pakdhe, Budhe kami menunggu kedatangan kalian!" Aruna berpamitan dengan nada sinis dan langsung menarik Safir keluar sebelum Safir semakin dimanfaatkan.
***
Haloo gaiss udah update nihh ...
Jangan lupa buat pencet love biar kalian nggak ketinggalan cerita ini ya ...
Terus komen-komen terbaiknya juga di tunggu selalu, jadi jangan lupa tulis di kolom komentar ya gaisss♥️♥️♥️♥️
Follow akun author juga disarankan karena akan banyak cerita-ceeita bsru yang akan datang setiap bulannya. Insyaallah ....