Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?????Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss
Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa...
.
.
.
.
.
Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Safir dan Aruna yang menggemaskan??????
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
Hari ini hari ke empat mereka berada di vila, Aruna terus menerus mengeluh bosan.
Selain terus-terusan dikamar, dia juga tak bisa menikmati indahnya pemandangan puncak.
Sedangkan Safir, pria itu tengah mencoba memasak untuknya karena di luar tengah hujan lebat jadi mau tak mau dirinya harus memasak.
Selama kakinya sakit ia seperti tuan putri, apa-apa harus di layani. Padahal kalau dipaksa ia masih mampu beraktivitas meski hanya aktivitas ringan, karena kakinya hanya kesleo bukan lumpuh. Safir saja yang terlalu berlebihan memanjakannya.
Tapi tak apa, kapan lagi ia bisa melihat bos yang selalu ia layani kini berganti melayaninya. Aruna tertawa geli dalam hati, meski terkadang ia masih merasa sungkan pada Safir.
"Aruna, maaf, telurnya gosong." Safir berjalan lemas menghampiri Aruna di atas ranjang sambil membawa nampan berisi nasi goreng yang tak karuan rasanya.
Aruna tertawa melihat telur mata sapi setengah gosong yang Safir letakkan di atas nasi goreng yang masih bewarna menarik.
"Kamu sambil ketiduran apa gimana sih, Mas?" tanya Aruna sambil tertawa terbahak-bahak.
Safir menggaruk tengkuk-nya yang tak gatal. Ia benar-benar malu melihat hasil masakannya.
"Yaudah nggak apa-apa, tetap aku makan kok." Aruna mengambil nasi goreng yang ada di atas nampan.
"Aruna itu nggak enak." Safir mencegah tangan Aruna yang mulai menyendokkan nasi goreng.
"Kan belum dicoba." Aruna mulai menyuapkan nasi goreng beserta telur ke dalam mulutnya.
Saat nasi goreng itu benar-benar masuk seluruhnya ke dalam mulutnya, Aruna terdiam seketika. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata lagi saat rasa-rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya menguasai mulutnya.
Aruna memejamkan matanya dan menelan seluruh suapan yang belum ia kunyah sepenuhnya.
"Gimana? pasti nggak enak ya?" tanya Safir terlihat sangat khawatir.
Aruna tersenyum dan menggeleng. Meski rasa nasi goreng ini benar-benar tak karu-karuan ia tak mau Safir merasa tersinggung karena sudah susah payah ia memasak tapi tak ia makan.
"Kamu kan bukan chef jadi kalau belum sempurna itu wajar." Aruna tetap melahap nasi goreng itu dan menghiraukan rasanya.
Sedangkan Safir dia merasa terheran-heran melihat Aruna sangat lahap memakan nasi goreng buatannya. Padahal dirinya saja sangat meragukan rasa nasi goreng itu.
"Sebentar Aruna." Safir mengamabil sendok yang Aruna gunakan dan mulai menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya.
Safir langsung mengambil tissu dan mengelurkan seluruh nasi goreng yang berhasil meracuni mulutnya karena rasanya yang benar-benar sangat aneh.
"Udah! jangan dilanjutin lagi, itu nggak enak!" Safir merebut piring itu dari tangan Aruna dengan paksa dan memberinya air putih.
"Mas, kamu apaan sih! sini aku mau makan lagi."
"Nasi goreng ini nggak layak makan Aruna! kalau kamu kenapa-napa gimana." Safir membuang seluruh nasi goreng itu ke tempat sampah.
"Kamu nggak perlu bohong gitu, kalau nggak enak ya bilang aja nggak enak!" Safir benar-benar terlihat sangat marah. Bukan karena Aruna, tapi dengan dirinya sendiri yang tak bisa menjadi calon suami yang baik untuk Aruna karena terlalu sering dilayani sampai ia tak bisa melayani wanita pujaannya.
Aruna menundukkan kepalanya. Ia tak menyangka Safir akan semarah ini karena ia berpura-pura menikmati masakannya. "Maafin aku, aku nggak bermaksud bohong sama kamu. Aku cuma mau hargai hasil keras kamu memasak buat aku."
Safir mengambil nafasnya dalam dan memeluk tubuh Aruna yang terlihat ketakutan. "Kamu nggak salah, jadi nggak perlu minta maaf. Aku yang salah karena udah kasih kamu makanan yang nggak enak."
"Wajar, kan kamu baru kali ini coba masak."
"Aku jadi nyesel dulu apa-apa minta dilayani terus. Pasti kamu-nya juga muak banget dulu sama aku."
Aruna terkekeh. "Iya kadang aku muak banget sama kamu, pengen resign tapi masih butuh banyak dana, kalau bertahan terus isinya makan hati." Mungkin kalau statusnya belum berganti menjadi calon istri Safir Khrisna Farnaz entah sudah di tabok pakai apa mulutnya karena berani buka-bukaan seperti itu.
"Aku nyebelin?"
"Banget." Jawab Aruna cepat.
"Jadi selama ini kamu bertahan sama aku cuma buat gaji?"
"Iya dan tidak."
"Maksudnya?"
"Iya, karena hidup emang butuh duit apalagi biaya kuliah Popy juga mahal. Terus tidaknya, karena aku udah kebiasa kerja di sama kamu jadi buat kerja sama bos lain kayaknya nggak nyaman."
Safir terkekeh dan menepuk puncak kepala Aruna lembut. "Bagi aku cuma kamu sekretaris yang paling mengerti aku dan paling bisa di andalkan."
"Terus kerja sama Gilang gimana? cocok?" Gilang adalah sekretaris penggantinya.
"Enak, cara kerja dia nggak jauh dari kamu. Tapi dia ngeselin banget."
Aruna tertawa terbahak-bahak. Pria yang agak melambai itu memang menyebalkan tapi dia selalu bisa membuat orang tertawa karena tingkahnya.
"Dia emang gitu, Mas. Kocak banget orangnya."
"Kocak sih kocak, tapi dia itu jujurnya kelewatan. Kalau dia lagi kesel sama aku mana pernah dia panggil aku "Pak", pasti panggil nama doang."
"Tapi nggak sampai kelewatan kan?"
"Enggak kok, masih punya batas dia."
"Kapan-kapan aku marahin dia, Mas."
Setelah itu suasana menjadi hening beberapa saat karena mereka sudah kehabisan topik pembicaraan.
"Eh, hape kamu bunyi, mas."
Safir langsung mengambil ponselnya yang berada di atas nakas dan mengangkat panggilan video call dari Eliza.
Aruna mulai hafal sekarang, kalau Safir mengangkat telfon dan menjauh darinya sudah pasti si penelfon adalah Eliza.
Ingin rasanya Aruna turun dari atas ranjang dan melangkah keluar kamar saat mendengar Safir berbicara begitu lembut dengan wanita lain.
"Jangan lupa pakai jaket tebalnya, kamu juga jangan ngeyel terus main salju di luar."
Aruna mencebikkan bibrinya dan mengambil ponselnya sendiri. Dikira dia tak bisa telfonan dengan orang lain.
Ia mencari-cari nomor Bayu dan mulai menelfonnya.
Tak perlu menunggu lama, panggilan pertamanya langsung di angkat oleh Bayu.
"Bayuuu!!" Sapa Aruna dengan suara manja tak dibuat-buat, karena kebiasaannya dengan Bayu memang begitu.
"Iya, Aruna kenapa?" Jawab Bayu dengan suara sangat lugu.
"Nggak apa-apa, lama nggak telfon kamu."
"Gimana disana, lancar kan? Ibu bilang kamu sempat mampir juga ke rumah."
"Iya, Bay, setelah dari Pakdhe aku sempetin mampir ke rumah Ibu."
"Terus kamu pulang kapan?" Tanya Bayu.
"Kalau nggak besok ya lusa, kaki aku masih sakit."
"Sakit? sakit kenapa? kamu baik-baik aja kan disana?" Tanya Bayu dengan nada super khawatir.
Aruna tertawa. Bayu memang selalu seperti ini, selalu berlebihan kalau ia mengeluh sakit.
"Aku keseleo Bay makanya aku nggak jadi liburan kemana-mana cuma di kamar terus soalnya bos besarnya nggak izinin aku injak tanah."
Aruna terus bercanda dan bercerita dengan Bayu di telfon sampai ia tak sadar kalau Safir sudah di sampingnya dan berdeham keras memberinya kode.
"Bay, udah dulu ya nanti aku telfon lagi."
"Iya Runa, jaga diri ya."
Setelah itu Aruna langsung memutuskan panggilan dan meletakkan ponselnya.
"Kenapa lihatnya gitu banget?" Tanya Aruna.
Safir langsung mengalihkan pandangannya dan mengganti chanel televisi.
"Emang nggak boleh?"
"Ya nggak usah pake melotot juga matanya."
Safir terdengar terkekeh pelan. "Aku cemburu."
Aruna kembali bercedak. Selalu saja begitu saat ia menelfon Bayu. "Kamu telfonan Eliza aku berusaha biasa aja loh, Mas. Tapi kenapa waktu aku sama Bayu kamu mencak-mencak gini?"
"Aku nggak suka lihat calon istri aku ketawa lepas sama pria lain selain aku, aku juga nggak suka lihat calon istri aku lebih terbuka sama orang lain dari pada aku, calon suaminya sendiri!"
Safir benar-benar egois. Apa dirinya tak pernah berkaca kalau selama ini dia juga menyakiti hatinya dengan terus berhubungan dengan Eliza dan seolah-olah berperan sebagai pria jomblo yang siap menerima wanita manapun.
"Egois kamu!" ucap Aruna sangat kecewa pada Safir. "Kamu tiap hari telfon sama cewek lain, kasih perhatian cewek lain, kamu kira aku nggak pernah merasa jealous?!" Aruna berkata dengan nada setengah tinggi lalu berusaha turun dari ranjang. Ia malas melihat wajah Safir dan melanjutkan perdebatan ini.
Dengan kaki pincang ia tetap berusaha keluar dari kamar. Safir yang biasanya langsung menariknya balik ke ranjang dan mengomel panjang kali ini dia hanya diam saja.
Aruna duduk di atas sofa ruang tamu mini di vila sambil mendumel kesal. Sikap Safir yang ia kira sudah sepenuhnya berubah nyatanya belum sama sekali. Pria itu masih tetap egois, dan itu yang paling membuatnya sangat kesal.
Aruna kembali membuka lock screen ponselnya dan kembali mencari nomor Bayu untuk teman ngobrol.
"Bayu ...." ucap Aruna dengan suara bergetar karean ia menahan tangis.
"Kenapa lagi, Run? kamu jangan keseringan telfon, nanti Safir marah."
Aruna tau Bayu sekarang sudah berubah dan selalu merasa sungkan saat ia menelfonnya.
"Jadi kamu nggak mau temenin aku ngobrol?"
"Kan udah ada Safir yang temenin kamu."
"Dia lagi ngambek, aku juga, makanya aku butuh kamu biar nggak kesepian."
Bayu terdengar tertawa ringan di sebrang. "Jangan ngambek-ngambekan gitu, kan bentar lagi mau nikah."
"Dia itu masih nyebelin, Bay, makanya aku suka greget banget."
"Pelan-pelan dia pasti bisa berubah kok, kamu yang sabar hadapin pilihan kamu."
Aruna tak menjawab, hanya terdengar bunyi keyboard komputer di sambungan telfon mereka.
"Kamu lagi ngapain, Bay?"
"Lagi input data aja, sih. Tadi kantor cuma setengah hari makanya aku milih tuntasin tanggungan aku sekalian biar besok bisa kerjain yang lain."
"Jangan dimatiin ya, aku mau coba rebahan kali aja ketiduran."
"Masih sore Aruna, masa mau tidur?"
"Biarin, aku males bangun!" Aruna mulai meringkuk di atas sofa dan memegang ponsel yang masih terhubung dengan nomor bayu.
***
Beberapa jam kemudian Safir mengecek keluar kamar karena Aruna yang tak kunjung masuk ke dalam kamar.
Ternyata wanitanya tengah meringkuk di atas sofa sambil memegang ponselnya yang masih terhubung dengan Bayu.
Tanpa kata Safir langsung memutus panggilan itu dan mengangkat tubuh Aruna ke dalam kamar karena suasana sore ini sangat lah dingin.
Safir merebahkan tubuh Aruna dan meyelimuti-nya. Rasa bersalahnya semakin menjadi saat ia mengingat betapa egoisnya ia tadi.
Kalau Aruna tak boleh cemburu, seharunya ia tak boleh merasa cemburu juga dengan Bayu.
Safir mengusap pipi Aruna dan mengecup keningnya. "Maafin aku sayang."
***
Haloo gaiss udah update nihh ...
Jangan lupa buat pencet love biar kalian nggak ketinggalan cerita ini ya ...
Terus komen-komen terbaiknya juga di tunggu selalu, jadi jangan lupa tulis di kolom komentar ya gaisss♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
Follow akun author juga disarankan karena akan banyak cerita-ceeita bsru yang akan datang setiap bulannya. Insyaallah ....