Chapter 3

1450 Kata
“Heumm, jangan bertindak tanpa seizinku. Aku tak suka disentuh sembarangan,”ucap dingin Rafael. Dia sedang duduk di sofa sambil menikmati minuman di gelas crystal. “Bbaik tuan, tapi...bukankah malam ini adalah waktunya rileksasi di Sauna?Aku bisa membantumu agar lebih rilex, tuan.”Alexa menghampiri Rafael dan mengelus pundaknya. “Cukup, aku tak mau diganggu, pergilah.”Rafael mengibaskan tangannya. Alexa pun bergegas menuju pintu karena takut Rafael akan semakin marah. Rafael berdiri di balkon dan memandang ke balkon kamar Aruna. Nampak lampu di kamar Aruna masih menyala. “Apa dia belum tidur?” Dan di sisi lain, Rafael duduk di ruangannya, sendiri. Wanita yang dikirim anak buahnya sudah ia usir sejak tadi. Ia tak butuh siapa pun malam itu. Tapi entah mengapa, bayangan gadis keras kepala yang menatapnya dengan mata penuh amarah terus muncul di pikirannya. Rafael meneguk minumannya pelan dan berbisik lirih, “Kenapa gadis keras kepala itu bisa membuat pikiranku berantakan begini?” “Siapkan air hangat, Aku ingin berendam.”Rafael dengan satu kali tekan tombol di ponselnya. Uap hangat memenuhi ruangan sauna yang luas dengan dinding kayu dan aroma peppermint yang menenangkan. “Tuan , minuman sudah siap,”ucap Dora sang maid . “Heumm. Suruh gadis itu menemuiku dan membawakan minuman untukku!” “Baik tuan.”Dora menunduk dan meninggalkan Rafael. Dora mengetuk pintu kamar Aruna.”Aruna, kau disuruh membawakan minuman ke sauna, sekarang. “ “Apa?Ttapi ...kenapa malam-malam begini?”Aruna menggeleng pelan. “Aruna...ini perintah, jika tidak mau. Aku yang akan dihukum.”Dora dengan wajah cemas. “Baiklah.” Aruna melangkah perlahan, membawa nampan berisi minuman dingin sesuai perintah salah satu pelayan senior. “Bawa ke ruang sauna, Tuan Rafael sudah menunggu,”kata Dora. Aruna menarik napas panjang sebelum membuka pintu kaca besar itu. Seketika, semburan uap panas menyambutnya, dan matanya membulat sesaat melihat Rafael duduk santai di tepi kolam air hangat. Tubuhnya hanya terbalut handuk di pinggang, d**a bidangnya basah berkilau oleh embun panas. Aruna buru-buru menunduk, wajahnya memanas. “Mi… minumannya, Tuan,” ucapnya terbata, berusaha tetap tenang. Rafael menoleh perlahan, senyumnya samar, dingin tapi menggoda. “Taruh di sini,” katanya sambil menunjuk meja kecil di dekatnya. Aruna menelan ludah, melangkah hati-hati mendekat, berusaha tidak menatap pria itu. Tapi setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran, hawa panas dari sauna bercampur dengan gugup yang membuat wajahnya semakin merah. “Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Rafael datar, suaranya rendah dan serak. “Ap… apa, Tuan?” “Kau seperti orang yang takut melihatku.” Aruna menunduk lebih dalam, menahan diri agar tidak membalas. Tapi Rafael berdiri, melangkah perlahan ke arahnya, air menetes dari tubuhnya, langkahnya tenang namun mengintimidasi. “Dengar, Aruna,” ucapnya pelan, namun tajam. “Kalau kau mau hidup di bawah atap ini, berhentilah gemetar setiap kali aku bicara. Aku bukan monster.” Aruna mendongak sejenak, menatap matanya yang tajam,.mata yang dulu membuatnya takut, tapi entah kenapa kini membuat dadanya berdebar aneh. “Kalau Tuan bukan monster,” ujarnya lirih, “kenapa Tuan memperlakukan orang lain seperti b***k?” Rafael menatap lama. Tak ada jawaban. Hanya tatapan yang entah marah atau kagum pada keberanian gadis itu. Rafael berdiri dengan hanya memakai boxer. Yang basah. “Berani sekali kau. Gadis kecil. Kau bahkan tak lebih cantik dari wanita di sini, tapi lagakmu sok jual mahal. Aku akan tunjukkan harga mu sebenarnya.” Rafael mendekat dan mencengkeram dagu Aruna. Hingga Aruna merintih kesakitan. Rafael mencium dengan ganas dan penuh paksaan. Bahkan merobek lengan baju Aruna dengan sekali tarikan. “BREKKKK.” “Arrrgh, apa yang kau lakukantuan, kumohon ..jangan lakukan ini...” Aruna berteriak. Dan menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya. Meski hanya bagian lengan saja yang robek. Hening beberapa detik, lalu Rafael berbalik menuju kolam, suaranya tenang namun dalam. “Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran.” Aruna menunduk cepat, berbalik dan keluar dengan langkah cepat. Tapi saat pintu tertutup di belakangnya, Rafael memejamkan mata, menenggelamkan diri ke air hangat. Untuk pertama kalinya, ada suara lembut yang mengusik pikirannya lebih kuat dari suara apapun di dunia kelam yang ia miliki. Malam itu, Rafael duduk di ruang kerjanya yang temaram. Di luar, hujan turun pelan, menumbuk kaca jendela besar di balik punggungnya. Secangkir kopi yang sudah dingin tergeletak di meja, tapi pikirannya tidak bisa fokus pada apapun. Ia mencoba membaca laporan bisnis — gagal. Ia menyalakan rokok — tapi batang itu padam sebelum sempat dihisap. Yang ada hanyalah bayangan wajah Aruna. Wajah lugu yang selalu menatapnya dengan campuran takut dan berani. Mata itu… bening, jujur, tapi juga keras kepala. Setiap kali ia teringat, ada sesuatu yang bergetar dalam diriny, perasaan yang tak ia mengerti. “Kenapa gadis itu bisa menembus pikiranku seperti ini?” gumamnya lirih, menyandarkan kepala di kursi kulit hitam. Ia sudah terbiasa menghadapi banyak wanita — cantik, berani, menggoda — semua hanya sementara. Tapi Aruna berbeda. Gadis itu bahkan belum pernah mencoba menarik perhatiannya, justru selalu menjaga jarak, dan mungkin itulah yang membuat Rafael semakin penasaran. Ia menatap langit-langit ruangan, mencoba menepis bayangan itu, tapi justru semakin jelas. Cara Aruna berbicara dengan nada lirih, cara ia menatap lantai saat gugup, bahkan caranya menggenggam baki dengan tangan gemetar semua seolah terekam sempurna dalam ingatannya. “Dasar bodoh…” Rafael menepuk dahinya pelan. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, memandangi hujan yang terus turun. Untuk pertama kalinya, sang mafia dingin itu merasa kalah bukan oleh musuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sosok gadis sederhana yang datang dari dunia yang sama sekali berbeda dengan miliknya. Suasana ruang makan pagi itu tegang. Para pelayan berdiri berjajar di sisi ruangan, menunggu perintah. Aruna berdiri di ujung meja, menunduk seperti biasa, menyiapkan piring dan gelas dengan hati-hati. Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat. Semua kepala menoleh, seorang wanita berpenampilan glamor dengan gaun ketat berwarna merah memasuki ruangan. Bibirnya tersenyum manis, namun sorot matanya penuh kepemilikan. Rafael,” panggilnya lembut sambil berjalan mendekat. Rafael yang sedang membaca laporan hanya melirik sekilas. “Kau datang lebih cepat, Alexa.” Tanpa ragu, wanita itu menarik kursi, lalu — di hadapan semua orang — duduk manja di pangkuan Rafael. Beberapa pelayan saling pandang, tak berani bicara. Aruna membeku di tempatnya, tangan yang memegang teko teh bergetar hingga cairan panas menetes di meja. Ia buru-buru menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah — entah karena malu, marah, atau sesuatu yang lain. Alexa tersenyum puas, lalu berbisik di telinga Rafael dengan nada manja, “Kau merindukanku, kan?” Rafael hanya menatapnya sekilas, dingin. Ia tak menolak, tapi juga tak merespons. Matanya justru melirik sekilas ke arah Aruna gadis itu sedang berusaha membersihkan tumpahan teh sambil menahan getar di tangannya. Ada sesuatu di sana yang menohok dadanya. Tatapan itu. Tatapan kecewa bercampur luka. Alexa menyadarinya. Ia menatap ke arah yang sama, lalu tersenyum sinis. “Gadis itu siapa?” bisiknya pelan tapi cukup keras untuk terdengar. Rafael menatapnya datar. “Tak usah urusi yang bukan urusanmu.” “Hmm… sepertinya dia istimewa,” ucap Alexa lagi, menatap Aruna penuh sindiran. Aruna menggigit bibir, menunduk makin dalam. Ia ingin pergi dari ruangan itu secepat mungkin, tapi langkahnya seperti tertahan oleh sesuatu yang berat — perasaan yang bahkan ia sendiri tak sanggup jelaskan. Rafael akhirnya menegakkan tubuhnya. “Cukup, Alexa. Duduklah di kursimu.” Nada suaranya datar, tapi dingin dan tegas. Alexa terdiam sejenak, lalu berdiri perlahan. Semua pelayan menunduk, pura-pura sibuk dengan tugas masing-masing. Hanya Aruna yang sempat mencuri pandang dan dalam detik singkat itu, ia melihat sesuatu di mata Rafael. Sebuah tatapan yang bukan sekadar dingin… tapi juga bimbang. Alexa membetulkan letak gaunnya dengan anggun, tapi pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. Sejak tadi, Rafael tampak tak seperti biasanya. Ia tidak menanggapi rayuannya, bahkan terlihat kehilangan fokus. “Rafael,” ucap Alexa lembut, mencoba menarik perhatiannya. “Kau tak mendengarku, hm?” Namun, pria itu tetap diam, menatap lurus ke arah lain. Tatapan itu tajam, tapi kali ini bukan untuk Alexa. Alexa mengikuti arah pandang Rafael. Di ujung ruangan, seorang gadis dengan seragam sederhana sedang membereskan gelas di atas meja. Gerakannya hati-hati, wajahnya menunduk, dan sesekali hela napasnya terlihat berat. Seketika mata Alexa menyipit. Ada sesuatu dalam cara Rafael menatap gadis itu, tatapan yang tak pernah ia dapatkan, meski sudah berbulan-bulan berada di sisi pria itu. “Menarik…” gumam Alexa pelan, bibirnya membentuk senyum tipis penuh arti. Ia lalu berdiri, melangkah mendekat pada Rafael, menunduk sedikit dan berbisik, “Kau sepertinya menemukan mainan baru, Rafael.” Rafael menoleh cepat, tatapannya berubah dingin. “Hati-hati bicaramu, Alexa.” Wanita itu terkekeh pelan, pura-pura tidak terpengaruh. “Ah, jadi aku benar. Aku tak pernah lihat matamu seperti itu sebelumnya. Bahkan saat bersamaku.” Rafael tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, menyandarkan diri di kursi. Tapi semakin ia mencoba mengalihkan pandangan, semakin jelas wajah Aruna muncul di kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN