Chapter 4

1230 Kata
Alexa membetulkan letak gaunnya dengan anggun, tapi pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. Sejak tadi, Rafael tampak tak seperti biasanya. Ia tidak menanggapi rayuannya, bahkan terlihat kehilangan fokus. “Rafael,” ucap Alexa lembut, mencoba menarik perhatiannya. “Kau tak mendengarku, hm?” Namun, pria itu tetap diam, menatap lurus ke arah lain. Tatapan itu tajam, tapi kali ini bukan untuk Alexa. Alexa mengikuti arah pandang Rafael. Di ujung ruangan, seorang gadis dengan seragam sederhana sedang membereskan gelas di atas meja. Gerakannya hati-hati, wajahnya menunduk, dan sesekali hela napasnya terlihat berat. Seketika mata Alexa menyipit. Ada sesuatu dalam cara Rafael menatap gadis itu, tatapan yang tak pernah ia dapatkan, meski sudah berbulan-bulan berada di sisi pria itu. “Menarik…” gumam Alexa pelan, bibirnya membentuk senyum tipis penuh arti. Ia lalu berdiri, melangkah mendekat pada Rafael, menunduk sedikit dan berbisik, “Kau sepertinya menemukan mainan baru, Rafael.” Rafael menoleh cepat, tatapannya berubah dingin. “Hati-hati bicaramu, Alexa.” Wanita itu terkekeh pelan, pura-pura tidak terpengaruh. “Ah, jadi aku benar. Aku tak pernah lihat matamu seperti itu sebelumnya. Bahkan saat bersamaku.” Rafael tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, menyandarkan diri di kursi. Tapi semakin ia mencoba mengalihkan pandangan, semakin jelas wajah Aruna muncul di kepalanya. Alexa menatapnya lekat-lekat, kali ini tanpa senyum. Ia tahu betul tatapan semacam itu, tatapan pria yang mulai terikat secara emosional, bukan sekadar fisik. Dan itu membuat darahnya mendidih. “Lihat saja pelayan rendahan, aku akan buat kamu diusir dari sini.”Alexa menyipitkan matanya sambil menggerutu dalam batinnya. Sementara itu, Aruna menyadari sesuatu. Ia bisa merasakan pandangan Rafael yang terus mengikutinya. Wajahnya panas, jantungnya berdebar cepat. Ia menunduk makin dalam, berharap semua ini hanya khayalannya. “Monster itu, kenapa terus memandangiku?” Di rumah kecil di pinggiran kota itu, suasana pagi terasa hampa. Meja makan berantakan dengan botol minuman kosong berserakan di lantai. Di sudut ruangan, seorang wanita paruh baya duduk memeluk selendang lusuh, matanya bengkak oleh tangis yang tak kunjung reda. “Anakku… Aruna… di mana kau sekarang, Nak…” suara Mariana, ibu Aruna, terdengar parau dan gemetar. Air matanya menetes lagi, membasahi kain di tangannya. Ia masih tak percaya bahwa putrinya — satu-satunya alasan ia bertahan selama ini dibawa paksa oleh orang-orang bersetelan hitam. Semua terjadi begitu cepat, bahkan sebelum sempat ia melindungi Aruna. Di sisi lain ruangan, Bimo, suaminya, duduk bersandar di kursi dengan rokok di tangan, wajahnya datar tanpa ekspresi. “Sudahlah, Mariana,” ucapnya acuh. “Kalau bukan dia, aku pasti sudah mati karena hutang-hutang itu.” Mariana menoleh dengan mata merah dan marah. “Kau tega bicara seperti itu?! Itu anakmu, Bimo! Darah dagingmu sendiri!” Bimo mengembuskan asap rokok pelan, tidak menatap istrinya. “Setidaknya dia masih hidup. Mafia itu tak akan membunuhnya kalau dia tahu diri.” Tamparan keras melayang. Mariana berdiri dengan tubuh gemetar, menatap suaminya dengan pandangan kecewa yang dalam. “Kau bukan ayah! Kau pengecut!” Bimo terdiam. Tapi bukan karena tersinggung, karena di dalam hatinya, rasa bersalah itu memang nyata. Ia hanya terlalu tenggelam dalam rasa putus asa untuk mengakuinya. Mariana jatuh berlutut, menangis sesenggukan. “Aruna pasti ketakutan… dia pasti menangis sendirian…” Ia menatap foto kecil Aruna yang tergantung di dinding — senyum lembut gadis itu saat mengenakan toga SMA. “Maafkan Ibu, Nak… Ibu tak bisa melindungimu…” Hujan mulai turun di luar, menambah suram suasana. Namun di balik awan kelabu itu, jauh di tempat berbeda, Aruna tengah berjuang mempertahankan harga dirinya di rumah Rafael. Ia tidak tahu ibunya menangis setiap malam untuknya tapi entah bagaimana, setiap kali ia merasa ingin menyerah, hati kecilnya berbisik, "Bertahanlah, Aruna. Ibu percaya padamu." Sore menjelang malam, langit di atas mansion mulai gelap. Hujan baru saja reda, menyisakan udara lembap dan sunyi. Dari jendela kamarnya, Aruna memperhatikan halaman belakang, kosong, hanya beberapa penjaga berjaga di gerbang depan. Hatinya berdebar keras. Ini mungkin satu-satunya kesempatan. Ia menggigit bibir, mengenakan jaket tipis milik salah satu pelayan, dan melangkah pelan ke luar kamar. Setiap langkahnya berhati-hati, menunggu jeda antara patroli para pengawal. Koridor panjang terasa seperti labirin; kamera pengawas tersembunyi di beberapa sudut, tapi Aruna sudah mempelajari polanya selama berminggu-minggu bekerja di sana. Ia tahu kapan lampu indikator kamera berputar arah. Ia berlari kecil melewati dapur, lalu keluar lewat pintu layanan belakang. Angin malam menampar wajahnya, dingin dan menusuk, tapi hatinya dipenuhi harapan — untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa bebas. Namun, kebebasan itu hanya bertahan beberapa menit. Saat ia menuruni jalan setapak di belakang taman, lampu sensor tiba-tiba menyala. Suara sistem keamanan berdengung pelan, diikuti bunyi langkah berat dari arah kanan. “Berhenti!” suara berat terdengar, menggema. Aruna panik, berlari sekuat tenaga menuju pagar besi tinggi di belakang taman. Tapi sebelum sempat memanjat, sebuah tangan kuat menarik lengannya dari belakang. Ia menjerit, berusaha melepaskan diri — sia-sia. “Lepaskan aku! Aku hanya ingin pulang!” Penjaga itu tidak bicara. Ia memegang komunikator di telinganya. “Target tertangkap. Instruksi selanjutnya?” Suara di seberang terdengar dingin, mekanis. “Bawa ke ruang bawah. Tuan Rafael harus tahu tentang ini.” Aruna menendang, memukul, menangis — tapi tubuhnya terlalu kecil untuk melawan. Ia diseret masuk melalui pintu besi di sisi mansion yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya. Tangga menurun menuju ruang bawah tanah itu terasa lembab dan gelap, hanya diterangi lampu redup di dinding batu. Di ujung lorong, sebuah pintu tebal terbuka. Ruangan itu nyaris kosong — hanya dinding kelabu, lampu kuning berkelap-kelip, dan kursi besi di tengah. Penjaga itu melepaskan cengkeramannya. Aruna terjatuh, tubuhnya gemetar. “Duduk,” katanya datar. Aruna menatap sekeliling, air mata menetes tanpa ia sadari. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal pasti, malam itu, ia benar-benar menyadari siapa sebenarnya Rafael dan seberapa dalam dunia gelap yang kini menjebaknya. Di atas sana, Rafael baru saja tiba di mansion. Salah satu pengawal menghampiri dengan wajah tegang. “Tuan, gadis itu… mencoba kabur,”ujar Desmon. Salah satu kepercayaan Rafael. Rafael berhenti berjalan.”Beri dia pelajaran.” Tatapannya berubah tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang lain bukan hanya marah. Ada rasa kecewa dan khawatir. “Kami sudah membawanya ke ruang bawah tanah tuan.”Desmon menundukkan kepalanya. “Bawa aku ke bawah,” katanya pelan namun dingin. Dan langkah kakinya bergema menuruni tangga, menuju ruang gelap di mana Aruna menunggu dengan napas tersengal dan hati yang mulai retak antara ketakutan dan rasa bersalah. “Hhhh, dasara gadis keras kepala. Aku sudah peringatkan, jangan pernah berani macam-macam di wilayahku, kau akan mendapatkan pelajaran!”Rafael mengeratkan rahangnya. “Hhhhh, hhhh,”suara nafas Aruna yang nampak kelelahan akibat hukuman cambuk dari anak buah Rafael. “Aku ...takkan pernah tunduk padamu tuan mafia yang kejam. Apa yang kau inginkan dariku, lepaskan aku, biarkan aku bekerja dan membayar semua hutang ayahku!”Aruna dengan tubuh terhuyung. “Kau terlihat sangat menyedihkan nona. Aku salut dengan keberanianmu, kau ...akan tetap disini selama yang aku mau, dan kau akan pergi jika aku yang melepaskanmu!”Rafael mencengkeram dagu Aruna kemudian menghempaskan wajah Aruna hingga Aruna terhuyung dan jatuh. “Arrrrgh.”Suara pekik kesakitan Aruna. Sudut bibirnya yang berdarah dan tubuhnya penuh lebam dan luka. Nampak tak dihiraukan oleh Rafael. “Bawa dia ke kamarnya, bersihkan dia dan beri makan. Kunci kamar dan balkon.”Rafael dengan nada dingin dan suara pelan. Kemudian dia melangkah meninggalkan Aruna yang terbaring. Rafael menatap datar ke depan. Sesekali matanya terpejam. Entah apa yang dia pikirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN