Chapter 5

1627 Kata
Langit sore tampak merah menyala ketika Aruna, gadis tebusan yang kini tak lagi dikurung di ruang bawah tanah — sedang menata vas bunga di ruang tamu mansion megah itu. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena tatapan tajam Rafael yang terus mengawasinya dari balik kursi kulit hitamnya. “Pelan sedikit, bunga itu bukan musuhmu,” ujar Rafael dengan nada sinis tanpa menoleh dari berkas yang sedang ia baca. Aruna mendengus pelan, mencoba menahan kesal. “Saya hanya melakukan apa yang Anda suruh, Tuan.” “Dengan wajah seperti itu?” Rafael mendongak, menatap tajam gadis yang kini mengenakan seragam pelayan sederhana. “Kau terlihat seperti orang yang ingin membunuh majikannya.” Aruna menatapnya tanpa takut. “Kalau memang bisa, mungkin saya sudah melakukannya.” Rafael terdiam sejenak. Matanya yang dingin berubah, entah antara kagum atau terancam oleh keberanian gadis itu. Ia berdiri, berjalan perlahan menghampiri Aruna hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Kau berani bicara begitu di hadapanku?” suaranya berat, namun tak lagi penuh amarah seperti biasanya. Aruna menelan ludah, tapi tetap menatap lurus. “Saya sudah kehilangan semuanya, Tuan Rafael. Tidak ada lagi yang saya takutkan.” Keheningan menggantung. Rafael menatapnya lama — seolah mencoba membaca setiap luka yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu. Dan tanpa sadar, untuk pertama kalinya, Rafael merasa... terusik. “Mulai besok,” ucapnya dingin sambil berbalik, “kau akan melayani sarapanku setiap pagi. Jangan pernah membuatku menunggu.” Aruna menggenggam apron di pinggangnya erat-erat, menahan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu , apakah itu ancaman, atau justru awal dari sesuatu yang lain. Suara deru petir menggema di langit sore yang kelam. Awan hitam menutupi seluruh mansion Rafael, sementara Aruna masih berjongkok di halaman belakang, menyapu dedaunan yang tak kunjung habis. Tangannya gemetar, ujung jarinya pucat, tapi ia tetap menunduk, mengikuti perintah yang diberikan pagi tadi. “Sampai halaman ini bersih, kau tidak boleh masuk ke dalam,” suara Rafael terngiang di kepalanya, datar dan tanpa belas kasihan. Aruna menelan ludah, menatap tumpukan dedaunan terakhir. Tubuhnya sudah menggigil. Bajunya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, tapi ia tetap menggerakkan sapu itu dengan sisa tenaga yang ada. Dari balkon lantai dua, Rafael berdiri di balik kaca besar, memandangi pemandangan di bawah sana. Ia tidak berniat menyiksa, tapi entah mengapa dadanya terasa sesak saat melihat gadis itu tetap bertahan di tengah hujan deras. “Dia keras kepala,” gumamnya lirih. Namun sesaat kemudian, Aruna limbung. Sapu jatuh dari tangannya, tubuhnya ambruk ke tanah berlumpur. Refleks, Rafael langsung keluar dari ruangan. Langkah-langkah beratnya menuruni tangga, membuka pintu, dan berlari menembus hujan. Ia meraih tubuh Aruna yang sudah lemah dan dingin, lalu mengangkatnya ke dalam pelukannya. “Bodoh,” desisnya pelan, wajahnya tegang. “Kau benar-benar bodoh.” Tubuh Aruna dingin seperti es. Rafael memeluknya lebih erat, membawa gadis itu ke dalam rumah, ke kamarnya sendiri — bukan kamar sempit di belakang. Ia menidurkan Aruna di atas ranjang besar, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal, lalu menatap wajah pucat itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Kenapa kau tidak menyerah saja?” suaranya parau, nyaris seperti bisikan. Aruna menggeliat lemah, bibirnya bergetar. “Karena… saya tidak mau kalah…” Hujan di luar masih mengguyur, namun di dalam kamar itu, suasana menjadi begitu hening , hanya detak jantung Rafael yang terdengar, berdetak cepat dan berat, seolah menandai awal dari sesuatu yang belum ia pahami. Saat matanya perlahan terbuka, cahaya redup dari lampu meja membuat pandangan Aruna sedikit buram. Selimut tebal membungkus tubuhnya, aroma kayu manis dan parfum maskulin memenuhi ruangan. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari — ini bukan kamar kecilnya di belakang mansion. Ia menegakkan tubuhnya perlahan. Tubuhnya terasa hangat, namun kepalanya berat. “Di… mana aku?” gumamnya pelan. Suara berat dan dingin terdengar dari arah kursi dekat jendela. “Di kamarku,” jawab Rafael tanpa menoleh. Aruna terkejut, segera mencoba bangkit, tapi tubuhnya kembali goyah. Rafael berdiri, langkahnya tenang namun tajam. Ia menatap gadis itu dengan mata yang sulit terbaca — antara marah dan khawatir. “Kau benar-benar tidak punya akal, ya?” ucapnya datar. Aruna menunduk, bibirnya bergetar. “Saya hanya… melakukan apa yang Anda suruh, Tuan.” “Dan hampir mati karenanya?” Rafael menaikkan suaranya sedikit, nada geramnya membuat udara di ruangan itu terasa tegang. “Kalau aku tidak melihatmu dari balkon, mungkin kau sudah membeku di luar sana!” Aruna menggenggam selimut erat-erat, berusaha menahan air matanya. “Saya tidak minta Anda menolong saya…” suaranya bergetar namun tegas. Rafael terdiam sesaat. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun. Ia menatap gadis itu lama, seolah tak percaya dengan keberaniannya yang selalu muncul di saat-saat seperti ini. “Mulai sekarang,” ucap Rafael akhirnya, dengan nada lebih pelan, “kau tidak tidur di kamar belakang lagi. Aku tidak mau pelayanku mati konyol hanya karena perintahku.” Aruna menatapnya, bingung. “Kenapa? Anda tiba-tiba… peduli?” Tatapan Rafael berubah tajam, namun suaranya nyaris seperti bisikan. “Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin mansion ini dikutuk karena ada pelayan keras kepala mati di halamanku.” Namun, ketika Rafael berbalik hendak keluar, Aruna sempat melihat jemarinya menggenggam erat, seperti sedang menahan sesuatu, mungkin emosi, atau… rasa bersalah. Begitu pintu tertutup, Aruna menyandarkan kepala di bantal, air matanya mengalir perlahan. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya sejak ia jadi tebusan di tempat ini, hatinya berdebar dengan cara yang berbeda. Pagi baru saja merekah. Cahaya mentari menembus tirai kamar mewah itu, membuat Aruna menyipitkan mata. Ia memandangi sekitar — ranjang empuk, karpet tebal, aroma lembut sabun mahal — semuanya terasa asing baginya. Begitu menyadari bahwa ini kamar Rafael, ia langsung menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Tidak, pikirnya. Ia tidak pantas berada di ruangan ini. Ia hanya seorang pelayan — dan lebih buruk lagi, seorang gadis tebusan. Aruna bergegas menuju pintu, masih dalam keadaan lemah. Namun baru beberapa langkah, suara berat yang familiar menghentikan gerakannya. “Kau mau ke mana?” Rafael berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan beberapa kancing terbuka. Tatapannya tajam namun ada sedikit kelelahan di matanya — mungkin karena ia berjaga semalaman. “Saya harus bekerja, Tuan,” jawab Aruna tanpa menatapnya. “Saya tidak ingin melanggar aturan di rumah ini.” Rafael melangkah mendekat perlahan. “Aturan di rumah ini aku yang buat.” Suara baritonnya membuat Aruna menelan ludah. “Dan sekarang aturannya berubah. Kau tidak ke mana-mana hari ini.” Aruna mendongak, menatapnya tak percaya. “Tapi, halaman harus dibersihkan, lantai—” “Cukup.” Rafael menatapnya lebih dalam. “Kau hampir mati kemarin, Aruna. Aku tidak akan membiarkan kau keluar dari kamar ini sebelum dokter memastikan kau benar-benar pulih.” Nada suaranya terdengar tegas, tapi tidak lagi kasar. Ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik kalimat itu, meskipun Rafael berusaha menutupinya dengan tatapan dingin. “Saya tidak butuh dikasihani,” gumam Aruna, menunduk. “Aku juga tidak sedang mengasihanimu,” balas Rafael cepat. Ia mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. “Aku hanya, ingin menegaskan posisimu, di mansion ini, nona keras kepala!" Aruna terdiam, dadanya terasa sesak. “Tidak perlu anda jelaskan lagi, aku sudah faham."ucapnya pelan, nyaris berbisik Rafael membuang pandangan. “Aku bicara tentang tenaga kerja, bukan dpirimu.” Ia berbalik, melangkah menuju pintu. “Tetap di sini Itu perintah.” Begitu Rafael keluar, Aruna hanya bisa duduk di tepi ranjang, jantungnya masih berdetak kencang. Ia tahu Rafael dingin, keras, dan berbahaya. Tapi barusan… ia mendengar sesuatu di balik nada suaranya sesuatu yang terdengar seperti peduli. Aruna masih duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan pandangan kosong. Suara langkah sepatu hak tinggi terdengar dari arah pintu, disusul aroma parfum mahal yang menyengat. Rafael yang baru saja kembali dari ruang kerja berdiri di dekat jendela, dan seorang wanita cantik dengan gaun ketat berwarna merah masuk tanpa mengetuk. Rambutnya bergelombang indah, bibirnya tersenyum menantang. “Sayang, kau memanggilku?” suara lembut itu terdengar manja. Aruna mendongak, tubuhnya menegang. Ia tak mengerti siapa wanita itu, tapi sesuatu di dalam dadanya terasa menyesak. Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap Aruna sekilas, lalu menoleh pada wanita itu dengan wajah datar. Wanita itu melangkah mendekat pada Rafael, menyentuh bahunya dengan gerakan lembut. “Aku dengar, kau punya pelayan baru,” ujarnya sambil menatap Aruna tajam. “Cantik juga, tapi… polos.” Rafael diam. Ia tidak mengusir wanita itu, tidak juga mengalihkan sentuhan manja yang kini jelas-jelas membuat Aruna tidak nyaman. Tatapan Aruna bergetar, namun ia tetap berusaha tegar. Ia berdiri dan membungkuk sopan. “Maaf, saya akan keluar.” “Tidak perlu,” potong Rafael cepat. Suaranya dingin, menusuk. “Kau harus belajar… bagaimana dunia di rumah ini berjalan. Jangan terlalu menganggap dirimu penting.” Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Aruna menggigit bibirnya keras, menahan perasaan yang berputar di d**a. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa di sini, tapi Rafael, mengapa harus sejauh itu? Wanita bergaun merah tersenyum puas, lalu berbisik manja pada Rafael, “Kau kejam, tapi aku suka itu.” Rafael hanya mendengus ringan, mencoba terlihat acuh, padahal dalam dadanya, ada rasa bersalah yang tumbuh makin besar. Alexa pun duduk di pangkuan Rafael. Dia mencium bibir Rafael, namun tatapan Rafael tetap lurus ke arah Aruna. Tatapan mereka bertemu. Alexa terus saja melakukan aksinya. Mencumbu Rafael, dihadapan Aruna. Saat Saat mata Aruna terpejam, Rafael melarangnya dengan cepat. "Jangan tutup matamu! Lihat, bagaimana seharusnya kau melakukannya, dan ...tahu posisimu!" Saat Alexa hendak membuka piyama Rafael dengan sensual tiba-tiba terdengar suara Rafael. "Cukup Alexa, kau boleh keluar!" "Tapi...kita belum memulainya Rafael!"Suara Alexa mendayu- dayu. "Apa meminta pendapatmu?"Dengan suara dingin dan menekan, Rafael meyuruh Alexa pergi. "Baiklah!"Alexa pergi sambil menatap tajam Aruna. "Huhh, wanita munafik, sialan." "Aku ...harus pergi tuan,"ucap Aruna terbata-bata. Aruna akhirnya menunduk dalam-dalam, lalu berjalan cepat melewati mereka, menahan air mata yang siap jatuh. Begitu pintu tertutup, kemarahan wajah Alexa itu meluap, ditambah tatapan tajam. “Kau sedang bermain dengan api, Rafael. Gadis itu bukan mainan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN