Hari-hari berikutnya di mansion itu terasa berbeda.
Rafael yang biasanya berbicara dengan nada tegas dan tajam kini sering terlihat menatap Aruna dengan pandangan yang lembut, bahkan senyum tipis kadang terukir di wajah dinginnya — sesuatu yang tak pernah disangka siapa pun.
Bagi orang luar, Rafael tetaplah “Rafael Black Rose” yang ditakuti — pemimpin dengan tatapan tajam, suara berat, dan aura dominan yang membuat siapa pun menunduk. Ia masih memimpin rapat bisnisnya dengan keras, memberi perintah tanpa banyak bicara, dan siapa pun yang menentangnya tahu risiko yang harus ditanggung.
Namun, semua sisi keras itu lenyap begitu ia melangkah melewati pintu kamarnya — tempat Aruna berada.
Saat melihat Aruna duduk di balkon, rambutnya tersapu angin, Rafael seakan berubah menjadi sosok lain.
Ia mendekat pelan, lalu meletakkan jaketnya di bahu Aruna.
> “Kau bisa sakit kalau duduk di luar terlalu lama,” ucapnya pelan, nadanya teduh — sesuatu yang bahkan para pengawal tak pernah dengar dari tuannya.
Aruna menatapnya, sedikit tersenyum.
> “Kau berubah,” katanya lembut.
Rafael hanya mengangkat alis.
> “Berubah?”
> “Ya… dulu kau selalu memerintah dengan nada tinggi. Sekarang kau seperti…” Aruna menatap matanya, “…lebih manusiawi.”
Rafael tertawa kecil, sesuatu yang jarang sekali terjadi.
> “Mungkin karena aku baru belajar jadi manusia sejak kau datang.”
Aruna terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi senyum tipisnya sudah cukup membuat Rafael mengulurkan tangan dan menepuk kepalanya lembut.
Sementara itu, di luar kamar, para pelayan berbisik-bisik takjub.
Mereka tahu, hanya Aruna yang bisa membuat Rafael menurunkan suaranya, menatap dengan mata hangat, dan bersikap sabar.
Bagi dunia luar, Rafael tetaplah sosok berbahaya yang memimpin klan hitam dengan tangan besi.
Namun saat dihadapan Aruna, laki-laki itu berbeda. Meski dingin dia terlihat perhatian pada wanita yang dibawanya tersebut.
*********
Hari-hari berikutnya di mansion itu terasa berbeda.
Rafael yang biasanya berbicara dengan nada tegas dan tajam kini sering terlihat menatap Aruna dengan pandangan yang lembut, bahkan senyum tipis kadang terukir di wajah dinginnya — sesuatu yang tak pernah disangka siapa pun.
Bagi orang luar, Rafael tetaplah “Rafael Black Rose” yang ditakuti — pemimpin dengan tatapan tajam, suara berat, dan aura dominan yang membuat siapa pun menunduk. Ia masih memimpin rapat bisnisnya dengan keras, memberi perintah tanpa banyak bicara, dan siapa pun yang menentangnya tahu risiko yang harus ditanggung.
Namun, semua sisi keras itu lenyap begitu ia melangkah melewati pintu kamarnya — tempat Aruna berada.
Saat melihat Aruna duduk di balkon, rambutnya tersapu angin, Rafael seakan berubah menjadi sosok lain.
Ia mendekat pelan, lalu meletakkan jaketnya di bahu Aruna.
> “Kau bisa sakit kalau duduk di luar terlalu lama,” ucapnya pelan, nadanya teduh — sesuatu yang bahkan para pengawal tak pernah dengar dari tuannya.
Aruna menatapnya, sedikit tersenyum.
> “Kau berubah,” katanya lembut.
Rafael hanya mengangkat alis.
> “Berubah?”
> “Ya… dulu kau selalu memerintah dengan nada tinggi. Sekarang kau seperti…” Aruna menatap matanya, “…lebih manusiawi.”
Rafael tertawa kecil, sesuatu yang jarang sekali terjadi.
> “Mungkin karena aku baru belajar jadi manusia sejak kau datang.”
Aruna terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi senyum tipisnya sudah cukup membuat Rafael mengulurkan tangan dan menepuk kepalanya lembut.
Sementara itu, di luar kamar, para pelayan berbisik-bisik takjub.
Mereka tahu, hanya Aruna yang bisa membuat Rafael menurunkan suaranya, menatap dengan mata hangat, dan bersikap sabar.
Bagi dunia luar, Rafael tetaplah sosok berbahaya yang memimpin klan hitam dengan tangan besi.
Namun di hadapan Aruna, ia hanyalah seorang pria — yang perlahan belajar bagaimana rasanya mencintai tanpa harus memiliki, dan melindungi tanpa harus menakut-nakuti.
Rafael tengah menerima telepon penting dari anak buahnya di sisi kandang, sementara Aruna yang kini sudah mulai terbiasa dengan Luna — kuda putih kesayangan Rafael — tampak bersemangat ingin mencoba menunggang sendiri tanpa bantuan.
Di balik kandang, Angela berdiri anggun dalam balutan gaun hijau tua. Wajahnya tersenyum lembut, tapi tatapannya menyimpan niat jahat. Di sampingnya, seorang pelayan pria yang sudah lama menjadi suruhannya — Marco — memegang botol kecil berisi cairan bening.
> “Kau yakin hanya beberapa tetes bisa membuatnya hilang kendali?” tanya Angela dengan nada datar.
“Ya, Nyonya. Cairan ini akan membuat kuda gelisah, liar… bahkan mungkin menyerang siapa pun yang menaikinya,” jawab Marco ragu.
Angela tersenyum dingin.
“Bagus. Pastikan yang diberi adalah Luna. Aku ingin melihat sejauh mana gadis itu bisa bertahan di dunia Rafael.”
Tak lama, Marco menjalankan perintahnya. Cairan itu dituangkan ke dalam ember air minum Luna. Semuanya terlihat normal — tak ada yang curiga.
Beberapa menit kemudian, Aruna datang mendekati kuda kesayangan Rafael itu sambil tersenyum polos.
> “Ayo, Luna. Hari ini kita coba berkeliling sedikit, ya?” ucapnya lembut, mengelus surai sang kuda.
Di balkon atas, Angela menyesap anggurnya sambil menunggu pertunjukan dimulai.
Ketika Aruna menaiki Luna dan menarik kendali, kuda itu mendengus keras. Nafasnya berat. Tatapannya berubah liar. Rafael yang masih di kejauhan sempat mendongak, merasakan ada yang tidak beres.
> “Aruna! Jangan—!” teriaknya.
Namun sudah terlambat. Luna meringkik keras, mengangkat kedua kakinya ke udara lalu berlari kencang ke arah hutan kecil di belakang mansion. Aruna menjerit panik, berusaha mengendalikan tali kekang, namun tenaganya tak cukup.
> “Luna, tolong berhenti! Aku takut!”
Rafael berlari secepat mungkin, mengambil kudanya sendiri dan menungganginya tanpa berpikir panjang. Suara detak kuda bergemuruh membelah udara sore.
Angela tersenyum puas dari kejauhan, membiarkan gelas anggurnya berputar di tangan.
> “Selamat menikmati permainanmu, Rafael. Kita lihat apakah kau masih bisa melindunginya.”
Di tengah hutan, ranting-ranting berderak. Aruna hampir terjatuh ketika Luna menubruk batang pohon kecil. Air matanya mengalir, tangannya gemetar memegang tali kekang.
> “Tolong... siapa pun...”
Tak lama, terdengar suara langkah kuda lain mendekat — keras, cepat, dan menggetarkan tanah. Rafael muncul dengan wajah panik.
"Aruna! Lepaskan kendalinya dan lompat ke arahku!” teriak Rafael keras.
Namun Aruna tak berani. Tubuhnya membeku ketakutan. Dalam sekejap, Rafael memacu kudanya, mendekat ke sisi Luna, dan dengan keberanian luar biasa, ia menarik tubuh Aruna dari pelana, menahannya di udara sebelum keduanya jatuh berguling di tanah.
Rafael langsung memeluk Aruna erat, napasnya memburu, keringat bercucuran.
> “Kau gila! Kenapa kau naik sendiri tanpa aku?” bentaknya dengan suara parau, tapi tangannya tetap memeluk gadis itu erat.
Aruna menangis di pelukannya.
“Aku… aku hanya ingin mencoba… maaf, aku takut…”
Rafael terdiam beberapa detik, menatap wajah Aruna yang ketakutan dan pipinya yang basah oleh air mata. Tangannya mengusap lembut kepala gadis itu.
“Jangan pernah minta maaf karena takut. Tapi mulai sekarang, kau tak akan kulepaskan sendirian lagi.”
Dari kejauhan, Angela yang mengikuti dari balik pepohonan menatap keduanya dengan rahang mengeras.
Pelan-pelan, senyumannya berubah jadi tatapan membara penuh kebencian.
“Rafael… kau bahkan mempertaruhkan nyawamu untuknya. Tapi aku akan pastikan gadis itu tak akan lama di sisimu.”
"Aruna....kau... tidak apa-apa?"Tanya Rafael dengan nafas tersengal-sengal dan memegang tangannya.
"A-aku...baik-baik saja, meski... arrrgh sakit."Aruna memekik kesakitan pada bahunya.
"Bawa dia ke kamarku, dan hubungi dokter."Rafael nampak khawatir, dia tak peduli dengan kesakitannya.
"Baik tuan."Dario mengangguk . Dan meminta Dora memanggil dokter. Sementara Aruna di papah oleh pelayan wanita.
******
Hujan turun malam itu, deras dan menusuk dingin. Di dalam ruang kerja megahnya yang penuh dengan rak buku dan aroma tembakau, Rafael duduk di kursi kulit hitam dengan wajah tegang. Di depan meja, dua anak buahnya, Riko dan Damian, berdiri menunduk, menunggu perintah.
Rafael memukul meja dengan keras.
“Kuda itu tidak akan bertingkah liar tanpa sebab!” suaranya berat dan penuh amarah.
“Tuan, kami sudah periksa pelana dan tali kekangnya, semuanya normal,” ujar Riko hati-hati.
“Lalu bagaimana dengan air minumnya?!” bentak Rafael, matanya menatap tajam seperti binatang buas yang marah.
Damian menelan ludah.
“Kami menemukan sisa air di ember, Tuan… tapi sudah terlambat untuk diperiksa laboratorium.”
Rafael berdiri, berjalan bolak-balik dengan langkah berat. Wajahnya menunjukkan dua hal sekaligus — murka dan ketakutan. Murka karena ada yang berani mengancam wanita yang kini tanpa ia sadari sudah menempati ruang di hatinya. Takut… karena ia tahu dunia yang ia jalani penuh musuh, dan kini Aruna menjadi celah terlemah dalam hidupnya.
“Siapa pun yang menyentuhnya… akan kubuat menyesal lahir ke dunia ini,” desis Rafael dengan suara rendah namun mengancam.
Di luar, kilat menyambar, menerangi wajahnya yang muram.
Tak lama, Aruna datang dengan langkah ragu, membawa secangkir teh hangat. Ia sudah mengganti pakaian dan terlihat masih lemas, namun memaksa tersenyum.
“Kau belum makan sejak tadi. Setidaknya minum dulu.”
Rafael menatap gadis itu lama. Di wajah polos itu, tak ada sedikit pun rasa curiga atau kebencian, hanya ketulusan yang membuat dadanya semakin sesak.
Ia menarik napas dalam dan berusaha menahan emosi.
"Kau...sudah bangun?"Suara lembut Aruna.
“Kau hampir mati hari ini, dan masih bisa memikirkan aku?”Rafael memegang kepalanya, dia merasa pusing dan bingung karena tak tahu, mengapa dia tiba-tiba ada di tempat tidur.
“Kau menyelamatkanku… bagaimana mungkin aku tak peduli?Bahkan...kamu sempat tidak sadarkan diri tadi."
Rafael menunduk, menatap lantai. Tangannya mengepal di atas meja.
“Aku tak bisa membiarkan hal seperti ini terulang. Mulai sekarang, kau tak boleh pergi sendirian. Tidak ke taman, tidak ke kandang, bahkan tidak keluar kamar tanpa izin dariku. Mengerti?”
“Tapi tuan Rafael....”
“Tidak ada tapi!”
Nada suaranya keras, namun matanya bergetar menahan kekhawatiran. Aruna hanya menunduk, menatap cangkir yang ia bawa.
"Baik...saya permisi."
Setelah Aruna pergi, Damian kembali masuk membawa laporan tambahan.
“Tuan… kami menemukan jejak sepatu di dekat kandang. Ukurannya kecil, dan bukan milik siapa pun dari staf laki-laki.”
Rafael mengangkat wajahnya perlahan, matanya menyipit.
“Kecil, katamu?”
“Ya. Dan ada sisa parfum yang sangat kuat di tempat itu. Bukan aroma yang biasa dipakai para pelayan.”
Keheningan menegang di ruangan itu. Rafael menatap Damian tajam.
“Kirim sampel tanah dan sisa air itu ke laboratorium. Aku ingin hasilnya besok pagi. Dan pastikan tidak ada satu pun orang di mansion ini yang tahu aku sedang menyelidiki.”
Damian mengangguk cepat, lalu keluar.
Rafael berdiri menghadap jendela besar. Hujan masih turun, petir sesekali memantulkan bayangan wajahnya di kaca. Ia tahu ada pengkhianat di dalam rumahnya sendiri, seseorang yang ingin melukai Aruna.
“Siapa pun kau…” katanya pelan dengan nada mematikan.
“…kau akan kubuat berlutut di depan Aruna dan memohon ampun sebelum kuakhiri hidupmu.”
Dan di koridor atas, tak jauh dari sana, Angela berdiri di balik dinding dengan senyum samar di bibirnya. Ia mendengar setiap kata Rafael, dan justru semakin menikmati permainan ini.
“Cari saja, Rafael. Semakin kau melindunginya… semakin besar peluangku untuk menghancurkannya.”
"Aku tidak akan, membiarkan gadis itu hidup tenang,"bisik Angela ibu tiri Rafael.