Chapter 15

1597 Kata
Malam itu, setelah makan malam di rumah sang ayah yang penuh ketegangan, Rafael membawa Aruna kembali ke mansionnya. Hujan masih turun rintik-rintik, menciptakan suara lembut di balik jendela kamar. Aruna duduk di kursi dekat perapian, mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuat wajahnya tampak lembut diterpa cahaya api. Rafael berdiri tak jauh dari sana, memandangi nyala api yang menari-nari di dalam perapian, seolah menenangkan sesuatu dalam pikirannya. Sunyi. Hanya ada suara kayu terbakar pelan. Hingga akhirnya, suara Rafael memecah keheningan itu. > “Kau tahu, Aruna…” “Apa?” Aruna menoleh perlahan. “Setiap kali aku melihatmu… aku selalu teringat seseorang.” Aruna menatapnya bingung. “Siapa?” Rafael menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat. Wajah dinginnya kali ini tampak berbeda — lembut, tapi menyimpan luka yang dalam. > “Ibuku,” katanya lirih. “Dia bukan wanita glamor seperti istri ayahku sekarang. Dia perempuan sederhana… seperti dirimu. Suka menanam bunga, suka membuatkan teh setiap pagi. Tapi…” Ia berhenti. Matanya menatap api yang berpendar merah. “Ayahku menghancurkannya. Ibuku meninggal ketika aku masih remaja… karena depresi. Dia tak kuat hidup dengan pria sekejam ayahku.” Aruna tertegun. Ia tak pernah membayangkan pria seperti Rafael bisa memiliki luka sebesar itu di masa lalu. “Kau tahu kenapa aku benci melihat kelembutan?” Rafael melanjutkan, suaranya mulai berat. “Karena setiap kali melihat seseorang seperti ibuku, aku takut. Takut melihatnya hancur lagi. Takut kehilangan. Dan sejak kau datang…” Tatapan Rafael berpindah pada Aruna, tajam, tapi penuh emosi. “…aku kembali merasa hal yang sama. Kau mengingatkanku pada sisi yang sudah lama kubunuh.” Aruna tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap Rafael, matanya mulai berkaca-kaca. “Rafael… aku—” Namun Rafael memotongnya. Ia menunduk, menyentuh pipi Aruna perlahan, lalu berbisik dengan nada getir, “Jangan terlalu dekat denganku, Aruna. Aku bukan orang yang bisa mencintai tanpa melukai.” Fajar menyingsing perlahan. Langit di atas mansion masih basah oleh sisa hujan semalam. Pelayan-pelayan berjalan dengan langkah hati-hati di koridor panjang, tapi suasana rumah itu tetap sunyi — hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Aruna belum tidur semalaman. Ia duduk di dekat jendela, matanya sembab. Di meja kecil di sampingnya, secangkir teh yang sejak tadi tak tersentuh sudah dingin. Hatinya berdebar sejak Rafael pergi malam tadi. Ia tidak tahu di mana pria itu, tapi entah kenapa… ada rasa cemas yang sulit ia pahami. Suara mobil berhenti di halaman depan membuatnya tersentak. Aruna segera berdiri, mengintip dari balik tirai. Mobil hitam itu berhenti di depan pintu utama, dan dua anak buah Rafael turun tergesa, menopang seseorang yang tampak limbung. Rafael. Kemejanya basah oleh hujan, wajahnya pucat, dan langkahnya berat. Satu tangannya masih menggenggam botol whiskey yang hampir kosong. “Bawa dia ke kamarnya,” perintah pelayan kepala. Aruna berdiri terpaku di tangga, menatap pemandangan itu dengan mata melebar. Hatinya terasa sesak melihat Rafael dalam keadaan begitu. Pria yang biasanya terlihat gagah dan dingin, kini tampak rapuh dan kehilangan arah. Setelah anak buahnya pergi, Aruna memberanikan diri melangkah ke kamar Rafael. Pintu sedikit terbuka — dan dari sana, ia melihat Rafael terbaring di ranjang besar, masih mengenakan pakaian yang sama. Botol di meja jatuh, pecah, meninggalkan aroma alkohol yang menusuk. Aruna masuk perlahan, mengambil handuk dari lemari, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya bergetar saat menyentuh dahi Rafael. Panas. “Dia demam…” bisiknya cemas. Dengan hati-hati, Aruna memeras kain basah dan menempelkannya di kening Rafael. Tatapannya lembut, penuh rasa iba yang sulit disembunyikan. “Kenapa kau selalu menyiksa dirimu sendiri?” gumamnya lirih. “Kau bilang kau kuat, tapi sebenarnya… kau hanya sendirian, kan?” Rafael bergumam pelan dalam tidurnya. Namanya nyaris tak terdengar , tapi cukup untuk membuat d**a Aruna bergetar. “…Mama…” Air mata menetes di pipi Aruna tanpa sadar. Ia menatap wajah Rafael yang tenang dalam tidur, dan untuk pertama kalinya ia melihat sisi manusiawi dari pria yang selama ini ia anggap monster. “Kau hanya anak yang kehilangan kasih sayang,” ucap Aruna pelan. “Dan aku… entah kenapa, tak sanggup membencimu lagi.” Ia terus mengganti kompres di kening Rafael hingga pagi benar-benar datang. Di luar, matahari perlahan menembus tirai kamar. Saat Rafael membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Aruna yang tertidur di kursi, dengan kepala bersandar di tepi ranjangnya dan tangan kecilnya masih memegang kain basah. Rafael menatapnya lama. Tatapan yang dulu penuh amarah kini berubah lembut, seolah dirinya pun tak mengerti apa yang ia rasakan. "Kenapa kau selalu di sini… padahal aku yang membuat hidupmu hancur?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Namun Aruna tetap terlelap, dan senyum tipis muncul di bibir Rafael, senyum pertama yang benar-benar tulus sejak bertahun-tahun. Siang menjelang, suasana di mansion Rafael kembali seperti semula — tenang namun penuh wibawa. Pelayan sibuk menyiapkan makan siang, dan beberapa penjaga tampak berjaga di halaman depan. Aruna sudah kembali ke ruang pribadinya setelah memastikan Rafael benar-benar pulih. Tapi pikirannya belum tenang. Ia masih bisa merasakan tatapan Rafael pagi tadi, tatapan yang berbeda — bukan lagi ancaman, melainkan sesuatu yang lembut, bahkan… melindungi. Sementara itu, di ruang kerja besar di lantai bawah, Rafael tengah duduk di balik meja kayu mahoni, mengenakan kemeja hitam dengan beberapa kancing terbuka. Asap rokok melayang tipis di udara, dan di depannya berdiri seorang pria berwajah tegas dan berpakaian rapi — sahabat sekaligus tangan kanannya, Darren. “Semua laporan sudah selesai, Boss,” ucap Darren sambil menyerahkan map tebal. Rafael membuka lembar demi lembar tanpa ekspresi. Matanya yang tajam menelusuri angka-angka di laporan keuangan perusahaannya, hotel, properti, dan bisnis legal yang selama ini ia jadikan tameng untuk dunia gelapnya. “Bagaimana dengan cabang di Milano?” tanya Rafael tenang. “Keuntungan naik dua belas persen. Tapi…” Darren berhenti sesaat, “ada indikasi kebocoran dana di cabang Singapura. Orang dalam, sepertinya.” Rafael menatapnya dalam. “Siapa?” “Masih kami selidiki. Tapi namanya mengarah ke orang dekat keluarga ayahmu.” Rafael terdiam, bibirnya melengkung sinis. “Ayahku memang tak pernah berhenti bermain di belakangku.” Ia menutup map itu perlahan, lalu bersandar di kursi. “Siapkan tim malam ini. Aku ingin orang itu ditemukan, hidup atau mati.” Darren mengangguk. Tapi ia memperhatikan sesuatu yang berbeda pada sahabatnya itu. “Boss… kau terlihat berbeda,” ujarnya hati-hati. Rafael mengangkat alis. “Berbeda?” “Biasanya, kalau sedang bicara soal pengkhianat, wajahmu penuh amarah. Tapi sekarang… entah kenapa, kau tampak lebih tenang. Ada sesuatu yang berubah.” Rafael tersenyum tipis sambil mematikan rokoknya. “Mungkin aku sedang belajar menahan diri.” “Karena gadis itu?” tanya Darren langsung. Tatapan Rafael berubah tajam sesaat, tapi tak lama kemudian melembut. “Dia hanya seorang gadis, Darren,” jawabnya datar. Darren tersenyum kecil. “Gadis yang membuatmu menolak keluar malam ini. Biasanya kau sudah di klub atau rapat dengan investor.” Rafael hanya diam, menatap keluar jendela di mana cahaya sore mulai turun. Di luar sana, ia bisa melihat sekilas sosok Aruna berjalan di taman — sederhana dengan gaun panjang dan selendang lembut di bahunya. “Dia mengingatkanku pada ibuku,” ucap Rafael pelan. “Dan mungkin… pada diriku yang dulu.” Darren mengangguk, mengerti bahwa sahabatnya mulai berubah. Namun ia tahu, perubahan itu berbahaya. Karena di dunia mereka, cinta adalah kelemahan terbesar seorang mafia. Sementara Aruna dalam kebimbangan dengan sikapnya dan juga perasaannya pada Rafael. Dia hanya ingin bersikap pura-pura patuh pada Rafael, namun disisi lain, Aruna merasa ada sisi baik dari Rafael, meski dia terlihat kejam dan dingin, namun dia memiliki alasan kenapa dia bersikap seperti itu. Suasana mansion terasa berbeda pagi itu. Para pelayan dan staf berkumpul di ruang utama, berdiri rapi, sementara Rafael berdiri di tengah, tatapannya tajam dan penuh wibawa. Aruna duduk di tepi sofa, tangan terkepal di pangkuannya, merasa jantungnya berdegup kencang. Rafael menatap seluruh staf, suaranya dalam, tegas, dan tak terbantahkan: “Mulai hari ini, Aruna bukan lagi pelayan. Dia adalah wanitaku. Siapapun yang menganggapnya pelayan atau mencoba memperlakukannya sembarangan akan menanggung konsekuensinya.” Ruang hening sejenak, para staf menatap satu sama lain, sebagian tersentak oleh pernyataan Rafael. Aruna sendiri membeku, wajahnya memerah, matanya menatap lantai. “Wanita… Anda?” gumamnya dalam hati, hampir tak percaya. “Aku… aku… ini terlalu cepat…” Rafael berjalan perlahan mendekatinya, matanya tak lepas dari Aruna. “Ya, Aruna. Kau bukan lagi gadis yang hanya kulindungi dari jauh. Kau ada di sisiku. Dan kau harus diperlakukan sebagaimana wanita yang penting bagiku, bukan sekadar pelayan.” Aruna menunduk, canggung, hampir ingin menutup wajahnya. “Tapi… Tuan Rafael… aku… aku tidak terbiasa…” bisiknya pelan, suaranya gemetar. "Bagaimana ini, aku harus segera pergi dari kehidupan dia yang sangat dingin ini."batin Aruna. Rafael tersenyum samar, sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya, tapi tetap menjaga jarak. “Aku tahu. Tapi kau tidak perlu terbiasa dengan dunia di sini. Kau hanya perlu terbiasa menjadi dirimu sendiri, di sisiku. Dan percayalah… aku akan membuatmu merasa aman, dihargai, dan dihormati.” Aruna menatapnya, hati berdebar, campur aduk antara rasa takut, canggung, dan… rasa penasaran yang aneh terhadap sisi Rafael yang jarang ia lihat. "Aku… akan mencoba…” ucapnya pelan, hampir seperti janji untuk diri sendiri. Rafael menepuk bahu Aruna lembut, lalu berdiri, menatap para staf dengan mata tajam: “Ingat baik-baik kata-kataku. Wanitaku berada di sini. Siapapun yang berani menyakitinya atau meremehkannya… akan menyesal.” Para staf mengangguk, sebagian diam terpesona oleh d******i Rafael, sebagian lagi merasa lega karena perintah itu jelas. Aruna menunduk di sofa, wajahnya masih merah. Di dalam hatinya, perasaan canggung bercampur dengan rasa aman yang aneh, dia kini sadar, dunia baru di mansion ini bukan lagi sekadar takut dan terpaksa, tapi ada sesuatu yang mulai membuatnya penasaran terhadap pria dingin di depannya itu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN