101. Kereta terakhir

1394 Kata

Malam itu saat rintik hujan membasahi bumi, baik Arif dan Mutia duduk diam menyimak apa yang hendak dibicarakan putrinya. "Jadi apa yang ingin kau bicarakan, Nak?" Nadira menatap sendu pada netra sehitam tinta yang berada dibalik kacamata plus itu. Tangannya terulur untuk meraih jemari ayah dan ibunya, menangkupnya menjadi satu. "Pah, Mah, sebelumnya aku mau minta maaf. Maaf karena aku nggak bisa menjadi anak yang membanggakan, seperti yang kalian harapkan." "Papah yang seharusnya minta maaf, Sayang. Karena keegoisan Papah, kamu harus merasakan penderitaan seperti ini," Arif menjeda kalimatnya, menyeka matanya yang mulai berembun. "Seandainya saja Papah tidak pernah memaksamu untuk menikah dengannya, kau pasti sudah hidup bahagia sekarang," ucapnya penuh sesal. "Jangan menyalahkan dir

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN