Sebuah lengkungan terus terpatri di bibir tipis yang sedikit memucat itu. Nadira berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Diusapnya perut yang masih datar itu dengan penuh kasih sayang, tempat bersemayamnya buah cintanya dengan Kai. Rasanya seperti mimpi. Kehadiran bayi yang sangat dinantikannya ternyata sudah ada sejak lama. Bodohnya Nadira yang tak peka hingga tak menyadari perubahan dalam dirinya karena proses kehamilan, dan bukannya sakit biasa seperti yang ia duga. Sudah hampir pukul sepuluh malam dan Kai belum pulang juga. Ingin rasanya Nadira menghubunginya, sekedar menanyakan keberadaan pria itu. Namun, dia urungkan. Teringat akan sikap dingin dan kasarnya beberapa hari ini. Suara tawa yang menggema di ruang tengah membuat Nadira yang semula hendak kembali ke kamar pun re