"Raf... lo gak lagi kesambet 'kan?" Tanya Vanna tak yakin.
Bagaimana mungkin Raffa bisa mengatakan hal itu dengan suasana seperti ini. Tidak. Bukan maksudnya Vanna untuk tak suka dengan perkataan Raffa tentang, ekhm. Jadi pacarnya. Tetapi agak mengherankan juga cowok itu tiba-tiba saja mengatakan hal itu. Ah, Vanna meringis dalam hati. Mana ada orang yang menembak seseorang dan mengatakannya jika ia akan menembaknya terlebih dahulu.
Tetapi tunggu. Yang Raffa lontarkan tadi itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. "Lo gak nembak gue?"
Raffa menaikkan satu alisnya. "Harus ya?"
Vanna menatap Raffa tak percaya. "Lo..." Ia menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Terserah lo deh."
"Terima kasih." Ucap Vanna pada pelayan yang mengantarkan pesanan pesanan.
Gadis itu memainkan sedotan minumannya. Melirik kesekitarnya yang tak begitu ramai. Hening menyelimuti mereka. Vanna menyesap jus jeruk tanpa sekalipun melirik kearah Raffa.
Perasaan Vanna saat ini? Bisa dikatakan perasaannya campur aduk. Antara senang, kesal, dan heran. Senang karena akhirnya Raffa mau menjadikannya pacar, kesal karena tak mau bertanya dulu mengenai mau tidaknya ia menjadi pacarnya, dan heran mengapa pemuda itu menjadikan pacarnya saat ini. Kesannya ia sangat terburu-buru seperti mengejar sesuatu.
Yah perasaan perempuan memang aneh. Dari dulu ingin sekali dirinya menjadi milik seseorang yang dicintainya, tetapi perasaan lain muncul karena orang yang dicintainya itu. Kadang hal itupun sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Memang benar, perempuan itu rumit untuk pria. Termaksud untuk Raffa sendiri.
Raffa diam mengamati wajah Vanna yang sedari tadi tak sedikitpun melihatnya. Ia menahan senyuman. Melihat wajah Vanna saat ini, Raffa bisa menebak jika gadis itu sedang merutukinya dalam hati.
"Emang lo gak mau?" Vanna mendongak ketika mendengar perkataan itu. Keningnya mengerut samar, apa yang harus dikatakannya sekarang?
Menegakkan tubuhnya, Vanna menatap Raffa acuh, "Kan udah gue bilang. Terserah lo."
"Terus kenapa muka lo seakan terpaksa?" Kata Raffa membuat Vanna menaikkan satu alisnya. Ia mendengus lalu tersenyum. "Muka gue emang gini. Gak bisa diubah."
"Yakin? Gue bisa kok."
"Apa? Emang gimana?"
Raffa mencondongkan tubuhnya mendekati Vanna. Ia tersenyum menggoda dengan satu alisnya yang terangkat. "Apa yang pacar gue inginkan sekarang?"
Pipi Vanna memerah. Ia membuang wajahnya kesamping. Berusaha untuk tidak tersenyum sekarang. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dengan cepat ia meminum jus jeruknya sambil melirik Raffa sesekali. Padahal hanya satu pertanyaan dan sangat sederhana yang dilontarkan Raffa, tapi mampu membuat Vanna merona.
Raffa terkekeh pelan. Ia menyandarkan punggungnya sambil memandang kiri dan kanan lalu beralih pada jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Ia menyesap minumannya. "Mau pulang sekarang?"
Vanna menoleh. "Hm." Gumamnya lalu berdiri. Raffa mengangguk lalu masuk kedalam restoran untuk membayar. Melihat itu, senyuman lebar mekar dibibirnya yang sedari tadi ditahannya. "Ini bukan mimpikan?" Gumamnya lagi.
Raut wajah Vanna berubah ketika Raffa kembali. Ia berdeham pelan. Mengatur suaranya agar tak terdengar aneh.
*
"HEE? BENERAN?!"
Teriakkan nyaring itu sukses membuat Vanna melotot garang. Ia menatap Nadya yang kini menutup mulutnya dengan mata yang terbelalak kaget. Sedangkan Lena menatap Vanna pun tak kalah kagetnya tetapi tanpa suara.
"Stt... suaranya dipelanin, plis. Nanti Mama gue dateng." Kata Vanna sambil berdecak sebal.
"Lo beneran kan? Gak lagi ngayal?" Tanya Nadya masih tak yakin. Ia bergerak dalam duduknya agar mendapat posisi yang nyaman sambil menatap Vanna ragu.
"Gak ah. Buktinya tadi gue udah cubit diri gue sendiri." Kata Vanna sambil membayangkan kejadian siang tadi dengan senyuman. Melihat senyuman itu membuat Lena dan Nadya bergidik ngeri. Bagi mereka senyuman itu terlihat aneh.
Lena mencondongkan badannya, "Gimana rasanya udah resmi jadi pacarnya si famous, si bad boy, dan si the most wantednya SMA Pelita, yaitu Raffa Farellino?"
"Gelarnya banyak banget, Len?" Tanya Vanna sambil tergelak pelan.
"Ih! Cepetan jawab!" Sahut Nadya tak sabar. Ia mengacungkan jempolnya, setuju untuk pertanyaan Lena kali ini.
"Mm... gak gimana-gimana juga sih. Seneng sih iya. Kan lo pada tau gue, ekhm, suka dia dari awal. Yah, pokoknya gitu deh." Jelas Vanna tersenyum sambil memainkan jarinya sendiri.
Nadya tersenyum menggoda, sedangkan Lena berdeham beberapa kali menahan untuk tak menggoda Vanna sekarang.
"PJ ya! Jangan lupa. Es campurnya mbak Wati keknya lumayan." Racau Nadya sambil tersenyum lebar.
Entah bagaimana, perasaan Nadya dan Lena terasa bahagia seperti Vanna sekarang. Susah dideskripsikan perasaan mereka itu. Tetapi yang hanya bisa dijelaskan, mereka senang melihat sahabatnya yang sedang berbahagia.
"Minta gih ke Raffanya." Kata Vanna sambil menggeleng pelan.
"Ih, kita mah gak berani. Biar pacaranya aja yang ngomong langsung ke Kak Raffa-nya. Gimana?" Celetuk Lena dan langsung bertos ria bersama Nadya. Nadya mengangguk-anggukan kepalanya setuju.
Vanna merenggut melihat itu. "Tadi yang nganterin lo siapa tuh Nad?" Kata Vanna mengalihkan pembicaraan.
Nadya melotot kecil mendengar itu. Sudah sangat jelas jika Vanna ingin mengalihkan pembicaraannya. "Bukan siapa-siapa!"
"Hah? Emang siapa Van?" Tanya Lena antusias.
Vann menyeringai kearah Nadya yang kini cemberut lalu berdeham. "Gini, tadi tuh gue liat Nadya digonceng cowok pake motor! Gila ya, kalo diliat-liat kayak kenal gitu sama si cowoknya."
"Apa sih!" Sahut Nadya kesal.
Lena menaikkan satu alisnya lalu menatap Nadya penasaran. "Siapa Nad? Jahat ih gak cerita-cerita!"
"Lena, jangan terpengaruh sama bisikan iblis. Trust me, okay?" Pinta Nadya sambil menatap Lena memelas. Ia melirik kesal kearah Vanna yang kini tertawa puas.
Menggeleng pelan, Lena memegang kedua pundak Nadya yang kini posisinya berhadapan dengan dirinya. "Nadya, jujurlah pada kami sekarang. Kami bukan algojo yang akan memberimu hukuman kalo lo jujur. Bohong itu gak baik."
Vanna mengangguk-ngangguk membetulkan, membuat Nadya menghela napas pasrah. Jika sudah berurusan dengan Lena, sangat sulit untuk menyangkal dan mengalihkan pembicaraan kecuali pembicaraan itu lebih menarik.
"Perasaan tadi kita lagi ngomongin hubungannya Vanna sama Kak Raffa deh." Gumamnya.