Hari minggu. Gadis itu bergerak risih dalam tidurnya. Mendengar keributan dari tetangga sebelah yang sejak tadi sangat berisik. Bayangkan saja, dipagi-pagi buta, tetangganya itu sudah menyetel musik rock dengan volume tinggi hingga suaranya terdengar jelas hingga kerumah Vanna. Gadis itu menutup telingannya menggunakan bantal sambil mengeluarkan semua sumpah serapah yang ditujukan untuk biang keributan itu.
Tak mau terus-terusan waktu tidurnya diganggu karena keberisikan itu, Vanna memutuskan untuk pergi ke sana. Setahunya, tetangga sebelahnya ini adalah sepasang suami istri yang sudah lansia. Biasanya Vanna memanggil mereka Nek Ani dan Kek Jali. Sebuah pertanyaan muncul dibenaknya, sejak kapan Nek Ani dan Kek Jali mempunyai hobi mendengarkan lagu rock? Yang ia ketahui, Nek Ani san Kek Jali adalah pencinta kedamaian. Jadi itu semua mustahil.
Masih dengan wajahnya yang kusut karena baru bangun, Vanna mengetuk pintu rumah Nek Ani dengan sedikit kesal. Gadis itu menunggu beberapa menit tapi tak ada tanda-tanda akan dibukanya pintu itu. Dengan perasaan campur aduk, Vanna mengetuk tanpa jeda, ia tak akan berhenti sampai sang pemilik rumah keluar.
Tok tok tok tok tok tok tok tok tok tok-
"Hey!" Vanna tersadar dari lamunannya dan menatap seorang laki-lagi yang sedang mengelus wajahnya sambil menaikkan satu alisnya.
"Lo siapa?" Vanna memicingkan matanya. Ia tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Apa jangan-jangan pembunuh berantai yang masuk ke rumah Nek Ani dan sekarang pasangan itu disekap dibawah tanah? Dan pemuda ini yang mengambil alih rumah ini dan seenak jidatnya membuat keributan disekitar komplek rumah mereka. Vanna menggeleng pelan, pikirannya sudah melayang sangat jauh.
Pemuda itu menurunkan tangannya yang digunakan untuk mengelus wajahnya yang sakit karena Vanna terus mengetuk pintu, padahal pemuda itu sudah membuka pintu, alhasil tangan Vanna mengenai wajahnya. "Seharusnya gue yang nanya. Ada gerangan apa lo dateng kesini?"
"Hah?" Gumam Vanna karena tak mendengar suara pemuda didepannya. Suara detuman dari dalam rumah itu masih terdengar jelas. Bahkan sangat jelas.
Pemuda itu berdecak kesal, "Gue nanya, buat apa lo dateng kesini!" Teriak pemuda itu tapi tetap tak terdengar ditelinga Vanna.
"Lo ngomong apa sih!" Geram Vanna yang masih menatap pemuda itu kesal.
Lagi-lagi pemuda itu berdecak, "Tunggu disini." Pemuda itu masuk kedalam rumah. Vanna mengerutkan keningnya karena masih tak mendengarkan apa yang pemuda itu katakan. Beberapa menit kemudian suara musik tak terdengar lagi, dan laki-laki itu kembali menemui gadis aneh menurutnya yang berada diambang pintu.
"Kenapa lo kesini?" Ulang laki-laki itu. Vanna bersedekap d**a. Menatap pemuda didepannya jengkel sekaligus jutek. "Lo tau ini jam berapa?"
Pemuda itu terkekeh, "Jam 5 pagi. Kenapa? Dirumah lo gak ada jam?" Pertanyaan terakhir itu membuat Vanna melotot.
"Lo tau sekarang masih jam 5, dan lo bisa-bisanya mutar lagu yang gak jelas gitu, hah? Lo pikir lo sendiri yang tinggal di wilayah ini apa? Ganggu tidur orang aja. Dasar gak punya kerjaan!" Cerca Vanna kesal, tak tahan dengan laki-laki yang dengan tampang masa bodohnya yang menatap Vanna sedari tadi.
Sekarang pemuda itu juga ikut bersedekap d**a dan menatap Vanna malas, "Lo bilang lagu rock itu gak jelas? Itu band kesayangan gue, dan gue gak terima band kesayangan gue dijelekkan. Dan gue kurang kerjaan? Terus lo apa? Emang tidur itu pekerjaan ya. Kok gue baru tahu? Seharusnya cewek tuh udah bangun dan mulai bersih-bersih rumah, bukan malahan jam gini masih tidur. Dasar cewek pemalas." Cerca laki-laki itu balik, tak terima.
Vanna menggepalkan tangannya kesal dengan cowok menyebalkan yang ada didepannya ini. Jika dibandingkan dengan Raffa, laki-laki ini jauh lebih menyebalkan yang pernah ditemuinya. "Denger ya mas. Gue gak mau cari masalah. Dan, kalo mau denger lagu dengan volume seperti itu, lebih baik lo pergi ketengah hutan dan terserah deh mau buat apa." Katanya dengan menekankan kata 'mas'.
Pemuda itu menaikan satu alisnya, "Mas? What the hell. Gue dipanggil mas? Plis deh. Dunia mau kiamat ya." Jawab pemuda itu.
Dahi Vanna mengerutkan dahinya samar. Tatapan aneh ditujukan pada laki-laki didepannya ini. Cowok kok alay gini sih? Batin Vanna sambil bergidik.
"Ya, ya, ya, terserah. Sekali lagi lo buat keributan, lo berhadapan sama gue." Kata Vanna sambil menekankan kata terakhirnya.
Pemuda itu menaikan satu alisnya dengan senyuman meremehkan, "Uh takut."
Vanna memutar bola matanya malas lalu pergi dari rumah itu. Sesampainya dirumah, Vanna menghentak-hentakan kakinya kesal. "Nyebelin banget sih!"
°°°
"Nat. Kok lo dari tadi cemberut mulu sih?" Tanya Raffa sambil menatap Vanna yang sedang mengemil sambil menonton doraemon yang ditayangkan di televisi.
Vanna melirik lalu menggeleng pelan, "Gak kok. Gak papa."
"Apa karena cowok yang lo cerita itu?"
"Mungkin."
"Lo mau gue apain dia? Kalo lo mau dia mati, gue bisa kok bunuh dia sekarang."
Vanna melebarkan matanya, "Eh lo gila Raf? Gak ah. Gak papa kok. Tuh nonton aja doraemonnya."
Jangan heran dengan ucapan mereka yang sekarang masih menggunakan lo-gue. Menurut Vanna akan terasa aneh jika mereka saling memanggil aku-kamu.
Sejak mereka pacaran dua hari lalu, Raffa lebih care dari sebelumnya. Lebih manja, dan cepat cemburu.
Mereka sekarang lagi menikmati minggu sore dirumah Vanna, sedangkan Dila bersama Vino sedang berada dibelakang rumah. Sudah jelas Raffa mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya. Bukankah dari awal Raffa memang sudah akrab dengan orang tua Vanna? Akan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Dila mendengar jika Raffa dan Vanna sudah resmi berpacaran.
Ting tong
Raffa berdecak kesal karena ada yang menekan bel rumah Vanna. Sangat mengganggu.
Vanna berjalan kearah pintu dan membukanya perlahan. Terlihat sesosok orang yang sedang berdiri didepan pintu sambil memegang sebuah toples.
"LO!"
"Eh? Ketemu lagi. Kagen gue gak?"
"Siapa Nat?" Raffa tiba-tiba muncul membuat pemuda didepan Vanna melebarkan matanya.
"Lo bawa cowok kerumah lo? Wah gak bisa dibiarin nih. Gue mau lapor tante Dila."
Gadis itu berdecak sebal, "Sehari aja. Gak bisa apa buat gue tenang dikit. Mau lapor? Silahkan." Ketus Vanna.
Raffa menatap pemuda didepannya ini tajam, lalu menarik Vanna kebelakangnya, seperti berniat melindunginya. "Lo siapa?"
"Jawab, Nyet."
Jeno langsung memegang dagunya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue manusia, bukan monyet. Eh Van ada cermin gak?"
Vanna mengintip dibalik punggung Raffa, "Banyak. Emang kenapa?"
"Jangan jawab dia."
Menghiraukan perkataan Raffa, Jeno tersenyum sumringah, "Mau ngasih tau, siapa yang sebenarnya monyet disini."
Rahang Raffa mengeras, tangannya menggepal, "Lo lebih baik pergi dari sini, sebelum kesabaran gue habis." Kata Raffa datar sambil mengontrol emosinya. Ia tak mau rasa emosi menguasainya dan berkelahi didepan kekasihnya ini.
Jeno langsung terkekeh, "Sans bro. Gue emang mau langsung pergi kok. Van, nih dari Nenek..." Jeno memberi kue yang Neneknya buat kepada Vanna tetapi didahului Raffa membuatnya tertawa kecil melihat sikap Raffa itu.
Pemuda itu menatap Vanna yang masih anteng dibelakang Raffa, "Jinakkin gih pacar lo." Katanya sebelum pergi dari perkarangan rumah Vanna.
Raffa yang sedari tadi ingin mengejarnya langsung dicegah Vanna.
"Gausah diladenin."