"Indah,"
Itulah kata yang langsung keluar dari bibir para gadis tersebut. Raffa yang berdiri disamping Vanna tersenyum sambil memandangi pemandangan didepannya. "Turun yuk." Kata Raffa sambil mengulurkan tangannya dan langsung disambut Vanna.
Raffa dan lainnya sengaja tak memberitahu bahwa mereka akan mengajak gadis-gadis itu ke air terjun dipuncak gunung. Dengan semangat, Vanna mengikuti langkah Raffa. "Pelan-pelan. Licin, nanti terpeleset lagi." Vanna mengangguk.
Gadis tersenyum lalu membuka sendal yang sedari tadi dipakainnya ketika sampai. Perlahan, ia memasukan telapak kakinya dan air yang dingin langsung terasa ditelapak kakinya. Raffa yang melihat itu menatapnya bingung "Ngapain buka sendal? Jangan bilang mau renang?"
Vanna menggeleng "Mau masukin telapak kaki aja kok. Sejuk airnya. Len, Nad, sini dong." Lena dan Nadya mendekati Vanna.
"Gila. Keren banget tempatnya. Btw kalian tau dari mana nih tempat?" Tanya Nadya.
Raffa terlihat berpikir. "Em mungkin saat kita camping didekat sini pas SMP." Nadya mengangguk.
Vanna memakai sendalnya kembali lalu berbalik menatap yang lain "Gue kira kalian mau ke puncak terus ngelakuin hal biasa seperti dinovel-novel."
"Pikiran lo novel mulu Nat." Kata Raffa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Terus sekarang kita mau ngapain?" Vanna memperhatikan sekitar yang sepi.
Lena merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel "Foto kuy." Katanya semangat dan langsung diberi anggukan Vanna dan Nadya.
Nadya memberikan ponselnya kepada Dirga. "Fotoin kita bertiga ya?" Katanya sambil menunjukan puppy eyesnya.
"Lo kira gue pembantu lo." Ketus Dirga sambil memasukkan telapak tangannya ke saku celana jeansnya.
Nadya memegang lengan Dirga lalu mengoyang-goyangkannya pelan "Ayolah. Lo bilang hari ini kita damai. Biarin gue senang dikit napa. Ya, ya?" Dirga menghela napas lalu mengangguk pasrah "Ya. Gue foto." Nadya memekik senang dan langsung memberi ponselnya dan mendekati Lena dan Vanna.
Raffa dan Randi mendekati Dirga. "Nasib lo mungkin ini bro." Randi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirga mendengus. "Woy, kita udah siap nih." Teriak Nadya nyaring.
Lagi dan lagi Dirga hanya mendengus lalu memotret gadis-gadis didepannya yang berlatarkan air terjun dengan pose-pose yang mereka buat. Sedangkan Raffa dan Randi? Mereka malah asik duduk dibawah salah satu pohon dekat sana sambil menyaksikan aksi potret-memotret itu.
°°°
"Udah selesai fotonya?" Tanya Raffa ketika melihat Dirga yang berjalan mendekatinya.
"Gue dikira babu apa. Nasib cogan emang yah." Kata Dirga sambil duduk disebelah Raffa.
Vanna, Nadya dan Lena mendekat kearah mereka.
"Bagus gak fotonya?" Tanya Randi.
Nadya mengacukan jempol. "Bagus. Dir, lo cocok jadi photographer."
"Balik yuk. Gue laper." Kata Lena.
"Yuk ah." Sahut Nadya.
"Yaelah, baru juga gue istirahat." Lesu Dirga. Dengan terpaksa, Dirga mengekori mereka semua yang sudah dahulu berjalan.
Vanna dan Raffa memasuki mobil mereka. Sedari tadi, senyuman tak luntur dibibir gadis itu. Entah mood-nya yang bagus atau senang karena diajak ketempat yang indah. Selama ini, Vanna tak pernah yang namanya melihat air terjun secara langsung. Paling sering dilihatnya di internet, tidak lebih dan tidak kurang seperti itu. Sebab itu dirinya sangat senang diajak kesana. Selama perjalanan pun ia tak henti-hentinya mengoceh, menceritakan bagaimana perasaannya ketika melihat air terjun.
Pandangan Raffa terus tertuju pada jalanan dan sesekali menanggapi cerita gadis disebelahnya. Ia senang jika Vanna ceria seperti ini. Mungkinkah ia harus mengajak gadis ini mengunjungi tempat-tempat seperti ini agar mood gadis tersebut selalu baik dan bercerita panjang lebar seperti ini? Vanna sangat menyukai pemandangan yang indah. Seperti ketika ia mengajaknya melihat kota dari ketinggian. Dan sekarang ia telah membawa gadis ini ketempat kedua yang ia tau. Apa mungkin nanti ia juga akan membawa Vanna ketempat ketiga, dimana tempat yang selalu Raffa kunjungi ketika moodnya tak baik dan selalu menjernihkan otaknya disana. Tapi ia kembali berpikir, mungkin lain kali saja. Terlalu cepat dirinya mengajak gadis itu kesana. Bahkan mantan pacaranya a.k.a Karina saja ia tak pernah memperlihatkan tempat itu.
"Lo seneng?" Tanya Raffa tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
Vanna mengangguk semangat. "Pake banget malah. Mungkin gue harus kepulau Jeju deh."
Raffa mengernyit bingung "Kenapa?"
"Disana bagus banget!" Seru Vanna semangat.
"Emangnya lo pengen kemana aja Nat?"
"Em. Pertama gue pengen ke Namsan tower, terus kepulau Jeju, terus ke Italia, terus ke Paris, terus—
"Perasaan terus mulu." Potong Raffa lalu melirik Vanna yang hanya cengengesan. "Kita mampir makan dulu. Gue laper." Raffa hanya mengangguk.
°°°
"Lagi 5 bulan kalian udah UN kan? Banyakin belajarnya, jangan bolos mulu." Celoteh Vanna saat sedang menunggu pesanan mereka diantar.
Saat ini, mereka berada disalah satu restoran di Jakarta. Setelah dari puncak, mereka semua berpencar. Raffa dan Vanna memutuskan untuk mengisi perut mereka dulu karena jam menunjukan waktunya makan siang.
Raffa menopang dagunya menggunakan tangan kirinya. "Iya Nata. Bawel banget."
"Sejak kapan nama gue jadi Nata? Ngarang mulu lo mah." Kata Vanna tak terima.
"Habisnya kalo manggil Natasya kepanjangan. Tapi hanya gue yang boleh manggil lo gitu."
Vanna menatap Raffa jijik "Gak ah. Apanya yang panjang. Natasya N-A-T-A-S-Y-A" Kata Vanna sambil mengeja namanya "Hanya tujuh uruf." Sambungnya.
Raffa menggeleng-gelengkan kepalanya "Gue lebih suka panggil Nata. Lucu." Raffa greget sendiri.
"Manggil Vanna aja."
"Gak. Gue kan orang yang paling spesial, jadi manggil lo beda."
"Ya kali." Kata Vanna sambil memutar bola matanya malas.
"Permisi mas, mbak. Ini pesanannya. Selamat menikmati." Seorang pelayan mengantarkan makanan mereka. Setelah pelayan itu pergi, Vanna dan Raffa langsung menyantap makanan mereka.
Sekarang, Raffa dan Vanna tengah terjebak dalam kemacetan. Yang namanya kota Jakarta pasti tak pernah terlepas dari yang namanya kemacetan. Dan didalam mobil, mereka tak henti-hentinya berbicara. Entah pembicaraan mereka yang banyak, atau memang karena pembicaraannya yang menarik.
"Nata sayang."
"Gak bosen-bosen manggil gue mulu."
"Napa emang? Mulut mulut gue kok."
"Serah deh." Pasrah Vanna.
Raffa tersenyum "Nat. Gak bosen apa?"
"Bosan lah. Ya kali gue gak bosan udah dua jam disini." Ucap Vanna. Raffa mengangguk-anggukan kepalanya.
"Main TOD yuk." Vanna menaikan satu alisnya. "Beneran mau main? Ntar kalo gue milih truth lo nanya macem-macem lagi."
"Gak akan kok. Suer." Raffa membentuk kedua jarinya berbentuk V.
"Oke oke. Mulai dari siapa?"
"Lo aja. Oke Nata. Milih truth or dare?"
Vanna berpikir. "Dare ajalah." Raffa mengangguk-anggukan kepalanya. "Sekarang, coba telepon Randi, terus bilang kedia gini ekhem 'Randi anaknya pak Anton, yang sering mangkal dipasar, aku benci kamu'. Gimana?"
"Gue gak punya nomor Randi."
"Nelpon pake ponsel gue aja. Gak rela nanti dia punya nomor lo." Raffa memberi ponselnya.
Vanna hanya memutar bola matanya dan menerima ponsel dari Raffa. Ia mencari kontaknya Randi lalu menghubunginya.
Tut tut tu-
"Randi anaknya pak Anton yang sering mangkal dipasar, aku benci kamu." Kata Vanna dan langsung memutuskan panggilan tersebut.
"Puas." Ucap Vanna dan langsung mengembalikan kembali ponsel tersebut kepada pemiliknya.
"Sekarang lo. Truth or dare?" Tanya Vanna
"Karna gue cowok yang gentle, gue milih truth."
"Dikira milih dare kek. Gentle dari mana? Jembatan ancol?"
"Cepetan." Kata Raffa tak sabaran.
"Oke gini. Kalo misalnya lo, Randi dan Dirga diisap lumpur idup. Lo milih mau nyelamatin siapa?"
"Diri gue sendiri dong tentunya. Ya kali gue juga diisap lumpur idup gue nyelamatin mereka. Yang ada nanti gue yang mati." Kata pemuda itu sambil menyisir rambutnya kebelakang.
"Ck, dasar gak setia kawan."
"Gue setia kawan ya. Gue kan nanti nyelamatin diri gue dulu, terus gue panggil bantuan buat nyelamatin mereka. Amankan?"
"Pas lo dateng mereka udah ngilang didalem lumpur."
"Gak papa. Yang penting gue selamet."
"Pentingin diri lo sendiri rupanya."
"Ya iyalah."
Dan pembicaraan tak jelas mereka berlanjut sampai terbebas dari kemacetan tersebut.