15

2205 Kata
Semilir angin pagi hari ini membuat gadis itu merapatkan jaketnya. Hari jumat. Gadis itu melangkahkan kaki jenjangnya memasuki kelas yang masih kosong. Dengan cepat, ia menyimpan tasnya lalu segera melesat menuju gudang sekolah yang berarti ia harus melewati lapangan basket yang luas. Dalam perjalanan menuju gudang sekolah, mulutnya tak henti-hentinya merutuki nasibnya saat ini. Mungkin hari jumat akan ia masukan kedalam black list miliknya. Setelah berdebat hingga beberapa jam lamanya semalam dengan Raffa lewat telepon, akhirnya Vanna bisa pergi ke sekolah sangat pagi seperti saat ini dan tentunya tak bersama dengan pemuda itu. Entahlah, ia hanya ingin pergi ke sekolah sendirian. Setelah mengambil alat-alat yang ia butuhkan untuk membersihkan kelas, gadis itu harus melewati lapangan basket lagi. Kakinya seperti ingin patah saat ini, belum lagi ia membawa alat kebersihan yang lumayan banyak dan berjalan sejauh ini, ditambah lagi ia harus menaiki tangga menuju kelasnya. Sempurna sudah penderitaannya. Saat melewati lapangan basket, matanya menangkap seseorang yang sedang asyik bermain bola basket sendiri. Langkahnya terhenti, matanya masih tertuju kepada laki-laki tersebut. Tetapi mengingat pekerjaan yang harus ia lakukan, kakinya kembali melangkah. Saat berhenti sejenak untuk merapikan anakkan rambut yang agak berantakan, sebuah bola perlahan memantul pelan dan berhenti tepat di bawah sepatunya. Vanna merunduk untuk mengambil bola basket itu dan mengedarkan pandangannya. Pandangannya terkunci pasa laki-laki yang berada dilapangan basket itu berlari kecil kearahnya. Senyuman langsung terukir dibibir laki-laki itu saat berhenti didepan Vanna. "Maaf. Lo ga papa?" Ni orang tanyain gue gak papa? Emang gue kenapa? Batin Vanna bersuara. Dengan senyuman tipis, Vanna memberikan bola yang sedari tadi dipegangnya. "Sans. Ga papa kok. Nih bolanya." Cowok itu mengambil bola tersebut "Oke. Thanks." Vanna mengangguk singkat lalu mengambil alat-alat pembersih yang tergeletak di tanah. "Deluan." "See you." Ucap cowok itu pelan, tapi tetap bisa didengar oleh Vanna. °°° "Oi Van! Ngelamun apaan lo?" Tanya Lena saat mereka masih menunggu pesanan di kantin sekolah. Vanna menatap Lena lesu "Gue capek, tau ga tadi pagi gue dateng, kelas kek baru kena angin topan aja. Berantakan abis!" Rengeknya lalu membaringkan kepalanya dimeja kantin. Matanya terpejam, tetapi sesuatu yang dingin menyentuh pipinya membuat Vanna harus membuka mata lagi dan melirik keatas, Raffa sedang menempelkan minuman soda kaleng yang dingin dipipinya. Ia mengangkat kepalanya dan menjauhkan minuman dingin itu. Raffa duduk disebelah Vanna sambil membuka minuman yang berada ditangannya "Muka lo kenapa dah." "Belum disetrika." Jawab Vanna seadanya. Pemuda itu terkekeh lalu menyubit pipi Vanna gemas "Masih muda muka jangan dikusut-kusutin gitu Nat. Ga sedap diliat." "Dikira makanan." Gerutu Vanna sambil memegang pipinya bekas cubitan Raffa. "Horai! Makanan datang." Nadya duduk disamping Lena sambil menaruh satu mangkuk bakso didepan Vanna. "Gue pergi dulu. Makan yang banyak." Raffa menarik pelan rambut belakang Vanna membuat cewek itu hampir terjungkal kebelakang karena kaget, dan langsung melirik sinis Raffa yang sudah kabur sambil memegang belakang kepalanya. Lena dan Nadya tersenyum menggoda kearah Vanna. "Ciahh yang tambah romantis." Kata Nadya. "Yang mau romantis-romantisan tolong dikondisikan karena ada jones disini." Ucap Lena. Mendengar itu, reflek membuat Vanna mendelik. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan lalu menatap kedua sahabatnya itu heran, "Emang kek gitu romantis?" "Yap. Antimainstream aja ya narik rambut gitu. Biasanya 'kan cowok pada umumnya usep-usep manjah rambut ceweknya. Ato enggak ya ngacak rambut. Lah ini? Malah ditarik!" Jelas Nadya sedikit melebih-lebihkan sambil mengangguk-anggukan kepala membenarkan ucapannya sendiri lalu terkikik kemudian. Cewek itu langsung menoleh kearah Lena sambil mengangkat dagu. "Siapa yang jones?" Tanya Nadya kembali membahas. "Ya disini selain Vanna siapa lagi yang punya pacar kalo bukan kita berdua." Balas Lena sedikit nyolot. "Sori to say, gue udah ada. Thanks!" Nadya tersenyum sinis sambil menaikan satu alisnya. Senyuman Lena melebar. "Maksud lo kak Dirga ye 'kan? Ci e lah" Godanya "Cie..," timpal Vanna menanggapi karena tak tau mau berkata apa. Air muka Nadya langsung berubah keruh. "Makan makan. Nanti baksonya dingin!" Vanna dan Lena tertawa kecil lalu memakan makanannya. °°° "Jadi sepupu lo mau birthday gitu?" "Hn. Makanya gue minta lo nemenin gue nyari kado." Jelas Raffa. Sekarang, mereka terjebak dilampu merah. Raffa menjelaskan jika ia akan mampir ke-mall dulu untuk membeli kado buat sepupunya yang akan berulang tahun. Karena ia tak bisa memilih kado yang tepat, pemuda itu memutuskan mengajak Vanna ikut memilih kado. Kebetulan jika sepupunya itu cewek, jadi mungkin mudah saja menemukan kado. "Ooh. Oke." Setelah lampu berubah hijau, Raffa melajukan mobilnya menuju mall terdekat dan memarkirkan mobilnya di parkiran. Mereka berjalan memasuki kawasan mall yang ramai. "Gue beri aja pakaian. Biasanya kan cewek suka kek gituan." Gumam Raffa. "Kalo gue sih, pakaian udah biasa. Gimana kalo lo beliin aja kalung? Atau cincin gitu?" Raffa terlihat berpikir. Tak mau membuang waktu, Raffa langsung menarik Vanna untuk pergi ke bagian aksesoris. Gadis itu sekarang tengah menimbang-nimbang. Didepannya sekarang, Raffa sedang mengajukan dua kalung yang bisa dikata sangat indah. Satu kalungnya berbentuk bintang, dan satu kalungnya berbentuk bunga. Jangan lupakan jikalau liontin kalung-kalung tersebut terbuat dari berlian sungguhan. Ya kali seorang Raffa Farellino membeli barang imitasi. Jari lentik Vanna tertuju pada kalung yang berbentuk bintang. "Ini. Cantik." Raffa mengangguk lalu memanggil seorang pelayan. "Saya pesan ini." Vanna menatap Raffa bingung. Ia tadi memilih yang berbentuk bintang, tapi Raffa memesan yang berbentuk bunga. Aneh. Tapi ia tetap menutup mulut. Raffa yang membeli, jadi Raffa juga yang berhak memutuskannya. Mereka kembali masuk kedalam mobil pemuda itu. Raffa bernapas lega lalu menyengir kearah Vanna "Thanks udah mau bantu milih kado. By the way, bentar nemanin gue keacara ulang tahun dia. Oke?" "Gak ah. Nanti gue dikacangin kalo disana." Kata Vanna sambil memasang seatbelt. "Tau dari mana lo? Malah kalo gue kesana sendiri, gue ga punya temen." Ucap Raffa sedikit memelas. Vanna menghela napas lalu mengangguk "hn." "Good. Gue jemput jam tujuh." Kata Raffa lalu menyalakan mobilnya dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan kawasan mall menuju rumah Vanna. °°° Vanna menatap hotel bintang lima dihadapannya lalu menunduk untuk melihat pakaian yang ia kenakan. "Gue jadi ga mau masuk deh." Kata Vanna pelan. Raffa yang mendengar itu menoleh lalu menaikan satu alisnya "Hm? Kenapa? Lo cantik kok." "Masa gue masuk dengan pakaian kek gini..." Vanna merentangkan tangannya "Nanti dikira gue orang gembel yang nyasar lagi." Ia datang dengan memakai dress hitam selutut. Pakaiannya ini bisa dibilang tertutup. Berbeda dengan tamu lainnya yang datang dengan dress yang pendeknya 10 centi diatas lutut, punggung yang terbuka, dengan belahan d**a yang terekspos. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Menurutnya gadis didepannya ini sangat cantik dan sederhana. Dengan make up yang terlihat natural dan rambut panjang lurus yang digerai itu membuatnya semakin terlihat cantik. Raffa menaruh kedua tangannya dipundak Vanna lalu meyakinkan diri gadis tersebut "Kita dateng kesini hanya untuk mengucapkan mat ultah. Dan gue ngerasa lo cantik banget. Gue pastiin, didalem sana, lo yang paling sempurna." Kini, Vanna tersipu mendengarkan perkataan Raffa. Apa Raffa mengatakan ini dengan jujur? Atau hanya untuk menghiburnya semata? Oh lord, jantung Vanna kembali berdetak kencang. Vanna meyakinkan dirinya sendiri lalu mengangguk. Melihat itu Raffa tersenyum lalu menggenggam tangan gadis itu "Ayo. Masuk." Vanna mengeratkan genggamannya dengan Raffa ketika memasuki ruangan tempat dimana perayaan ulang tahun sepupu Raffa diselenggarakan yang sudah diisi dengan banyak tamu, ditambah lagi tamu-tamu perempuan menatapnya, membuatnya risih. Raffa yang merasakan gadis disebelahnya kembali gugup berbisik, "Gak perlu khawatir. Mereka ga bakal nelen lo idup-idup." Senyuman tipis terukir di bibir Vanna saat mendengarkan perkataan Raffa membuatnya agak lebih rileks. Raffa menuntun Vanna untuk berjalan menuju seseorang yang sedang berbicara dengan orang lain. Seorang perempuan yang memakai mini dress putih, dengan high heels hitam dengan rambut panjang bergelombang yang digerai. Sangat terlihat perfect. "Nes." Yang dipanggil Nes pun berbalik dan langsung tersenyum lebar ketika melihat siapa yang memanggilnya. "Sepupu tampan gue! Lo dateng!?" Pekiknya senang. Raffa tersenyum kikuk. "Jangan bikin malu diri lo di acara ulang tahun lo Vanessa Chintia." Kata Raffa pelan. "Gak nyangka gue lo mau dateng. Btw ... lo bawa pacar lo?" Vanessa melirik kearah Vanna lalu mengembangkan senyuman manisnya saat pandangan keduanya bertemu. Pemuda itu mengangguk lalu mengenalkan mereka berdua. "Nat, ini Vanessa. Vanessa ini Vanna. Dan Nata ini teman gue, bukan pacar gue." Senyuman Vanna luntur mendengar perkataan terakhir Raffa. Dengan senyuman paksa Vanna mengulurkan tangannya membalas uluran tangan Vanessa "Vanna." Vanessa tersenyum. "Vanessa. Nama kita hampir sama yah? Ada unsur Van-nya" Vanna hanya mengangguk setuju. "Tapi kok Raffa manggil lo tadi Nata?" "Gak tau tuh si Raffa." "Btw Happy birthday Nes. Jangan galak-galak sama gua, terus jadi cewek jangan jorok lagi, biar gue ga risih deket lu." Vanessa memeluk Raffa "Thanks Raf. Doa yang sangat berfaedah. Gue aminin." ucap gadis itu dan langsung melepaskan pelukan tersebut. "Nah. Lo berdua kan dah deket, gue mau ambil minum dulu." Raffa beranjak pergi meninggalkan kedua gadis itu. "Gue seneng akhirnya Raffa mau mulai coba deket sama cewek lagi." Vanna menatap Vanessa bingung "Maksud lo?" Vanessa menghela napas "Sejak dia putus dengan paㅡ lo udah tau masalah Raffa?" "Dikit." Vanessa mengangguk "Sejak dia putus dari pacarnya Karina, kita semua gak pernah ngeliat dia dekat dengan cewek lagi. Mungkin ini hal sepele, tapi kita semua merasakan seperti ada awan hitam yang menyelimutinya, walaupun dia nutupi dengan muka sok gak ada apa-apanya. Sori. Gue malah curhat." Vanna menggeleng pelan. "Gak papa kok. Btw selamat ulang tahun ya. Ini kado dari gue, walaupun gak mahal si." Vanessa menerimanya dengan senang hati "Wah thanks udah repot-repot bawain gue kado. Tanpa kado juga gak papa kok, lo udah mau dateng aja gue udah seneng." Vanna hanya membalasnya dengan senyuman. "Lo cantik, sederhana, baik lagi. Pantesan Raffa suka. Gue doain kalian berdua cepet taken deh." "B aja sih. Kayak kata Raffa tadi. Kita hanya sebatas teman kok." Ucap Vanna meyakinkan. Vanessa tersenyum penuh arti "Gue tau kok isi hati lo. Gak usah dipaksain nanti lo yang sakit. Gue tinggalin bentar ya, mau nyamperin teman gue dulu. Nanti kita ngobrol lagi, bye." Vanna membalas senyum Vanessa. Setelah Vanessa pergi, Vanna memikirkan perkataan Vanessa tadi. Sebegitukah kelihatan bahwa ia menyukai Raffa? Apa Raffa juga tau kalo dirinya menyukainnya? Dan oh! Itu toh nama mantan pacar Raffa. Karina. Lamunannya berhenti ketika Raffa sudah berada disampingnnya. "Vanessa udah pergi?" Tanyanya. "Hm." "Gue rasa kita harus balik deh sekarang. Udah jam sembilan, gue janji sama nyokap lo, lo harus pulang sebelum jam sepuluh." Vanna hanya mengangguk. Didalam mobil, mereka sama-sama terdiam. Tidak ada yang membuka obrolan sama sekali. Raffa yang merasa Vanna mulai aneh sejak pesta tadi mulai bertanya. " Kenapa lo diem dah. Ada yang salah?" "Raf." "Hm?" "Lo itu tipe cowok yang peka atau enggak?" Tanya Vanna tiba-tiba. "Tergantung. Peka apa dulu nih? Gue paling peka sih sama hawa-hawa para setan kek Randi Dirga...," Dan juga peka sama perasaan lo. Sambung Raffa dalam hati. "Kenapa?" "Nggak. Nggak jadi." "Kalo lo ngantuk, tidur gih. Nanti kalo udah sampe gue bangunin." Vanna memilih melihat keluar jendela. Menatapnya kosong. Sesampainya dirumah, Vanna keluar dari mobil Raffa setelah berkata terima kasih. Raffa kembali melajukan mobilnya ketika melihat Vanna sudah masuk kedalam rumahnya. Didalam hatinya, ia merutuki dirinya sendiri yang merasa plin-plan. Ia sayang dengan Vanna, tapi ia tak mungkin membiarkan gadis itu nanti terluka. Raffa memilih menghentikan mobilnya dipinggir jalan lalu memukul stir mobil. Kepalanya ia tenggelamkan kekedua tangannya yang masih terlipat di stir. Apakah sesulit ini mencintai dua orang sekaligus? Ya, Raffa masih menyimpan rasa kepada Karina. Ia tak dapat melepaskan kenangan masa lalu yang diukir dirinya dengan Karina dulu. Benar. Karina adalah cinta pertamanya. Cinta pertama memang memiliki efek yang sangat besar bagi sebagian orang. Dan Raffa pun termasuk dari sebagian orang-orang itu. Apa sekarang takdir sedang bermain dengan dirinya? Mengapa sesulit ini? Jika ia bisa memilih, ia ingin menghapus perasaannya ini kepada Karina. Tapi hatinya seperti ada gejolak yang tak menerima perkataan itu. Seperti tak terima jika rasa kepada Karina menghilang. Sebenarnya maunya apa sih? Kenapa hanya menentukan ini saja sangat sulit? Ia ingin menjauhi Vanna, tapi ia sudah terlanjut nyaman dan sayang kepada Vanna. Bukan, bukan karena apa ia ingin menjauhi gadis itu, tapi ia hanya tak ingin menyakiti hati gadis itu. Sekarang ia harus apa? Tetap disamping Vanna dan memberi harapan palsu kepada gadis itu? Mungkin ia harus sering bersama Vanna. Agar hatinya sepenuhnya milik gadis itu, dan jika sudah seperti itu, ia akan membuat Vanna menjadi miliknya. Mungkin ini keputusan terbaik saat ini. Memilih melepaskan kenangannya masa lalunya dan berjalan kedepan. Tidak ada lagi yang namanya masa lalu. Yang ada masa depan. Karena, masa lalu hanya seperti angin yang lewat. Dan sekarang masa depan yang harus dikejar. Ya. Keputusannya ini sudah bulat. Ia akan membuat hatinya ini seutuhnya milik Vanna. Dan tidak ada yang bisa menggangu atau merusak keputusannya yang ia buat. Ia tidak akan membuat gadis itu menunggu terlalu lama. Senyuman tipis terukir dibibirnya, ia menginjak pedal gas lalu melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Didalam dirinya ada sedikit kelegaan. Wajah Vanna terus berada dipikirannya, membuatnya kembali semangat. Sungguh, mungkin Vanna sungguh sumber semangatnya. Ia tak boleh menyia-nyiakan ini. Kesempatan tak akan datang dua kali. Dan sebentar lagi, hatinya akan dipenuhi dengan cinta milik Vanna. Gadis polos itu mampu membuatnya tersenyum-senyum sendiri seperti ini. Ia tak sabar ingin melihat gadis itu besok. Setelah sampai dirumahnya, ia memarkirkan mobilnya digarasi lalu memasuki rumah yang sejak dulu sepi itu dengan senyuman merekah. Tangannya memutar-mutar kunci mobil miliknya dan menaruhnya diatas nakas. Pemuda itu membaringkan dirinya dikasur empuknya dan mulai menutup mata. Berharap cepat besok dan bisa melihat wajah gadis yang mungkin sekarang sudah pulas tidur dikamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN