16

990 Kata
Suka makan. Itu adalah salah satu ciri dari seorang gadis bernama Nadya. Entah perutnya yang terbuat dari karet atau ban, ia bisa menghabiskan nasi uduk dua piring tanpa henti, mungkin jika tidak dihentikan, ia akan menambah terus. Tapi makanan itu tidak berpengaruh kepada tubuh goals miliknya. Sekarang, gadis itu sedang berchat ria bersama sahabatnya. Tetapi satu notif yang masuk membuat matanya melebar. Dirga Atthala : Oi Nadya bergeming. Menatap obrolan yang hanya diisi dengan satu pesan itu. Ia bingung, kesambet apa pemuda itu sampai-sampai selarut ini menchat nya. "Balas atau nggak ya?" Gumamnya. "Ah bales aja deh. Kasian anak orang." Putusnya. Tangannya mulai mengetik balasan. Nadya Cersya : Hm Dirga Atthala : Bsk gw jmpt lo k sklh "Ngomong apaan sih ni orang? Ck kek kekurangan huruf bat dah." Dumel Nadya. Nadya Cersya : Gak usah repot-repot. Dirga Atthala : Gw ngantuk. Bsk gw jmpt. Bye. Nadya Cersya : Gak perlu. Nadya Cersya : Woy Sekitar dua puluh menitan, pesannya tak di read. Dengan kesal Nadya membanting ponselnya keranjang dan berbaring disana. Gadis itu menatap langit kamarnya dengan tatapan kosong "Beneran gak ya dia kesini?" Dengan frustasi, ia mengacak rambutnya. "Bodo lah. Gelap." Nadya menutup matanya dan tak terasa ia sudah mengunjungi alam mimpi. °°° "Nad." "Nadya." "Astaga, dasar kebo ya ni anak. NADYA!" Nadya menutup kedua telinganya menggunakan bantal "Berisik Ma. Lima menit lagi!" Ucapnya parau. Dengan kesal, Asti menarik selimut yang membungkus badan sang putri "Bangun cepat. Ada cowok ganteng dibawah nyari kamu." Nadya mengucek-ngucek matanya yang masih berat lalu menatap sang mama tercinta malas "Mama ngelindur ya? Nadya lagi enak-enak mimpiin Sehun diganggu." "Kamu tuh yang ngelindur. Otaknya ke oppa-oppa Korea terus. Gimana mau dapet pacar coba. Cepet mandi, gebetan kamu lagi nunggu dibawah." Ucap Asti seraya keluar dari kamar Nadya. Gadis itu berdecak kesal dan menguap. Dengan malas, ia berjalan menuju kamar mandi. Cukup 20 menit ia gunakan untuk persiapan. Dengan lesu, Nadya menenteng tasnya menuruni tangga demi tangga. Matanya menangkap seorang pemuda yang sedang duduk dimeja makan bersama Mama dan Papa-nya. Ia menyipitkan matanya. Pemuda yang duduk membelakanginya sangat tak asing baginya. Dan ia juga menggunakan seragam sekolah yang sama sepertinya. Siapa ya? Pikir Nadya. Dengan cepat, ia berjalan menuju meja makan dan dduk disamping mamanya. "Morning ma, pa dan-" matanya membulat ketika melihat siapa yang sedang duduk manis dimeja makan. "Lo?" "Nadya. Gak baik ada tamu omongannya kasar." Tegur Reza -Papa Nadya-. Nadya mengeluarkan cengiran khasnya lalu duduk dihadapan pemuda itu. Asti memberinya roti yang sudah dilapisi selai kacang dan langsung dimakannya. Matanya terus menatap Dirga yang sibuk memakan makanannya dalam diam. Fira pasti masih molor dikarenakan hari ini sekolahnya libur. Dan sekarang Nadya dan Dirga sudah didalam mobil pemuda itu setelah berpamitan dengan orang tua Nadya. Didalam mobil, tak ada satupun obrolan yang mereka bicarakan. Lagi pula Nadya tak berminat untuk berbicara dengan Dirga. Dan sejak kapan pemuda disampingnya ini mau memberikan tumpangan padanya? Hm. Mencurigakan. Sesampainya disekolah, Nadya langsung keluar dari mobil Dirga dan tentunya setelah berkata terima kasih. Vanna dan Raffa yang kebetulan saja baru datang saat itu memandangi mereka aneh. "Sejak kapan mereka pergi sekolah bareng?" Celetuk Vanna yang masih memandangi kedua pasangan itu. "Gue juga ga tau. Bodo amatlah sama mereka. Yuk ke kelas." Raffa menggandeng Vanna seakan gadis itu miliknya. Vanna hanya mengikuti Raffa walaupun kondisinya sedang susah. Susah untuk mengontrol detak jantung yang tak karuan. Langkah Raffa terhenti. Melihat itu Vanna juga ikut berhenti. Gadis itu memandangi Raffa dengan heran. Raffa menoleh sebentar "Lo kuat larikan?" "Hah?" Raffa langsung menarik tangan Vanna kembali untuk berlari menuju belakang sekolah. "RAFFA FARELLINO! JANGAN KABUR KAMU!" Vanna yang masih bingung hanya ikut berlari, berusaha menyeimbangkan larinya dengan lari Raffa yang cepat. Raffa melihat sekeliling lalu menarik Vanna bersembunyi disemak-semak dekat taman sekolah. Gadis itu mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal karena berlari tadi. "Kenapa kita lari Raf?" Bisik Vanna. Raffa mengintip dan tidak melihat siapa pun disini. Ia menarik Vanna untuk duduk disalah satu kursi taman. "Biasa. Dikejar fans." Ucap Raffa sambil merapikan rambutnya menggunakan tangannya. Melihat itu, Vanna mengacak kembali rambut pemuda itu "Lo lebih keren kalo rambut lo berantakan. Gue suka." Ups. Sepertinya Vanna keceplosan. Pemuda itu menatap Vanna dengan tatapan yang sulit diartikan "Emang gue keren. Lo baru nyadar?" Vanna bernapas lega. Ia mengira jika Raffa akan mengintrogasinya dengan berbagai pertanyaan yang hanya akan membuatnya tersudutkan. "Ralat tadi." Ucap Vanna asal. Sebenarnya Raffa tau tadi Vanna gugup. Maka dari itu ia tak melayangkan pertanyaan-pertanyaan konyol miliknya. Walaupun mulutnya gatal ingin menggoda gadis itu. Sudah ia bilangkan, jika dirinya adalah salah satu dari jutaan cowok dibumi yang peka terhadap perempuan. "Lo masih punya satu penjelasan ke gue. Kenapa kita lari tadi?" "Kemaren Randi ketahuan ngerokok di kantin. Jadi gue dan Dirga yang kena getahnya. Dasar tu orang taunya nyari masalah mulu." Gerutu Raffa. Vanna terkekeh pelan lalu menatap langit. "Hari ini cerah banget." Raffa itu ikut menatap langit "Hm. Cerah kayak hati gue." Vanna menatap pemuda disampingnya sambil tersenyum. "Lo mau bantu gue gak?" Gadis itu langsung mengangguk "Bantu apa?" "Bantu gue ngelupain masa lalu gue." Vanna tercengang. Benarkah Raffa mau move on dari masa lalunya? Berarti ia mempunyai peluang untuk mendapatkan hatinya? "Kalo itu mau lo, gue bantu semampu gue." "Thanks." "Hm." "Kita masuk ke kelas yuk. Udah bel." Raffa mengangguk. Mungkinkah ada kesempatan untuk dirinya mendapati hati Raffa? Hari ini ia sangat senang mendengarkan perkataan pemuda itu. Sangat senang sampai-sampai ia ingin berteriak sekarang juga. Untungnya ia masih mengingat dimana sekarang ia berada. Dikelas dengan guru yang sedang mengajar. Mungkin hari dan tanggal hari ini akan ia tanda sebagai favoritenya. Seandainya lebih cepat seperti ini, mungkin ia tak akan galau berhari-hari seperti kemarin. Sedari tadi, senyuman tak luntur dari bibirnya. Mengingat dan mereplay kata-kata Raffa. Oh, jangan bilang ia semakin menyukai pemuda itu? Ingin rasanya ia memeluk pemuda itu sebagai miliknya. Ah, ia tak sabar dengan hal itu. Kenapa ia mulai menjadi ngelantur seperti ini? Vanna menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai fokus mendengarkan penjelasan guru yang berada didepan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN