Air hujan turun membasahi kota Jakarta. Dan dinginnya udara sekitar tak mampu membuat gadis itu bergeming dari tempatnya. Ia masih menatap kota yang hanya diterangi oleh lampu jalanan, rumah ataupun mobil-mobil yang lalu lalang melalui balkon rumah.
Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Ia hanya menikmati suasana jalanan yang macet dari sana. Sesekali ia menyesap s**u cokelat hangat yang sudah dibuatnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
Percikan air hujan yang jatuh sesekali menyentuh kulitnya. Gadis itu mengambil headset putihnya lalu menyambungkannya ke ponsel berwarna gold itu dan menyumbatkannya ketelinga.
Sesekali ia mengangguk-angguk dan bersenandung mengikuti alunan musik yang berputar disana. Pikirannya mulai menjelajah memikirkan pria yang sekarang menempat didalam hatinya. Ia selalu bertanya dalam hati, apakah Raffa bisa menjadi miliknya suatu saat nanti? Apakah Raffa akan membalas perasaannya ini kelak? Atau saatnya tiba, Raffa akan memilih pergi dari sisinya dan bersama dengan yang lain? Mungkinkah ia sanggup menerimanya walaupun hatinya yang akan berkorban nanti?
Mungkin inilah resiko yang akan ditanggungnya suatu saat nanti. Membiarkan hati Raffa yang akan menentukan. Vanna tak mungkin menyalahkan takdir yang terlambat mempertemukannya dengan Raffa. Mungkin inilah garis takdir yang diperuntukkan untuknya. Dan ia tak pernah menyalahkan masa lalu pemuda itu. Mungkin, jika bukan karena cewek itu tak meninggalkannya, Vanna tak akan bisa dekat dengan Raffa saat ini. Jangan salahkan pemikiran Vanna ini. Tapi ini sesuai dengan realita saat ini. Dimana dirinya dekat dengan Raffa.
Mencoba untuk menyukai seseorang yang bahkan belum bebas dari masa lalunya memang berat, tapi selama kita mencoba perjuangan itu tak akan sia-sia. Pasti suatu saat nanti ia akan mendapatkan kebahagiannya sendiri, takdir tidak akan mempermainkan seseorang seperti itu. Takdir tak sekejam itu. Bahkan semua orang pun tau kalo mereka mempunyai takdir masing-masing. Selagi ia masih mampu bertahan, kenapa tidak?
Walaupun nanti perasaannya yang akan dipermainkan. Ia siap dengan itu. Karena ia yang telah menerima takdir ini. Dan sekarang, tak mungkin ia berjalan mundur. Ia hanya ikut dalam alur takdir ini, sampai dimana ia lelah, disitu ia akan berhenti.
°°°
Seorang gadis baru saja masuk ke mini market untuk membeli keperluannya. Walaupun hujan, tak akan melunturkan keinginannya membeli snack kesukaannya. Kadang semua orang aneh dengan dirinya, suka ngemil pada malam hari katanya akan membuat orang tersebut gemuk. Tapi fakta itu tak mempan kepada gadis ini.
Nadya mengambil beberapa snack yang menjadi favoritenya dan membayarnya kepada kasir.
"Semuanya seharga 78 ribu." Kata penjaga kasir itu sambil tersenyum tipis.
Dengan senyuman, Nadya merogoh kantung jaketnya yang agak basah terkena percikan hujan yang turun. Tetapi, senyumannya pudar digantikan dengan keheranan. Gadis itu sekali lagi merogoh semua saku-nya, tapi nihil. Uangnya tak ada. Padahal ia yakin sudah membawanya. Tak mungkinkan uang yang ia masukan tiba-tiba saja menghilang.
Sekarang masalahnya, apa yang akan ia katakan kepada kasir yang sedari tadi menunggu bayaran? Ia mulai merutuki kecerobohannya ini. Dengan senyuman bersalah, ia berkata "Em maaf mbak. Uang saya ke—"
"Bayarannya satuin aja dengan yang ini." Kata seseorang sambil memberi belanjaannya.
Nadya yang mendengar itu tersenyum. Masih ada juga orang yang baik seperti saat ini. Ia harus berterima kasih pada orang tersebut. Nadya mendongak, "Terima ka—" katanya tergantung ketika melihat siapa yang dengan baiknya mau membayar belanjaan miliknya.
"Lo! Kenapa lo disini?!"
Dirga hanya mengidikkan bahunya acuh.
"Jangan bilang lo nguntit gue."
Pemuda itu mengambil belanjaannya. "Nih tempat bukan cuman lo yang dateng." Ucapnya sinis dan berjalan meninggalkan Nadya yang masih disana dengan mata yang membulat.
Nadya mengambil barangnya. Ia menatap punggung Dirga kesal. Kenapa setiap tempat yang ia kunjungi pasti ada cowok itu? Bukankah itu aneh? Tidak mungkin kan hanya kebetulan.
Tetapi jangan mencurigai Dirga. Ia pun juga heran dengan kehadiran Nadya disini. Yang ia tau ia masuk ke tempat ini dan saat akan membayar belanjaannya ia melihat gadis itu sedang kesusahan.
Dirga berhenti didepan. Hujan belum reda. Ia tak mungkin menerobos hujan. Nadya datang dan berdiri disampingnya. Masih menatapnya kesal. Entah kenapa setiap gadis itu melihat dirinya selalu seperti itu. Memang wanita tidak mudah untuk ditebak.
"Makasih." Ketus Nadya walau sedikit terdengar tulus. Walaupun ia membenci cowok yang berada disampingnya ini, tapi ia tak mungkin ia tidak berterima kasih ketika dibantu.
Pemuda itu melirik gadis disampingnya lalu tersenyum sinis, "Gak usah bilang makasih-makasih segala. Biasanya juga ga tau terima kasih." Katanya lalu langsung menerobos hujan yang sudah sedikit mereda.
Nadya menatap masih kepergiannya. Ketika kata-kata itu sudah mulai dicerna diotak lemotnya, Nady menggepalkan tangannya lalu berteriak kesal. "DASAR COWOK GAK PUNYA HATI!"
Entah kapan mereka akan berbaikan dan tak saling mengejek satu sama lain. Mungkin suatu saat nanti.
°°°
Hanya ada suara detingan garpu dan sendok diruangan ini. Makan dengan suasana sepi seperti ini sudah sangat biasa baginya. Ditambah lagi dengan hujan yang sedari tadi terus mengguyur menambah keheningan rumahnya.
Raffa meletakan sendoknya dan meminum air putih lalu segera bangkit. Matanya menangkap Bi Ijah -pembantu yang sudah bekerja dikeluarganya dari saat ia kecil- sedang membersihkan dapur.
Lantas pemuda itu mendekatinya. "Udah malem. Sekarang waktunya bibi istirahat." Selama bi Ijah ada, ia merasa seperti memiliki keluarga. Kasih sayang yang diberikan bi Ijah mungkin melebihi kasih sayang Mama kandungnya yang bahkan sekarang tak pernah memunculkan batang hidungnya sedetik pun.
Bi Ijah tersenyum, "Lagi sedikit Den. Nanggung kalo ditinggalin."
Raffa mengangguk. "Habis ini langsung tidur bi. Jaga kesehatan, nanti bibi sakit lagi."
"Iya Den."
Pemuda itu meninggalkan dapur menuju kamarnya. Kamar bernuangsa hitam putih itu yang selama ini ditinggali oleh Raffa. Ia merebahkan dirinya dikasur king size miliknya dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Sudah lama ia tak merokok. Mengingat orang tuanya membuatnya sedikit frustasi. Ia bangkit dan membuka laci meja dan mengambil satu bungkus rokok dan membukannya. Ia menatap isinya dan mengambil satu batang dan sisanya ia simpan kembali. Berencana hanya akan mengisap satu batang saja.
Ujung rokok sudah terbakar. Ia mengapit ujungnya dan mulai mengisapnya. Meluapkan semua yang ia rasakan saat ini. Seketika ia mengingat percakapannya dengan Vanna. Dimana Vanna melarang dirinya untuk menyentuh rokok. Ia mematikan rokok itu di asbak rokok lalu tersenyum. Entah kenapa hatinya patuh mengikuti perkataan gadis itu.
Gadis yang membuatnya tertarik. Mungkinkah ia menyukai Vanna? Raffa menggeleng pelan dengan pertanyaan itu. Ia tak ingin menjadikan Vanna sebagai tempat pelarian. Dan perasaannya ini masih belum bisa dipastikan. Disatu sisi, ia nyaman dengan keberadaan Vanna. Disisi lain, ia masih belum bisa menghapus kenangannya bersama Karina.
Raffa menghela napas lalu merebahkan kembali dirinya kekasur empuk miliknya. Menutupi matanya menggunakan lengannya. Berharap ia bisa tertidur dan menjalani hari baru besok.