Malam itu terasa panjang dan sunyi bagi Grisel. Ia sudah beberapa kali melangkah keluar kamar, berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang diterangi cahaya lampu putih redup. Harapannya sederhana, menemukan seseorang yang masih terjaga, seseorang yang bisa diajak bicara walau sebentar saja. Namun yang didapatnya hanya kesunyian. Kursi tunggu di sepanjang koridor kosong, hanya ada bayangan dirinya sendiri yang memanjang di lantai.
“Sepi sekali,” lirihnya dengan nada kecewa. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak satu pun pasien lain yang tampak. Para perawat pun tak kelihatan, mungkin sedang berkumpul di ruang jaga. Dengan langkah berat, ia akhirnya menyerah dan memutuskan kembali ke kamar.
“Semoga saja aku nggak mimpi buruk lagi malam ini,” gumamnya lirih sambil menutup pintu pelan agar tidak menimbulkan suara. Ia kembali duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya. Tatapannya kosong menembus ruang yang dingin.
Kepalanya menoleh ke meja kecil di samping tempat tidur, berharap menemukan sesuatu untuk dibaca, tapi yang ada hanya gelas air dan beberapa obat. “Seandainya ada buku di sini, mungkin aku bisa sedikit terhibur,” desahnya pelan, mengingat janji Ferrin yang akan membawakannya buku besok.
Ia menarik napas panjang dan melirik jam di dinding. Jarumnya baru menunjukkan pukul sebelas malam, padahal rasanya ia sudah terjaga berjam-jam. Waktu berjalan sangat lambat baginya, seolah malam ini enggan berakhir.
Grisel akhirnya berbaring, menatap langit-langit kamar yang datar dan putih. Ia menutup matanya perlahan, mencoba menenangkan diri, mengulang doa yang sama dalam hati agar malam ini ia tidak kembali dihantui oleh mimpi buruk itu. Namun di balik kelopak matanya yang terpejam, perasaan cemas tetap mengintai, membuatnya takut untuk benar-benar tertidur.
Dalam tidurnya yang perlahan menenggelamkannya ke dunia bawah sadar, Grisel berdoa lirih sekali lagi sebelum akhirnya tertidur sepenuhnya, “Tuhan, tolong berikan aku mimpi manis malam ini.”
Dan malam itu, doanya terkabul.
Ia mendapati dirinya berdiri di sebuah taman yang indah. Langit berwarna jingga keemasan seperti sore yang belum sepenuhnya beranjak, bunga-bunga bermekaran di sekelilingnya, dan angin berembus lembut menyentuh wajahnya. Di tengah taman itu, ada seseorang yang berdiri menatapnya dengan senyum hangat—Ferrin.
Ferrin mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Tatapan matanya lembut, berbeda dengan pandangan seriusnya di rumah sakit. Ia melangkah perlahan mendekati Grisel sambil membawa seikat bunga lili putih.
“Untukmu,” ucapnya tenang, memberikan bunga itu dengan senyum yang membuat hati Grisel berdebar.
Grisel menerima bunga itu dengan tangan bergetar. “Untukku?” tanyanya pelan.
“Tentu. Karena kamu sudah berani menghadapi semua ketakutanmu,” jawab Ferrin sambil menatapnya penuh kebanggaan.
Angin kembali berhembus lembut, membawa aroma manis dari bunga-bunga di sekeliling mereka. Ferrin lalu duduk di bangku taman dan menepuk sisi kosong di sebelahnya, mengajak Grisel duduk. Mereka berbicara lama tentang hal-hal ringan, tentang langit, tentang bunga, tentang keberanian untuk hidup.
Grisel merasa tenang, damai, dan bahagia seperti belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Ketika Ferrin menatapnya dan berkata, “Kamu aman sekarang,” senyum kecil pun terlukis di wajah Grisel.
Senyum itu terbawa sampai ke dunia nyata, membuat bibirnya melengkung lembut dalam tidur, mimpi manis pertama setelah sekian lama dipenuhi mimpi buruk.
Sementara itu, malam kian larut, namun Ferrin sama sekali belum bisa memejamkan mata. Ia duduk di ruang bacanya, lampu meja menyala redup, menyoroti tumpukan buku yang kini berserakan di depannya. Pikirannya berputar tak henti tentang Grisel, tentang ucapan-ucapannya yang penuh ketakutan, tentang mimpi buruknya yang terasa begitu nyata, dan tentang bayangan “sepasang mata” serta “wajah mirip” yang terus menghantui wanita itu.
Ferrin menarik napas dalam, kemudian berdiri menuju rak bukunya yang tinggi menjulang. Jemarinya menyusuri punggung buku satu per satu hingga akhirnya ia menarik beberapa buku yang berhubungan dengan psikologi klinis, trauma pasca kejadian, amnesia disosiatif, dan ilusi identitas ganda. Ia menumpuk semuanya di meja, membuka satu per satu halaman, membaca dengan fokus seolah mencari jawaban yang bisa menuntunnya memahami Grisel lebih dalam.
Setengah jam berlalu, beberapa halaman sudah penuh coretan catatan di kertas kecil di sampingnya. Hingga akhirnya matanya berhenti pada satu paragraf di buku “Mind’s Shadow: A Study of Memory and Trauma.”
Tulisan itu menjelaskan tentang fenomena “fragmented self memory,” kondisi di mana seseorang yang mengalami trauma berat dapat memisahkan kenangan dan membentuk “bayangan diri” dalam alam bawah sadar, bayangan itu bisa muncul dalam mimpi, berwujud seseorang yang menyerupai dirinya sendiri, namun bersifat mengancam atau menakutkan.
Ferrin terpaku. Ia menatap kalimat itu lama, lalu berbisik lirih, “Fragmented self memory… jadi, apakah mungkin Grisel sedang melihat dirinya sendiri di dalam mimpi?”
Ia kemudian mengaitkannya dengan semua penuturan Grisel — “mata yang mengerikan,” “sosok mirip dirinya,” “perasaan dikejar tanpa sebab.” Semua itu mungkin bukan ancaman dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.
Ferrin bersandar di kursinya, memijit pelipis. “Kalau benar seperti ini, berarti mimpi itu bukan sekadar bunga tidur… tapi cerminan trauma masa lalunya yang belum terpecahkan.”
Matanya menatap kosong ke arah jendela kamar, sementara hujan mulai turun perlahan di luar sana.
“Siapa kamu sebenarnya, Grisel?” bisiknya pelan, sebelum menutup buku itu dan menatap langit malam yang semakin pekat.
**
Ferrin berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit yang mulai sepi menjelang sore. Di tangannya, ia membawa beberapa buku yang sudah dibungkus rapi. Ia teringat janjinya semalam untuk membawakan bacaan bagi Grisel, gadis yang kini menjadi pikirannya akhir-akhir ini. Saat tiba di depan kamar perawatan, ia mengetuk pelan namun tak menunggu jawaban, langsung membuka pintu dan masuk.
“Grisel, aku bawakan buku yang kamu minta,” ucap Ferrin dengan nada hangat.
Grisel yang sedang duduk di tepi ranjang sambil menyeruput teh, terkejut mendengar suara itu. Ia buru-buru menaruh cangkirnya di meja kecil dan berdiri. “D-Dokter Ferrin?” sapanya, berusaha menutupi gugupnya. Senyumnya canggung, dan hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sejak mimpi semalam, mimpi indah tentang Ferrin, ia merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali pria itu muncul di hadapannya.
Ferrin tersenyum kecil, lalu menyerahkan tumpukan buku itu padanya. “Ini buku-bukunya. Aku nggak tahu apa yang kamu sukai, jadi aku bawakan beberapa jenis, ada buku sains populer, biografi tokoh medis, dan satu buku dongeng yang menurutku menarik.”
Grisel menerima buku-buku itu dengan hati-hati, seolah benda berharga. Matanya langsung tertumbuk pada buku dongeng dengan sampul bergambar dua gadis kembar berdiri di depan cermin. Ia terpaku beberapa detik, jemarinya menyusuri gambar itu.
Ferrin memperhatikan perubahan ekspresinya. “Kamu suka yang itu?” tanyanya lembut.
Grisel menatap Ferrin, lalu kembali melihat sampul buku itu. “Entah kenapa… buku ini terasa familier,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri. “Aku seperti pernah melihatnya sebelumnya, atau mungkin…” Ia terdiam, bingung sendiri dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
Ferrin memperhatikan dengan seksama, lalu berkata hati-hati, “Kalau begitu bacalah perlahan, mungkin itu bisa membantu memunculkan ingatanmu. Kadang hal-hal kecil bisa menjadi pemicu kenangan yang terkunci.”
Grisel mengangguk. “Terima kasih, Dok. Aku akan menjaganya baik-baik.”
Ferrin menatap gadis itu sesaat, melihat ketenangan semu di balik tatapannya yang rapuh. “Kalau begitu aku pamit dulu, nanti sore aku ke sini lagi.”
Saat pintu tertutup, Grisel kembali duduk di tepi ranjang. Ia menatap buku dongeng di tangannya lama, seolah menatap cermin yang menyembunyikan rahasia masa lalunya.
“Dua gadis kembar,” lirihnya pelan, jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan. “Kenapa aku merasa seperti… salah satunya?”
**
Di kantor pusat yang sibuk itu, Siva hampir terseret oleh dua rekan timnya masuk ke ruang meeting besar. Suasana ruangan terasa menegangkan, semua mata tertuju padanya. Di depan, layar proyektor sudah menyala, menampilkan slide bertuliskan “Strategi Pemasaran Global 2025”.
“Nona Nyra, presentasinya bisa mulai,” bisik sektetaris dengan panik.
“A-apa? Aku?” Suara Siva tercekat. Ia menatap layar kosong di depan, jantungnya berdegup tak beraturan. 'Aku bahkan nggak tahu isi presentasinya!'
Namun klien-klien dari luar negeri itu sudah duduk menatapnya penuh ekspektasi. Salah satu di antara mereka berdeham, memberi isyarat agar ia segera memulai.
“Selamat siang,” ucap Siva dengan suara bergetar. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu terlihat kaku. Tangannya dingin, kertas di tangannya bergetar hebat.
Dalam benaknya hanya ada satu kalimat—bagaimana ini? aku bisa kehilangan klien.
Seketika pikirannya kosong. Tapi entah kenapa, satu kilasan aneh melintas di benaknya, gambar buku dongeng yang mirip dengan yang dibaca Grisel, dua gadis kembar di depan cermin. Sekilas, bayangan wajah lain yang mirip dirinya muncul, membuat tubuhnya kaku sejenak, seolah masa lalu berusaha menembus pikirannya di tengah ruangan itu. Mungkinkah dia akan menemukan sesuatu di sana?