Siva semakin tegang. Setiap tatapan di ruangan itu terasa seperti anak panah yang menancap tepat di dadanya. Klien-klien penting dari luar negeri duduk tegak, dengan ekspresi dingin dan penuh ekspektasi. Rekan-rekan timnya menatapnya penuh harap, sementara layar proyektor menampilkan nama dirinya dengan huruf besar.
'Kalau aku salah sedikit saja… selesai sudah semuanya,' batinnya bergetar, jantungnya berdegup seperti genderang perang.
Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Ia berusaha menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi dadanya terasa sesak. “Tenang, Siva… kamu pasti bisa,” gumamnya pelan, meski hatinya tahu ia sama sekali tidak siap.
Ia memejamkan mata sejenak, berharap ide muncul entah dari mana. Namun yang datang justru kekosongan. Saat matanya terbuka, pandangannya bertemu dengan sekretaris pribadinya, Rani, yang duduk di sampingnya dengan wajah cemas.
Seketika, ide nekat muncul. Ia sedikit mencondongkan tubuh, berbisik cepat di telinga Rani.
“Rani, aku merasa meriang. Perutku juga tidak nyaman. Bisa tolong gantiin aku presentasi hari ini?”
Rani membelalak kaget. “Bu? Tapi saya, saya belum hafal materinya. Takutnya nanti salah ngomong…”
Siva menatapnya tajam, namun dengan nada lembut mencoba meyakinkan. “Kamu sekretaris kepercayaanku. Kamu sudah tahu garis besar proyek ini. Aku percaya padamu, Rani. Tolong aku kali ini. Aku sungguh nggak enak badan.”
Nada suaranya bergetar antara panik dan memohon. Ia bahkan menahan napas, menunggu jawaban.
Rani menegang sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik, Bu. Saya akan coba.”
Siva tersenyum lega, lalu segera mengambil mikrofon di depannya. Dengan suara lembut namun jelas, ia berbicara kepada semua hadirin.
“Mohon maaf sebelumnya, Bapak dan Ibu sekalian. Saya merasa sedikit tidak enak badan, jadi presentasi akan dilanjutkan oleh sekretaris saya, Rani. Dia sudah sangat memahami materi ini.”
Beberapa klien tampak saling berpandangan, tapi tidak ada yang berkomentar. Siva memanfaatkan momen itu untuk segera berdiri. Ia menunduk sopan, lalu berjalan cepat keluar dari ruang rapat.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, dia menahan napas panjang dan bersandar pada dinding koridor. “Astaga… nyaris saja,” bisiknya pelan sambil menepuk dadanya sendiri.
Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, rasa pusing tiba-tiba menyerangnya. Pandangan di depannya berputar, dan dalam sekejap, bayangan wajah yang mirip dengan dirinya muncul di benaknya-wajah yang selama ini menghantuinya dalam mimpi.
Grisel.
Tubuh Siva kaku seketika. “Tidak… kenapa aku melihatnya lagi?” bisiknya ketakutan, sebelum akhirnya ia melangkah gontai meninggalkan koridor dengan kepala yang penuh tanya.
Begitu Siva meninggalkan ruangan, semua mata langsung beralih pada Rani yang kini duduk di kursi presentator. Tangannya sempat gemetar saat mengambil alih mikrofon, tapi ia berusaha tersenyum walau gugup luar biasa.
“Selamat siang, Bapak dan Ibu. Izinkan saya melanjutkan presentasi ini mewakili Ibu Siva,” ucapnya pelan namun berusaha tegas.
Ruangan terasa menekan. Suara pendingin udara terdengar jelas di antara detak jantungnya yang berpacu cepat. Namun begitu slide pertama muncul di layar, Rani mencoba mengatur napas, lalu mulai menjelaskan satu per satu dengan tenang.
Awalnya, beberapa klien tampak ragu. Mereka saling berbisik, menilai kemampuan gadis muda itu. Tapi perlahan, suasana berubah. Rani mampu menguraikan data dengan runtut, menjelaskan strategi pemasaran dan proyeksi keuntungan dengan logis.
Salah satu klien senior bahkan sempat mengangguk puas dan mengajukan pertanyaan tambahan yang dijawab Rani dengan lancar. Setiap kata yang keluar dari bibirnya membuat keyakinan di ruangan itu tumbuh kembali.
Para staf yang semula cemas mulai tersenyum lega, ikut mendukung dengan menambahkan beberapa data kecil.
Ketika presentasi berakhir, ruangan yang semula tegang berubah menjadi tenang dan hangat. Beberapa orang bertepuk tangan kecil. Rani menunduk sopan, hampir tak percaya ia bisa melalui semuanya.
Dalam hati, ia berbisik, 'Bu Nyra… semoga Ibu baik-baik saja. Saya sudah berusaha sebaik mungkin menggantikan Anda.'
Setelah meeting berakhir dengan sukses, Rani berjalan menuju ruangan Siva dengan langkah ragu. Ia membawa map berisi bahan presentasi yang tadi digunakan. Dalam pikirannya, ia masih memikirkan bagaimana Siva bisa begitu tiba-tiba meninggalkan rapat hanya karena alasan “meriang”. Namun saat tiba di depan pintu ruangan, Rani mendengar suara tawa kecil dari dalam.
Perlahan ia mengetuk dan membuka pintu. Betapa terkejutnya Rani ketika melihat Siva duduk santai di kursinya, bukan tampak sakit, melainkan sedang menikmati sepiring kue dan segelas jus jeruk di meja kerjanya. Rambutnya yang tadi tampak kusut kini sudah tergerai rapi. Wajahnya segar, tidak terlihat seperti orang yang sedang meriang.
Rani membeku di tempat, tidak tahu harus berkata apa. Ia menatap bingung pemandangan di depannya. 'Tadi beliau bilang sakit, tapi sekarang… seperti tidak terjadi apa-apa.'
Siva yang menyadari kehadiran Rani segera terkejut, hampir menjatuhkan sendoknya. “Rani? Ada apa?” Suaranya meninggi sedikit, lalu buru-buru berubah lembut. Ia segera menaruh kembali piringnya dan berpura-pura menunduk sambil mengusap kening. “Aduh, kepalaku masih pusing sekali,” katanya dengan nada dibuat lemah.
Rani cepat-cepat menunduk sopan. “Maaf, Bu Nyra. Saya ke sini untuk mengembalikan bahan presentasi sekaligus melaporkan bahwa rapat tadi berjalan lancar. Semua klien tampak puas dengan hasilnya,” jelas Rani hati-hati, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Oh, begitu… bagus sekali,” balas Siva dengan senyum tipis, namun matanya berusaha tampak lesu. “Letakkan saja berkas itu di meja, ya. Dan terima kasih sudah membantuku tadi. Aku benar-benar tidak enak badan, sepertinya perlu istirahat lagi.” Ia lalu memegang keningnya dengan gaya dramatis, seolah sedang menahan sakit kepala.
Rani hanya bisa membeku dan mengangguk pelan. “Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi.”
Begitu Rani keluar, Siva menarik napas lega, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Sebuah senyum nakal terukir di wajahnya. “Hampir saja ketahuan,” gumamnya sambil kembali meneguk jus jeruknya.
Rani berjalan pelan menyusuri lorong kantor yang mulai sepi. Lampu-lampu di langit-langit memantulkan cahaya lembut di lantai marmer yang berkilau. Namun pikirannya tak bisa tenang, terus memutar ulang kejadian yang baru saja dialaminya di ruangan Bu Nyra atau, lebih tepatnya, Siva yang sedang berpura-pura menjadi Nyra.
“Kenapa Bu Nyra aneh sekali, ya?” gumamnya pelan sambil memeluk map di dadanya. “Tadi bilang sakit, tapi wajahnya segar. Bahkan aku sempat dengar tawa kecil sebelum masuk.” Ia menggeleng tak percaya.
Biasanya, Nyra Vilja adalah sosok yang disiplin, tenang, dan selalu siap menghadapi situasi apapun di kantor. Tidak pernah sekali pun wanita itu meninggalkan rapat penting tanpa alasan yang jelas.
Langkah Rani terhenti sejenak di depan jendela besar, menatap langit sore yang mulai memerah. “Atau jangan-jangan beliau sedang stres? Tapi tetap saja aneh. Kalau memang sakit, kenapa bisa langsung pulih seperti itu?” batinnya penuh tanda tanya.
Ia melanjutkan berjalan, kali ini lebih lambat, sambil menggigit bibir bawahnya. “Dan yang paling aneh… tatapan Bu Nyra berbeda. Entah kenapa terasa asing, seperti bukan dirinya,” ucapnya lirih. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana cara Siva yang disangkanya Nyra berbicara dengan nada lebih cepat, gerak-geriknya lebih santai, dan bahkan sempat memanggilnya dengan cara yang berbeda dari biasanya.
“Tidak… ini benar-benar bukan seperti Bu Nyra yang kukenal,” kata Rani dalam hati, kini mulai curiga. Ia menatap kembali ke arah ruangan tempat Siva berada, ragu antara ingin kembali menanyakan atau pura-pura tidak tahu. Tapi nalurinya mengatakan sesuatu sedang tidak beres, meski dia tidak tahu apa itu.
**
Grisel duduk di bangku taman rumah sakit yang teduh, dikelilingi suara burung sore dan angin lembut yang meniup rambutnya. Di pangkuannya tergeletak beberapa buku yang dibawanya dari kamar, dan satu di antaranya adalah buku dongeng yang paling menarik perhatiannya. Judulnya “Kembar di Dua Dunia.”
Dia mulai membaca dari halaman awal, menikmati cerita ringan tentang dua anak kembar perempuan yang sejak kecil selalu bersama, tetapi tumbuh dengan kepribadian yang sangat berbeda. Namun, ketika sampai pada bagian bergambar dua gadis kembar yang saling menatap tajam sambil memperebutkan sebuah liontin berbentuk hati, Grisel tiba-tiba berhenti. Matanya terpaku pada gambar itu.
“Liontin… dua gadis kembar… kenapa rasanya aku pernah lihat ini?” gumamnya pelan, suara bergetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sensasi aneh menjalar di kepalanya, seperti ada sesuatu yang mendesak keluar dari balik kabut ingatan.
Tiba-tiba potongan gambar berkelebat dalam benaknya, dua anak kecil berlari di taman, tawa mereka sama, suara mereka nyaris identik, lalu tiba-tiba salah satu dari mereka menangis keras sementara yang lain menggenggam sesuatu di tangannya… sesuatu yang berkilau seperti liontin di gambar itu.
Grisel terdiam. Buku di tangannya nyaris jatuh. “Apa itu… kenangan masa kecilku?” bisiknya lirih, wajahnya mulai pucat. Tapi semakin dia mencoba mengingat, semakin sakit kepalanya terasa. Ia memegang pelipisnya, berusaha menenangkan diri. Namun gambar itu dua gadis yang mirip, saling menatap dengan amarah terus menghantui pikirannya. 'Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa aku merasa aneh tegale melihat apa saja yang berhubungan dengan anak kembar?'